El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
He Allowed Her to Sleep Over
...Bagian 22:...
...He Allowed Her to Sleep Over ...
...💫💫💫💫💫...
Setelah hampir tiga jam menjalani perawatan di IGD, Jovanka akhirnya diperbolehkan pulang. Karel sudah lebih dulu mengurus administrasi dan menebus obat. Kini mereka berjalan berdampingan menuju mobil dengan langkah pelan-pelan.
Eliana sendiri tertidur di gendongan Karel setelah sebelumnya menghabiskan banyak waktunya untuk berdebat dengan Jovanka. Di IGD yang tidak terlalu ramai malam itu, keduanya kembali menjadi enemy setelah Eliana tahu kondisi Jovanka sudah aman. Ada saja bahan untuk diributkan. Dimulai dari perdebatan soal anjing jenis apa yang lebih worth untuk dipelihara, adu mulut mereka jadi melebar ke mana-mana.
Karel hanya bisa mendengarkan dua perempuan beda usia itu berdebat, tanpa berani menyela. Di titik itu, ia enggan menunjukkan keberpihakan kepada salah satu di antara keduanya. Sebab risikonya sama-sama besar, dan ia sedang tidak dalam kondisi oke untuk menanggungnya.
"Pasang seatbelt yang bener." Karel menegur saat dilihatnya Jovanka memasang seatbelt asal-asalan.
Gadis itu tidak menjawab ataupun mendengus seperti biasanya. Dengan patuh, ia perbaiki tali seatbelt yang terpelintir tidak keruan menyilang di dadanya.
Usai melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa seatbelt terpasang rapi, Karel menoleh sebentar ke jok belakang untuk memeriksa Eliana di car seat. Tidurnya masih lelap, dengan bibirnya sedikit terbuka dan kedua tangan mengepal gemas. Setelahnya, Karel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Hening merayapi kabin sejak roda-roda mobil menggilas jalanan aspal yang terbilang ramai-lancar. Radio tidak dinyalakan, tidak ada obrolan, atau sekadar gumaman senandung dari orang-orang di dalamnya. Lima belas menit pertama, perjalanan pulang dilewati dalam hening yang masih diterima.
Lalu menit berikutnya, Jovanka yang sejak awal mengarahkan pandangannya ke luar jendela, menoleh perlahan. Matanya terpaku memandang side profile Karel yang sempurna. Hatinya mulai kembali ditumbuhi kuncup-kuncup bunga. Ia hanya perlu menyiram dan merawatnya sepenuh hati, agar kuncup-kuncup bakal bunga itu kelak mekar dengan cantik.
"Kenapa?" Tatapannya tetap ke depan, sewaktu Karel bertanya demikian. Ia hanya sedikit jengah dipandangi sejak tadi. Walaupun tampaknya tidak cukup peduli, ekor matanya tetap saja secara otomatis mengamati pergerakan Jovanka di kursi samping.
Jovanka hanya menggeleng pelan, seraya tersenyum kecil. Kemudian ia turut menatap lurus ke depan.
Karel menoleh karena penasaran. Dikiranya tadi Jovanka akan membuat seperti biasa. Mengeluarkan kata-kata tidak masuk akal yang biasanya ampuh membuatnya sakit kepala.
"You better not think about something weird," katanya sambil mengarahkan pandangannya ke depan.
Jovanka menoleh dengan kepala sedikit meneleng. "I'm not," balasnya. "Gue cuma amazed aja, ternyata ada orang lain yang peduli sama gue unconditionally."
Karel menaikkan sebelah alisnya, namun tidak mengatakan apa pun.
Karena respons yang sederhana itu, Jovanka tertawa pendek. "Soalnya ada yang pernah bilang sama gue, kalau ke mana pun gue pergi, gue nggak akan pernah nemuin orang yang sayang dan peduli sama gue kayak dia." Usai mengatakannya bibir Jovanka perlahan menipis. Teringat kembali olehnya sumpah serapah ibunya yang terus menghantui hidupnya di perantauan. Malam ini ia mulai merasa, mungkin omongan ibunya tidak sepenuhnya didengar oleh Tuhan. Melalui kesigapan Karel dan Eliana, ia mulai merasa setidaknya masih ada harapan untuk dirinya diterima.
"Siapa yang berani ngomong begitu?" tanya Karel setelah beberapa detik dihabiskannya dalam diam.
Jovanka mengalihkan pandangannya ke depan. Tenang ia berkata, "Ada lah pokoknya." Seolah itu bukan apa-apa. Dan obrolan mereka terhenti di sana.
...💞💞💞💞💞...
Sisi kanan basement tampak lebih gelap daripada biasanya rangkaian lampu yang terpasang di langit-langit serentak padam, mungkin terjadi konsleting pada rangkaian paralelnya. Oleh karena itu, Karel membawa mobilnya berkeliling lebih jauh ke sisi kiri, mencari spot yang lebih terang untuk memarkirkannya di sana. Setelah ketemu, mobil diparkir, lalu ia sigap memutar ke kursi belakang untuk mengambil Eliana.
Pintu sudah dibukakan lebih dulu oleh Jovanka ketika ia tiba. Karel menatap gadis itu sebentar, kemudian menundukkan tubuhnya, melepas seatbelt dan membawa Eliana ke dalam gendongan.
Mereka berjalan menuju lift, lagi-lagi dalam diam. Di kepalanya, Karel masih menyimpan tanya soal siapa gerangan yang tega mengatakan hal seperti itu kepada Jovanka. Sebab setelah gadis itu mengungkapkannya, luka yang disembunyikan selama ini jadi terpampang jelas di matanya.
Pikiran itu terus mengganggu fokus Karel. Selama di dalam lift, ia jadi terus memperhatikan Jovanka yang berdiri di samping kirinya melalui pantulan kaca di pintu lift. Saat gadis itu mengangkat kepala dan menatap lurus ke depan, barulah Karel mengalihkan pandangan.
Sewaktu pintu lift akhirnya terbuka, Jovanka keluar lebih dulu. Karel menyusul dengan mempertahankan ayunan langkahnya, tidak berusaha menyusul. Begitu gadis itu tiba di depan unitnya, barulah Karel mempercepat langkah. Niat awalnya adalah untuk memberikan access card yang ia miliki, sebab milik Jovanka jelas tertinggal di dalam unit. Namun, entah mendapat bisikan dari mana, saat sampai di hadapan gadis itu, ia malah mengatakan sesuatu yang di luar nalar. Entengnya ia menawarkan pada Jovanka untuk menginap saja di unitnya malam ini.
Jangankan pikiran warasnya, Jovanka yang terkenal gila pun bahkan tampak syok mendengar tawaran itu. Ia mematung di depan unitnya, matanya melebar, bibir setengah terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu namun ditahan.
"Buat keamanan," dalih Karel setelah hening yang canggung selama beberapa detik. "Siapa tahu lo butuh bantuan tengah malam nanti. Anggap aja gue lagi berbaik hati hari ini." Ia langsung mengalihkan pandangan dan bergeser ke depan unitnya sendiri usai menyelesaikan kalimatnya.
Access card ditempel, pintu terbuka. Karel mendorongnya lebar, lantas mengisyaratkan kepada Jovanka untuk masuk melalui gerakan kepala.
"Beneran boleh?" tanya Jovanka seakan masih tak percaya. Kakinya melangkah pelan, terkesan ragu-ragu.
"Masuk buruan, sebelum gue berubah pikiran."
Sebelum berubah pikiran... Tombol on di kepala Jovanka langsung menyala setelah mendengar kata pamungkas itu. Maka terburu langkahnya, setengah berlari masuk ke unit Karel. Ini bukan kali pertama ia masuk, tapi dibiarkan masuk dengan undangan lebih dulu membuatnya merasa aneh, sehingga yang dilakukannya setelah ada di dalam adalah menunggu sang empunya unit masuk dan menutup pintu.
"Lo boleh tidur di kamar tamu, biar Eliana tidur di kamar gue," kata Karel seraya berjalan menuju kamar tamu. Jovanka mengekor. Ia berhenti ketika Karel juga berhenti, usai membukakan pintu kamar tamu untuknya.
"Lo tidur di mana?" tanyanya.
Karel menggerakkan kepalanya, menunjuk sofa di ruang tamu. "Di sana juga aman," jawab lelaki itu. "Langsung tidur, biar badan lo istirahat." Habis mengatakannya, Karel tidak menunggu sampai Jovanka melaksanakan perintah sesuai instruksinya. Dia berjalan menuju kamarnya sendiri, bersiap membaringkan Eliana.
Karel tidak tahu saja kalau di belakangnya, tangan Jovanka mulai merambat menyentuh dadanya, merasakan debar-debar halus yang kembali datang setelah sekian lama.
Bersambung...