Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Malam itu, Jakarta diselimuti kabut tipis sisa hujan sore tadi. Lokasi proyek Galeri Butterfly tampak seperti raksasa yang sedang tidur di bawah temaram lampu keamanan. Rian baru saja meninggalkan area konstruksi setengah jam yang lalu untuk beristirahat di hotelnya, namun firasatnya tidak tenang. Batinnya terus bergetar, seolah ada frekuensi bahaya yang merambat melalui udara.
Di sudut gelap lantai dua, Bram melangkah dengan suara sepatu yang nyaris tak terdengar. Di tangannya terdapat sebuah cairan korosif khusus dan alat pelepas baut mekanis. Dengan mata yang penuh kebencian, ia menatap sambungan utama pada struktur "Sayap Kupu-Kupu" yang menjadi kebanggaan Rian.
"Kau pikir kau bisa terbang setinggi itu, Rian?" desis Bram. "Jika sayap ini runtuh besok saat inspeksi investor, kau tidak akan punya tempat lagi untuk mendarat, selain di penjara atau kembali ke selokan tempatmu berasal."
Bram mulai bekerja dengan rapi. Ia melonggarkan beberapa baut penyangga utama yang akan membuat struktur sayap itu terlihat kokoh dari luar, namun akan kehilangan keseimbangan jika beban angin atau beban puncak diberikan. Ia ingin melihat kehancuran Rian terjadi di depan mata Tuan Hardi dan seluruh dunia.
Sementara itu, di kediaman Hardi, Naya terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal. Dadanya sesak. Ia merasakan detak jantung Rian yang kacau melintasi jarak yang memisahkan mereka. Bisa kurasa getar jantungmu...
Naya segera meraih ponsel rahasianya. Ia melihat pesan terakhir dari Rian yang mengatakan bahwa segalanya aman. Tapi Naya tidak percaya. Ia tahu Bram menghilang dari jangkauan Andika malam ini. Tanpa berpikir panjang, Naya mengenakan jaket gelapnya, menyelinap keluar melalui pintu belakang, dan mengendarai mobilnya sendiri menuju lokasi proyek.
Sesampainya di sana, lobi itu sunyi. Naya melangkah masuk, kakinya bergema di atas lantai beton yang masih kasar.
"Rian? Apakah kamu di sini?" bisik Naya.
Hening. Namun, matanya menangkap siluet seseorang di lantai atas yang sedang menuruni tangga darurat dengan terburu-buru. Sosok itu mengenakan topi dan jaket yang sangat dikenali Naya.
"Bram!" teriak Naya.
Sosok itu berhenti sejenak, menatap Naya dengan tajam dari balik kegelapan, lalu lari menghilang melalui pintu belakang. Naya tidak mengejarnya. Instingnya langsung tertuju pada struktur sayap raksasa di tengah lobi. Ia melihat cairan kimia yang menetes dari sambungan baja utama, merusak permukaan logam yang baru saja selesai dihaluskan.
Naya segera menelepon Rian dengan tangan gemetar. "Rian... kemarilah sekarang. Bram melakukan sesuatu pada sayapnya. Cepat!"
Sepuluh menit kemudian, Rian tiba dengan napas memburu. Ia melihat Naya sedang berdiri di bawah struktur besar itu, mencoba mengelap cairan korosif dengan syalnya yang mahal—sebuah tindakan sia-sia namun penuh dengan ketulusan yang menyayat hati.
"Naya! Menjauh dari sana, itu berbahaya!" teriak Rian sambil menarik Naya menjauh.
Rian segera memeriksa sambungan tersebut. Wajahnya mengeras. "Dia melonggarkan baut utama dan merusak struktur pengikat dengan cairan ini. Jika besok pagi beban atap kaca dipasang, sayap ini akan runtuh seketika."
Rian terduduk di lantai beton, menyandarkan kepalanya di tiang baja. Kelelahan luar biasa dan rasa sakit dihianati kembali terasa begitu nyata. "Dia ingin aku mati di tangan Ayahmu, Naya. Dia ingin membuktikan bahwa karyaku cacat."
Naya berlutut di depan Rian, menggenggam kedua tangan pria itu yang kini kotor terkena debu dan cairan kimia. Di bawah cahaya rembulan yang menembus atap galeri yang belum jadi, Naya mencium punggung tangan Rian.
"Ingat janjimu, Rian," bisik Naya lembut, air matanya jatuh membasahi jari-jari Rian. "Kamu bilang kamu tidak akan membiarkan siapa pun mematahkan sayap kita lagi. Aku di sini. Aku akan menemanimu memperbaiki ini. Kita punya waktu sampai fajar."
Rian menatap mata Naya, menemukan api semangat yang sama dengan yang ia lihat dua tahun lalu. Ia bangkit, meraih tas peralatannya yang masih tertinggal.
Malam itu, di tengah sunyinya gedung yang setengah jadi, sang arsitek lulusan London dan sang putri mahkota bekerja bersama. Rian naik ke atas perancah, sementara Naya di bawah memberikan peralatan dan memegang senter. Tidak ada kata-kata manis. Hanya suara denting kunci inggris dan isak tangis Naya yang tertahan oleh keringat Rian.
Di bawah melodi rintik hujan yang kembali turun, batin mereka benar-benar berpelukan. Rian berjuang menyelamatkan mahakaryanya, dan Naya berjuang menyelamatkan nyawa cintanya. Mereka membuktikan bahwa sekuat apa pun Bram mencoba meruntuhkan besi dan beton, batin mereka yang telah "sama-sama kacau karena merindu" jauh lebih kuat dari apa pun.
"Sedikit lagi, Naya... sedikit lagi," gumam Rian di sela napasnya yang berat saat matahari mulai mengintip dari ufuk timur.
Sayap itu kembali kokoh. Namun, mereka tidak tahu bahwa Bram masih mengamati dari kejauhan, menyimpan satu peluru terakhir untuk menghancurkan mereka di hari peresmian.
...----------------...
Pagi itu, Galeri Butterfly berdiri dengan megahnya di jantung Jakarta. Struktur atap yang menyerupai sayap kupu-kupu raksasa berkilauan diterpa sinar matahari, seolah tak pernah terjadi drama sabotase beberapa jam sebelumnya. Karpet merah membentang, dipenuhi oleh para petinggi negara dan investor internasional.
Naya berdiri di samping Ayahnya, mengenakan gaun putih yang anggun namun wajahnya sepucat salju. Matanya mencari sosok Rian di antara kerumunan. Saat ia menemukannya, Rian memberikan anggukan kecil—sebuah kode bahwa struktur bangunan itu kini aman. Namun, kegelisahan Naya tidak surut karena ia melihat Bram berdiri di sudut ruangan dengan senyum dingin yang mengerikan.
"Ayah sangat bangga hari ini, Naya," bisik Tuan Hardi sambil memotong pita peresmian. "Arsitek ini benar-benar luar biasa. Mungkin Ayah memang harus mempertimbangkan dia untukmu."
Naya hanya tersenyum getir. Kalimat Ayahnya datang terlambat, tepat di saat badai baru akan dimulai.
Saat acara beralih ke sesi ramah tamah di dalam galeri, Bram tiba-tiba mengambil alih kendali layar proyektor besar yang seharusnya menampilkan dokumentasi pembangunan.
"Tuan Hardi, para tamu sekalian," suara Bram memecah suasana. "Sebelum kita merayakan kemenangan ini, ada satu 'dokumentasi' penting yang tidak sengaja tertangkap kamera keamanan malam tadi. Ini tentang kejujuran dan profesionalisme yang selama ini kita agungkan."
Layar besar itu menyala. Bukannya menampilkan proses konstruksi, layar itu menampilkan rekaman CCTV hitam putih dari lobi galeri beberapa jam yang lalu.
Seluruh ruangan mendadak sunyi senyap. Di layar itu, terlihat Naya sedang berlutut di depan Rian, menggenggam tangannya dengan penuh air mata. Lalu terlihat Rian yang memeluk Naya dengan begitu protektif sebelum mereka mulai bekerja sama memperbaiki baut-baut yang longgar. Meskipun tanpa suara, bahasa tubuh mereka berbicara lebih keras dari teriakan apa pun: mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertaruh nyawa demi satu sama lain.
"Lihatlah ini," teriak Bram sambil menunjuk ke layar. "Mereka tidak hanya membohongi Anda soal identitas, Tuan Hardi. Mereka bersengkongkol di belakang Anda! Arsitek ini menggunakan putri Anda untuk menutupi kesalahannya sendiri!"
Tuan Hardi mematung. Wajahnya yang tadi berseri kini berubah menjadi abu-abu. Ia merasa dikhianati di depan seluruh kolega bisnisnya. Ia menoleh ke arah Naya, lalu ke arah Rian.
"Naya... apa ini?" suara Tuan Hardi bergetar oleh kemarahan yang tertahan.
Naya tidak lagi melarikan diri. Ia melangkah maju, melepaskan topeng kedinginannya selamanya. Ia berdiri tepat di samping Rian, menggenggam tangan pria itu dengan erat di hadapan semua orang.
"Ini bukan kesalahan, Ayah. Ini adalah cinta yang tidak pernah mati meski Ayah mencoba membunuhnya dua tahun lalu," ujar Naya dengan suara yang jernih dan berani. "Rian tidak menipumu. Dia bekerja siang malam memperbaiki sabotase yang dilakukan oleh orang kepercayaanmu, Bram, hanya agar nama perusahaan Ayah tidak hancur hari ini!"
Rian menatap Tuan Hardi dengan tatapan yang tenang namun menantang. "Tuan Hardi, bangunan ini berdiri karena kekuatan batin kami yang selama ini kacau karena merindu. Jika Anda ingin meruntuhkan bangunan ini sekarang karena kebencian Anda pada saya, silakan. Tapi Anda tidak akan pernah bisa meruntuhkan kami lagi."
Bram hendak memprotes, namun Andika maju dan melempar sebuah tablet ke meja utama.
"Ini adalah bukti rekaman CCTV dari lokasi proyek yang berhasil saya amankan, Om Hardi," ujar Andika dengan suara tegas. "Terlihat jelas Bram berada di lokasi pada dini hari, dan terlihat Naya serta Rian yang datang belakangan untuk memperbaiki kerusakan struktur yang disabotase. Bram pelakunya, Om Hardi. Rian dan Naya justru yang menyelamatkan nyawa kita semua."
Tuan Hardi terhuyung. Ia menatap gedung indah itu, lalu menatap putrinya yang kini tampak lebih "hidup" daripada sepuluh tahun terakhir. Ia menyadari satu hal pahit: di tengah kemewahan yang ia bangun, ia adalah satu-satunya orang yang kesepian karena tidak memiliki cinta sehebat yang dimiliki putrinya.
Di tengah keheningan yang mencekam, melodi lagu Butterfly terdengar sayup-sayup dari salah satu ponsel tamu yang lupa dimatikan, seolah menjadi latar musik bagi kemenangan sang kupu-kupu.
Bersambung...