perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Iblis berbulu suci
Sore itu, matahari mulai miring, memantulkan cahaya jingga ke genting-genting rumah . Angin mengusap dedaunan, membawa suara samar dari arah jalan besar ,tawa para pekerja, deru mesin tangki, dan bisik-bisik yang belum sempat mati.
Di halaman belakang rumah megah milik Suharti, dua gadis kecil , Larashati dan Nia , bermain dengan ranting dan batu, sesekali menengok ke arah deretan truk tangki yang berjejer di depan garasi. Mereka tertawa kecil, namun matanya memantulkan rasa ingin tahu yang lebih besar dari umur mereka.
“Kak… dengar deh,” bisik Nia sambil menarik ujung baju kakaknya.
“Dengar apa, dek?”
“Itu, mereka lagi ngomongin Pak Kyai yang kemarin pimpin doa…”
Larashati menoleh, alisnya terangkat. Suara dua orang laki-laki terdengar samar dari arah truk yang sedang dipanaskan mesinnya. Ia mengangguk pelan.
“Yuk, kita nguping,” katanya setengah berbisik, separuh tertawa seperti sedang bermain petualangan rahasia.
Mereka melangkah hati-hati, berjongkok di balik dinding bata yang belum diplester sempurna. Dari celah-celahnya, terdengar percakapan dua sopir yang sedang menghisap rokok kretek.
“Eh, udah denger belom? Kyai Mansur meninggal, lho, tadi malam,” ujar Paryo, wajahnya setengah terbenam asap rokok.
“Serius?” sahut Udin, keningnya mengernyit. “Aku malah tadi pagi sempet melayat sebentar.”
Paryo mencondongkan tubuh, suaranya menurun seperti sedang menuturkan rahasia.
“Katanya, tengah malam Kyai ngerasa kepanasan, lalu masuk ke sumur di belakang pesantren. Dari situ… gak keluar lagi.”
Udin menggigit bibirnya, rokok di tangannya hampir jatuh. “Masyaallah… masuk sumur? Jadi… meninggalnya di situ?”
“Ya gitu katanya. Orang-orang bilang badannya ada tanda bundar sebesar uang koin ,waktu diangkat. Tapi entah, gak ada yang berani deketin.”
Larashati dan Nia saling pandang. Angin sore berhembus, menggoyang daun pisang di belakang mereka , suara gesekannya seperti bisikan samar.
Paryo mendesah, menatap ujung sepatunya. “Aneh ya, kemarin pas acara di sini, Kyai Mansur kelihatan sehat. Bahkan sempat muji panggung yang dibikin di atas sumur itu…”
Ia berhenti, pandangannya mendadak menajam ke arah sudut halaman.
Dua pasang mata kecil sedang menatapnya dari balik dinding bata.
Larashati dan Nia tersentak. Tubuh mereka kaku sesaat sebelum buru-buru berpaling. Tapi terlambat ,mata Paryo sudah menangkap bayangan mereka.
Darahnya seakan berhenti mengalir. Seketika ia menegakkan badan.
“Ya udah Din, aku berangkat duluan. Orderanku udah nunggu,” katanya tergesa, suaranya gemetar halus.
Udin menatap heran. “Lho, baru aja ngobrol,yaudah, hati-hati, Yo.”
Paryo berjalan menjauh, langkahnya cepat, tapi sesekali ia menoleh ke belakang. Di dadanya bergetar rasa aneh, semacam firasat buruk yang tak bisa dijelaskan. “Dua bocah itu…” gumamnya pelan, “...bukan manusia biasa.”
Ia menelan ludah. Dalam kepalanya berkelebat bayangan: panggung kemarin dibangun tepat di atas sumur tua ,tempat dua bocah itu pernah bermain dengan ular siluman.
Paryo mengusap tengkuknya, menahan gemetar. “Jangan mikir aneh-aneh, nanti malah kau yang dimakan…” batinnya menegur dirinya sendiri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.
“Kak, supir itu kenapa? Kok liat kita kayak liat hantu?” tanya Nia polos, matanya bulat menatap kakaknya.
Larasati tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan di baliknya. “Aku juga gak tau, Dek. Tapi... kenapa ya, rasanya semua orang di sini takut sama sesuatu yang gak kelihatan.”
“Ular itu, Kak?”
Laras menatap langit yang mulai gelap, lalu berbisik lirih, “Mungkin. Atau mungkin bukan… tapi sesuatu yang lebih tua dari ular itu sendiri.”
Sementara itu, di dalam rumah megah yang berdiri di tengah halaman luas, Suharti dan Ratmono duduk di ruang tamu marmer yang berkilau seperti istana kecil. Wajah mereka tenang, bahkan bahagia. Di atas meja, lilin aroma melati menyala, asapnya menari lambat di udara.
Ratmono bersandar ke kursinya, menyeringai. “Har… Kyai Mansur sudah game over.”
Suharti mengangkat alis, senyumnya dingin. “Aku tahu. Tadi aku lihat istrinya waktu melayat… matanya kosong. Mungkin belum percaya suaminya udah gak ada.”
Ratmono terkekeh pendek, “Haha… para santrinya juga, kayak manusia yang belum makan tiga hari.”
Ia menepuk meja, wajahnya bersinar oleh kesenangan yang kejam.
“Yang penting pundi-pundi kita bertambah.”
Suharti memutar cincin di jarinya, menatap langit-langit seolah menghitung sesuatu di udara. “Aku pikir… kita buka pom bensin. Di depan jalan raya besar itu.”
Ratmono menoleh, matanya menyipit penuh perhitungan. “Bagus, Har. Kalau itu jadi, kekayaan kita makin kelihatan realistis. Orang gak bakal curiga.”
Mereka tertawa pelan , tawa yang menggema di ruang sepi seperti suara pintu neraka yang terbuka sedikit. Di luar, angin sore berhembus melewati halaman, menyentuh genting, membawa bau melati yang berubah getir.
Melanjutkan ,“Har…” katanya pelan, suaranya dalam, menggema seperti seseorang yang baru saja menemukan ide gila. “Kau tahu, aku dengar ada pesugihan yang caranya… berbeda dari biasanya.”
Suharti mengangkat alis, melirik Ratmono. “Berbeda bagaimana?”
“Pesugihan itu… dilakukan lewat hubungan tubuh,” jawab Ratmono dengan nada datar, namun matanya menyala, memantulkan cahaya bulan yang menembus jendela. “Konon, setiap kali pelaku melakukan ritual itu dengan benar, satu jiwa akan ditukar dengan limpahan rezeki.”
Suharti menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap suaminya dengan tatapan setengah serius, setengah penasaran. “Oh?” ujarnya perlahan. “Dan di mana tempatnya?”
“Di Gunung Kemukus,” jawab Ratmono cepat. “oh sekitaran solo apa klaten berati sahut suharti. Iya benar ,disana tempat orang-orang mencari kaya dengan cara paling kotor yang tak bisa dibayangkan manusia.”Ratmono menerangkan dengan semangat.
Suharti tersenyum miring, bibirnya melengkung seperti ular yang hendak menggigit. “Gunung Kemukus…” gumamnya.oh benar aku juga pernah dengar tapi aku kira itu bohong,karena terlalu tak masuk akal . Banyak pejabat, pengusaha, sampai tokoh agama datang ke sana malam hari, tapi pulang-pulang membawa ‘berkah’ yang aneh.”
Ratmono terkekeh. “Mereka semua munafik, Har. Mereka datang untuk dosa, tapi pulang membawa doa.” Ia bersandar, menatap istrinya lekat. “Kita sudah terlanjur masuk ke kubangan ini. Kalau ingin lebih dalam, kenapa tidak sekalian menyelam?”
Suharti bangkit, berjalan perlahan mendekat. Langkahnya lembut tapi menegangkan, seperti kucing mendekati mangsanya. “Kau pikir aku takut dosa, Mas?” katanya dengan nada tajam namun tenang. “Kita sudah mengorbankan banyak jiwa. Kita sudah menukar nurani dengan emas. Kalau ini bisa membuat kita lebih kuat, lebih berkuasa…” ia berhenti sejenak, menatap mata suaminya, “...maka dunia pun akan bertekuk lutut pada kita.”
Ratmono tersenyum puas, suaranya serak. “Begitu yang kuinginkan dari seorang istri,bukan wanita lemah yang menangis karena takut neraka, tapi ratu yang menciptakan nerakanya sendiri.”
Sore itu, langit mendung perlahan menutup cahaya senja. Angin mulai berputar aneh, seperti ada sesuatu yang tidak terlihat sedang bergerak. Di kejauhan, suara anjing melolong bersahutan,tanda ada sesuatu yang tak wajar di udara.
Seminggu berlalu setelah pembicaraan itu. Di kampung, kabar buruk datang bertubi-tubi. Setelah kematian Kyai Mansur yang misterius, kini satu anak dari panti asuhan meninggal mendadak. Tubuhnya membiru, seperti membeku dari dalam. Tak ada tanda-tanda penyakit, tak ada penyebab pasti.
Warga mulai berbisik. “Mungkin ini kutukan,” kata seorang ibu di warung. “Atau mungkin santet,” sahut yang lain. Tapi di antara bisikan itu, selalu ada nama yang muncul lirih,Suharti dan Ratmono.
Namun siapa berani menuduh langsung? Mereka orang paling dermawan di kecamatan itu. Sering mengadakan pengajian, memberi sembako, membantu pembangunan masjid. Suharti bahkan dikenal ramah dan halus tutur katanya. Tidak ada yang tahu, di balik senyum lembut itu, tersembunyi taring iblis yang berlumur darah.
Setiap malam, di balik pagar tinggi rumah mereka, suara samar terdengar,tawa kecil, langkah kaki, kadang seperti bisikan doa yang diselingi desahan. Tidak ada yang berani mendekat, terutama setelah serentetan kecelakaan terjadi di depan rumah itu.
Satu demi satu pengendara menabrak pohon asam di tepi jalan. Kadang malam hari, kadang siang bolong. Ada yang mati di tempat, ada yang pingsan dan mengigau menyebut nama yang sama: “ular besar ular besar"
Pohon itu kini dipenuhi kain kuning yang digantung warga, sebagai tanda tempat angker. Tapi tak ada yang tahu bahwa di bawah akar pohon itulah, Suharti dan Ratmono menanam tumbal-tumbal mereka.
Dunia mereka kini berjalan dalam dua wajah: di siang hari, mereka dermawan dan terhormat; di malam hari, mereka pemuja gelap yang menukar jiwa demi harta.
Dan di Gunung Kemukus, jauh di lereng yang diselimuti kabut, suara angin berhembus membawa desas-desus,akan ada dua manusia baru datang mencari kekayaan.
Bukan dengan doa, tapi dengan tubuh.
Bukan dengan iman, tapi dengan dosa.
Dan dunia akan segera tahu… bahwa setiap kekayaan yang bercahaya, selalu meninggalkan bayangan yang lebih gelap daripada malam itu sendiri.