WARNING!!!!
BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN!!!
Mengisahkan dua orang pria dan wanita yang terlibat sebuah pernikahan tanpa cinta. Tetapi sama-sama saling membutuhkan pernikahan tersebut demi kepentingan masing-masing.
Menghadapi pria yang dingin dan kaku, Naja sering menahan sesak karena tindakan dan ucapan pria yang telah menjadi suaminya itu.
Sedangkan Excel, yang tidak pernah berhubungan dengan wanita selain Mikha, harus menyesuaikan diri dengan istrinya yang ceroboh dan pemarah.
Mampukah mereka mempertahankan pernikahan mereka?
Hanya cerita biasa ajah, hiburan semata!
Alur selow Yess ✌, no visual di dalamnya...visual di taro di igeh...
21+ AREA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Bermula
Pagi masih basah, embun masih lekat menetes di dedaunan rimbun yang menaungi halaman rumah sakit umum di kota ini. Aroma khas lantai yang baru selesai dibersihkan menguar ke penjuru bangsal-bangsal yang tak pernah sepi dari pasien.
Sejak semalam, Edi mendapat perawatan intensif di ruang ICU setelah mengalami sesak napas dan tak sadarkan diri. Cemas dan panik tetapi tidak bisa melanggar ucapan suaminya, Wasti memutuskan tidak menghubungi Naja dan Tara hingga kondisi Edi mendapat kejelasan.
Wasti tidak bisa memejamkan mata barang sejenak, tampak lelah dan pucat. Berjalan hilir mudik di depan pintu ICU yang tampak dingin dan mencekam. Tangannya sesekali saling meremas satu sama lain,
“Mbak Wasti ...,” panggil seorang wanita dengan lembut. Wasti memutar tubuhnya dengan cepat, mengenali siapa yang memanggil.
“Pita ...,” lirih Wasti saat pandangannya bertemu dengan Puspita yang menatapnya sendu.
“Mbak ... bagaimana keadaan Mas Edi?” Pita merengkuh kakak iparnya dengan erat. Menyalurkan dukungan dan empati atas kondisi Edi.
Wasti tersedu di pundak Pita, meremas bagian belakang tubuh Pita. “Setelah masuk ke sana ... Mbak ngga tahu keadaan Masmu Pita. Menurut dokter sudah stabil tapi belum sadar.”
Pita menepuk pelan punggung Wasti, “yang sabar Mbak ... Mas Edi pasti baik-baik saja.” Pita juga tak kuasa menahan air matanya. Di mata Pita, Edi tampak sehat meski mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis selama setahun ini. Pikiran Pita tak sampai sejauh ini mengkhawatirkan kondisi kakak tertuanya.
“Apa belum boleh dikunjungi Mbak?” sambung Pita sambil melerai pelukan.
“Belum Ta, kata dokter pagi ini Mas Edi mau di rontgen dan CT-Scan ... menurut pemeriksaan awal Mas Edi kena Kanker paru-paru Ta ....” tangis Wasti kembali pecah. Pun dengan Pita, wanita berusia 35 tahun itu tampak terpukul. Namun tetap berusaha tegar.
“Itu baru dugaan Mbak, jangan mikir yang tidak-tidak dulu. Kita tunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut dulu Mbak, Insya Allah Mas Edi bisa sembuh.” Pita masih menguatkan iparnya dengan mengusap lengan Wasti
“Anak-anak sudah diberitahu apa belum, Mbak?”
“Belum, Ta ...,” Wasti mengusap air matanya dengan punggung tangannya. “Masmu melarang memberitahu mereka, lagi pula Naja dan Tara sibuk dengan urusan mereka. Tara mungkin pulang minggu depan, saat libur kuliah.”
“Tapi Mbak, tadi Naja menanyakan keadaan Mas Edi padaku. Mungkin dia mendapat firasat ...,”
“Menurutmu bagaimana Ta? Aku juga mau memberitahu mereka tapi aku takut mereka khawatir dan membuat semua kacau ...,”
“Sebaiknya beritahu Naja terlebih dahulu Mbak,”
Wasti mengangguk, “Iya Ta, Mbak pikir juga begitu, tapi jangan katakan apa pun sama Masmu ya!”
Pita mengangguk dengan senyum simpul menghiasi bibirnya. “Mbak Wasti sarapan dulu ya, ini ... Pita bawakan urap dan tempe goreng," Pita dengan cepat mengambil tas berisi rantang susun. Membukanya agar kakak iparnya segera sarapan.
“Mbak harus makan biar ngga sakit, biar bisa ngurus Mas Edi ... kalau Mbak sampai sakit Mas Edi pasti merasa bersalah Mbak.” Nasihat Pita saat melihat Wasti menunjukkan keengganan ketika Pita menyodorkan makanan ke tangan Wasti.
“Atau ... mau aku suapi?” goda Pita. Sehingga membuat Wasti mencebik. “Ayo ... biar dikit asal terisi Mbak ...!” Pita lega saat Wasti mulai menyuapkan nasi.
**
Mobil berwarna putih milik Mikha berhenti di sebuah gedung yang tak terlampau tinggi. Pikir Naja kantor tunangan Mikha berada di kawasan perkantoran elite kota ini, rupanya kantor bertuliskan logo T besar di bagian depan ini, berada di kawasan biasa saja. Bahkan jauh sekali dari WD dan Star Media.
“Kenapa mikirin Star lagi sih?” Naja berdecak lirih.
“Ada masalah?” Mikha yang sedang mematikan mesin mobil tampaknya mendengar decakan Naja. Wanita cantik itu memiringkan wajah ayunya menghadap Naja.
Naja yang masih mengagumi keindahan kantor dari dalam mobil, seketika menoleh. “Tidak ...,” Naja merekahkan bibirnya. “hanya memikirkan sesuatu yang membuatku tidak nyaman saja.” Imbuh Naja.
“Kau pakai lipgloss atau liptint merek apa?” Mikha membuka pintu mobil menyamarkan pertanyaannya yang terkesan konyol. Tapi Mikha tak bisa menahan lebih lama rasa penasaran yang menggerogoti batin. Naja tampak alami di mata Mikha, sayangnya kealamian wajah Naja mengundang kecurigaan Mikha.
“Aku?” Naja terkesiap mendapat pertanyaan Mikha.
Mikha mengangguk sebelum mengulurkan kaki panjang beralaskan hak tinggi yang agak kurang nyaman karena nyaris patah akibat berlari.
Naja juga turun dan mengikuti Mikha. “Aku hanya pakai lipgloss murahan Mbak, asal bisa dijangkau kantong.” Jawab Naja jujur.
Mikha mendahului Naja memasuki bagian depan kantor yang mulai tampak sepi ini. Mikha mencebikkan bibirnya, tidak peduli. Pikirnya, Naja memang bukan orang yang berada. Mungkin dia terbiasa bersikap luwes karena pekerjaannya terdahulu.
“Tunggulah di sini,” titah Mikha yang bersikap tinggi saat memasuki kantor dan berpapasan dengan beberapa orang di kantor ini.
Naja mengangguk dan duduk di sofa yang tersedia tak jauh dari meja resepsionis. Mikha melangkah mendekati resepsionis untuk mengonfirmasi beberapa hal. Dan ... melihat tindak tanduk Naja yang duduk dengan anggun dan sopan. Di sini Naja tidak menunjukkan rasa ingin tahu berlebih. Malah Naja mengambil majalah bisnis yang Mikha saja enggan menyentuhnya.
“Aku naik dulu ya ... kau tunggu di sini sebentar,” Mikha tersenyum ke arah Naja yang juga mengulas senyum. Pipinya juga cekung meski tidak sedalam milikku, pikir Mikha.
“Oh ... baiklah. Aku akan menunggumu di sini.” Naja meletakkan kembali majalah yang menampilkan Harris dan Excel sebagai sampul depannya.
Mikha berjalan mundur beberapa langkah sebelum berbalik menuju lift. Bahkan sejauh itu jarak mereka, Mikha masih sempat mengamati Naja sambil menunggu lift terbuka.
Naja tahu kantor selalu diawasi cctv sehingga dia memilih menjaga sikap. Namun manik mata Naja berulang kali melirik Excel yang seperti memandang ke arahnya.
“Senyum dikit Tuan Excel ...,” gumam Naja dalam hati.
“Apa anda yang melamar pekerjaan?”
Naja menahan napasnya karena terkejut, “I-iya Pak,”
Naja bangkit dan menunduk sejenak pada pria berkacamata di depannya ini.
“Mari ikut saya ...,” pria berekspresi serius itu melangkah mendahului Naja menuju lift yang tadi sempat dipakai Mikha.
Lift bergerak cepat begitu pintunya tertutup menuju angka yang ditekan oleh pria berkacamata ini. Hingga dalam hitungan detik, sampailah mereka di lantai yang cukup lega.
“Silakan masuk,” titahnya saat pria itu membuka pintu untuknya. Dengan isyarat tangan pria bernama Ibram itu mempersilakan Naja duduk.
“Anda bisa bekerja mulai besok dan anda akan mendapat seragam OG seperti yang lain. Saya hanya berharap ...,” Pria itu meneliti Naja sejenak, “ ... anda tidak main-main bekerja di sini.”
Selama Ibram berbicara, Naja menahan napas. Ekspresi serius Ibram membuat Naja tegang. “Ba-baik Pak ...,”
.
.
.
.
.
.
.
.
Slow ya gaes ... authornya oleng ...
Gabung grup chat yuk biar bisa saling kenal ...🥰
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻