Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yamg terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrak
Runa memandangi jalanan yang lumayan padat padahal belum waktunya jam kerja berakhir tapi jalan raya lumayan padat. Ia sedang berada di dalam taksi untuk kembali ke dormitory setelah mengantarkan tante Retno pulang lebih dulu. Bukan tak ada orderan masuk tapi orderannya kelewat membludak semenjak bertemu dengan teman-teman arisan tante Retno. Ponselnya sejak kemarin selalu penuh dengan pesan masuk, rasanya ia menyesal kenapa kemarin memberikan kontak telepon pada teman-teman tante Retno. Terutama tante Intan, wanita itu paling gigih memaksanya. Menghadapi orderan Qian saja sudah membuat otaknya sedikit ngebul karena makin kesini permintaannya makin aneh-aneh.
"Panjang umur banget. Baru kepikiran bentar aja langsung nelpon." gerutu Runa saat nama Qian memenuhi layar ponselnya.
Runa segera menggeser ikon hijau, "halo mas, gimana?"
"Oh itu, iya maaf lupa belum balas. Tadi aku fokus nemenin cuci darah soalnya suster ngejelasin beberapa hal penting." jawab Runa beralasan saat Qian menanyakan kenapa pesannya dari tadi tak ada yang dibalas satu pun.
"Iya, mas. Ini aku lagi diperjalanan ke Imperial Living. Tapi macet banget nih, mungkin sorean sampe kantor mas Qian."
"Iya, mas. Siap." Runa mengakhiri panggilan seraya berdecak lirih, "gini banget nyari duit." batinnya.
"Maaf puter balik pak, ke Imperial Living." ucapnya pada supir taksi. Hari ini meskipun jalan padat tapi tak macet juga, terpantau ramai lancar, hanya saja jarak dormitory dan kantor Qian yang berlawanan membuat dirinya membutuhkan waktu lama untuk sampai disana.
"Makasih, pak." ucapnya setelah sampai tujuan.
"Kayaknya bakal sering bolak balik kesini nih kedepannya." gumam Runa begitu melangkahkan kaki untuk kesekian kali di tempat itu.
Belum menghampiri meja front office Runa menghela nafas panjang, "ya ampun dia lagi." batinnya kala melihat Sandra tengah ribut dengan petugas front office hingga dipanggilkan satpam.
Runa membuka ikat rambutnya dan sebisa mungkin menghindari Sandra. Ia tak mau terlibat dengan wanita tak beradab itu.
"Saya udah ada janji dengan pak Izqian, bisa minta tolong diinformasikan pada pak Izqian saya sudah tiba. Atas nama Aruna." ucap Runa dengan sopan pada resepsionis.
"Ngapain lo nyari calon suami gue!" sia-sia Runa menggerai rambut bahkan membiarkan sebagian rambutnya menutupi wajah, rupanya Sandra mendengar saat ia menyebut nama Izqian.
"Gue ngomong sama lo!" tak mendapat respon, Sandra menarik kasar bahu Runa.
"Lo lagi! ngapain kesini!"
Runa acuh, hanya menatap sekilas kemudian melenggang pergi saat resepsionis memberinya izin masuk. Sementara Sandra masih ribut dengan petugas, merasa tak terima kenapa dia tak boleh masuk sementara pembantu di rumah Qian saja mendapat izin untuk masuk.
Runa menekan angka tiga begitu masuk lift, sebelum pintu tertutup ia masih bisa melihat Sandra yang marah-marah di depan sana. "dia lagi, dia lagi, sampe muak liatnya. Nggak ada adab." batinnya.
Tiba di lantai tiga, belum sempat menjelaskan maksud kedatangannya, Gita sudah langsung mengantarnya ke ruangan Qian.
"Silahkan, sudah ditunggu dari tadi." ucapnya ramah.
"Makasih, bu." jawab Runa.
Saat Runa masuk Qian masih terlihat sibuk di mejanya.
"Duduk dulu, tunggu bentar."
"Iya, mas." Runa duduk santai sambil membalas dengan sopan runtutan pesan yang masuk dari teman-teman tante Retno. Ia juga membuka DM di media sosialnya, lumayan banyak. Namun tampaknya belum bisa ia ambil mengingat kerjaan yang diberikan Qian saja sudah lumayan banyak. Menemani cuci darah juga cukup menyita tenaga meskipun disana hanya diam dan menemani ngobrol tapi tetap saja berada di lingkungan orang-orang sakit menghabiskan energinya. Tak hanya itu, ia juga harus menanggapi pesan-pesan dari Mayra yang seolah terus mendesaknya untuk berdekatan dengan Qian. Tak habis pikir kenapa keluarga kliennya kali ini begitu kompak menyudutkan dirinya.
"Lagi ada job lain?" tanya Qian yang duduk di hadapannya dengan berkas di tangannya.
"Nggak, mas." Runa yang sedari tadi sibuk dengan ponsel segera meletakan benda pipih itu di meja.
"Kelihatannya sibuk banget sama HP."
"Iya, mas. Temen-temen tante Retno pada mau order, terus aku juga lagi balesin chat Mayra." jawab Runa.
"Chat Mayra aja kamu balesin, chat aku di read doang." sindir Qian.
Runa tersenyum kikuk, "mas Qian kan tadi chat pas aku lagi di rumah sakit jadi sibuk, kalo Mayra kan chat nya pas aku lagi santai barusan." kilah Runa.
"Katanya ada kerjaan baru tadi mas?" lanjutnya. Meski sudah dengar melalui telepon jika lelaki di depannya ini memberikan pekerjaan jadi pacar tapi ia memutuskan menganggap tak pernah mendengar permintaan itu dari pada canggung.
"Sesuai yang aku bilang ditelepon tadi. Jadi pacar aku!" jawab Qian dengan enteng.
"Hah? jadi pacar?"
"Iya. Solusi semua masalah kan? bisa jasa apa pun kan tinggal request?"
"Iya sih mas, tapi-"
"Kenapa? udah punya pacar?" sela Qian, "tenang aja, tinggal jelasin ke pacar kamu." lanjutnya seraya meletakan berkas ke hadapan Runa, "dibaca dulu!"
"Aku sih nggak punya pacar mas, cuma agak aneh jasa jadi pacar." jawab Runa. Ia membuka berkas di depannya, membacanya dengan seksama.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lucu. Semakin banyak yang ia baca maka semakin lebar juga senyum di bibirnya.
"Gimana?" tanya Qian.
Runa terkekeh, "tiba-tiba aku ngerasa jadi pemeran wanita drama nikah kontrak mas. Cuma bedanya ini pacar kontrak."
"Emang ada drama kayak gitu?"
"Banyak mas. Makanya nonton drama cina atau drama korea deh." ledek Runa.
"Ini kalo di drama-drama sih awalnya kontrak ntar malah jadi beneran loh mas." lanjutnya.
"Masa? aku nggak ada waktu nonton drama-drama kayak gitu. Jadi gimana deal nggak buat jasa yang ini?" tanya Qian.
"Aku sih nggak masalah mas, toh cuma harus pura-pura jadi pacar mas Qian di depan mba Sandra kan?"
Qian mengangguk, "iya. Pusing banget berasa diteror tiap hari. Kayaknya aku harus punya pacar biar dia bener-bener mundur. Udah putus pun masih ngejar terus. Kao aku udah ada pasangan kan dia mau nggak mau harus move on."
"Iya. Aku juga liat mba Sandra tadi di bawah. Kemarin di rumah juga ketemu." jawab Runa, "aku baca kontraknya sekali lagi deh mas." lanjutnya kemudian membaca ulang kontrak dengan seksama sebelum menandatanganinya.
"Deal?"
"Sebentar mas, ini kontrak nggak ada jangka waktunya. Aku jadi nggak tau habisnya kapan?"
Qian membaca ulang kontrak yang sudah ia ketik dari tadi, "Fleksibel aja sampe Sandra nggak ganggu aku lagi."
"Ya udah deh, paling juga cukup jalan sekali dua kali di depan mba Sandra juga udah bikin dia mundur kan mas?"
"Iya. Udah tanda tangan aja." Qian memberi Runa pulpen.
"Siap." Runa mengambil pulpen dan menandatanganinya.
Qian juga ikut tanda tangan sebagai pihak pertama, kemudian memberikan satu salinan untuk Runa.
"Simpan di kamu satu, aku satu."
Runa menerimanya, memfotonya kemudian merobek kertas kontrak tersebut.
"Kok disobek?"
"Iya, takut jadi masalah mas. Kalo di drama-drama nanti ketahuan terus jadi masalah. Jadi cukup foto terus simpan di drive. Lagian ini cuma kontrak pacaran bukan kontrak nikah. Paling juga dua minggu kelar." jelas Runa.
"Iya juga." Qian ikut merobek kontraknya setelah memfoto.
"Senang pake jasa kamu. Semoga job kali ini juga memuaskan kan yah seperti job jaga mama." Qian mengulurkan tangannya.
Runa menjabat tangan Qian, "senang juga kerja sama mas Qian, banyak bonusnya."
"Kalo misi kali ini berhasil, bonusnya aku tambah."
Runa langsung berpindah duduk di samping Qian. Memegang lengan lelaki itu dan menyandarkan kepalanya dibahu Qian, "siap laksanakan, sayang."
Qian terdiam. Ia melirik Runa yang santai bersandar di bahunya. Gadis itu malah tersenyum begitu manis, "kenapa sayang?" ucapnya lirih kemudian segera beranjak berdiri.
"Gimana mas udah profesional banget kan kerjaanku?" ledeknya, "aku pamit pulang dulu." lanjutnya terburu-buru pergi.
Qian hanya mengangguk, membiarkan Runa menghilang dibalik pintu kemudian menyandarkan kepalanya di sofa, menatap langit-langit ruangan yang didominasi warna putih. "cuma pura-pura kenapa deg-degan banget?" batinnya.
heeeemmm gimana tanggapan mama retno yaaaa pasti ndukung bgt klo sandra bilang qian pacaran ma runa....
yaaa salamm....serba salah ngadepin modelan sandra.
ya udh sih... nikmati aja . suruh nikah ya nikah aja.... gitu aja kok repot . emang kamu gak mau Qian nikah sama Aruna . pasti mau dong....masak gak mau...harus mau lah.... 🤭🤣🤣🤣 maksa ya .
oh ... Sandra....aduin aja ke mama Retno , sudah bisa dipastikan mama Retno bakal iya in aja . secara dia udah amat sangat cocok dengan Aruna .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍