NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 22: Keterangan yang Terukir

​Pukul 14:30.

​Ciuman itu memutus segalanya—janji, moral, dan akal sehat. Mereka terhuyung mundur menuju ranjang abu-abu gelap, sebuah jatuhnya kekuasaan yang disengaja. Di saat kain-kain bergesekan dan terlepas, setiap helai pakaian terasa seperti topeng yang dibuang.

​Raka tidak terburu-buru. Justru itu yang paling berbahaya. Gerakannya lambat, sadar, dan fokus, seolah-olah dia sedang mengukir sebuah deklarasi, bukan hanya melakukan perselingkuhan. Dia ingin Luna hadir sepenuhnya, tidak hanya secara fisik, tapi juga jiwanya yang gelap.

​Ketika Luna hanya mengenakan kain tipis, Raka menariknya, memaksanya menatap pantulan mereka di jendela besar yang menghadap kota.

​"Lihat kita, Lun," bisik Raka, suaranya mengandung campuran kebanggaan dan kekejaman. "Ini adalah kita yang sebenarnya. Di balik semua kemeja mahal, di balik semua sopan santun, ini yang kita inginkan."

​Luna melihat pantulan itu: seorang pria yang mapan dengan mata liar, dan seorang wanita muda yang tampak rapuh namun dengan tatapan yang membara. Mereka tampak seperti dua orang asing, namun sangat akrab, berbagi sebuah rahasia yang mematikan.

​"Aku tidak bisa membencimu di sini," jawab Luna, suaranya tercekat. "Tidak ada lagi kebohongan. Hanya kebenaran, Mas. Kebenaran yang menjijikkan ini."

​"Bagus. Jangan pernah membenciku di sini," Raka mencengkeram dagunya dengan lembut. "Benci dirimu, benci Naira, benci Tuhan. Tapi jangan benci aku. Aku adalah alasan kamu akhirnya menjadi dirimu sendiri."

​Dia mendorong Luna kembali ke ranjang, dan saat itu, tidak ada lagi perlawanan. Ada penerimaan. Luna merasakan Raka adalah jawaban atas pertanyaan yang ia tidak berani tanyakan pada dirinya sendiri: apa batas paling gelap yang bisa ia capai?

​Di tengah gairah yang dibangun di atas kebohongan yang elegan, Luna menemukan sebuah ironi yang menyakitkan. Sentuhan Raka—tangan yang mengelus, bibir yang merampas, bisikan yang memuji kegilaannya—terasa lebih tulus daripada semua kata-kata cinta yang pernah ia terima dari hubungan yang 'aman'. Keintiman ini lahir dari pengakuan bersama: mereka berdua rusak, dan kerusakan itu saling melengkapi.

​Dia merasakan panas tubuh Raka, napasnya yang serak, dan bisikannya yang terus-menerus. Bukan kata-kata cinta, melainkan instruksi, pengakuan dosa, dan deklarasi bahwa waktu mereka di sini adalah sakral.

​"Di luar sana, aku adalah suami Naira yang sempurna," bisik Raka, sambil merangkum tubuh Luna. "Di sini, aku adalah iblis yang kamu puja. Dan setiap kali kamu tersenyum pada Naira nanti, setiap kali kamu duduk di meja makan, kamu akan tahu bahwa kamu membawa bauku, keteranganku, di bawah semua kain itu."

​Pernyataan itu mengakhiri perlawanan terakhir Luna. Ia adalah trophy Raka, bukti keahliannya. Dan yang paling gila, ia merasa sangat dihargai.

​Pukul 16:45.

​Tiga jam berlalu seperti sebuah kilatan. Mereka berdua terengah, terbaring dalam keheningan yang dalam dan penuh makna di atas seprai abu-abu gelap itu. Bau apartemen yang netral kini telah digantikan oleh aroma mereka—keringat, parfum mahal Raka, dan bau mendesak dari kesepakatan yang baru dibuat.

​Raka bangkit lebih dulu. Ia bergerak seperti seorang prajurit, mengenakan pakaiannya kembali dengan ketenangan yang menakutkan. Ia kembali menjadi citra suami ideal. Luna memandangnya dari ranjang, merasakan sensasi kulitnya yang masih panas.

​"Sudah waktunya," kata Raka, suaranya kembali ke nada formal yang santai.

​Ia berbalik, mengulurkan tangan ke Luna. Luna meraihnya, dan Raka menariknya berdiri.

​"Kamu harus pergi sepuluh menit sebelum aku," Raka menginstruksikan. "Keluar dari lift. Naiklah taksi dari lobi. Pergi ke sekitar Studio Karsa. Berjalanlah sebentar, lalu panggil taksi online ke rumah. Pastikan ada interval. Kita tidak pernah ada di sini."

​Luna mengangguk, mengambil pakaiannya, dan mengenakan hoodie hitam itu kembali. Kali ini, hoodie itu bukan lagi perisai, tapi kulit kedua.

​Saat Luna siap, Raka mendekatinya, tidak lagi dengan gairah, tapi dengan ketelitian. Ia menyentuh rambut Luna, merapikannya.

​"Senyummu," Raka berbisik, matanya tajam. "Jangan terlihat terlalu bahagia, tapi jangan terlihat sedih. Terlihatlah lega. Lega karena kamu sudah mulai menyalurkan minat melukismu."

​Raka mencondongkan tubuhnya, mencium kening Luna—ciuman yang lembut, platonis, dan sangat dingin. "Sampai jumpa di meja makan, Luna."

​Dia menyerahkan kunci itu kembali. Kunci itu dingin lagi di telapak tangan Luna.

​Luna keluar dari Unit 903. Di koridor yang sunyi, ia melihat ke belakang. Pintu itu tertutup, dan kebenaran yang kejam itu tersegel di dalamnya.

​Saat ia berjalan ke lobi, ia merasakan beratnya kuncian itu di sakunya. Kunci itu bukan hanya menuju apartemen. Itu adalah kunci menuju identitasnya yang baru—seorang wanita yang telah memilih untuk tenggelam dan menerima kerusakan.

​Di luar, kota tampak sama—sibuk, acuh tak acuh. Luna berjalan ke arah lobi, mengangkat tangannya untuk memanggil taksi, dan ia tidak merasa malu. Ia hanya merasa jelas.

​Ia telah menemukan dirinya sendiri, dan ia adalah sosok yang diciptakan oleh seorang pria yang sudah menikah.

​Pukul 18:00.

​Luna tiba di rumah, disambut dengan pelukan riang Naira.

​"Gimana, Sayang? Enak kan melukis? Pasti kamu jadi lega banget," sapa Naira.

​Luna tersenyum. Senyum itu sempurna—sedikit lelah, namun memancarkan resolusi yang baru ditemukan, persis seperti yang Raka inginkan.

​"Iya, Kak. Aku harusnya sudah mulai dari dulu. Aku ambil kelas dasar cat air. Materinya seru banget. Aku sampai lupa waktu," Luna berbohong dengan lancar.

​Naira senang sekali. "Tuh, Mas Raka bilang juga apa. Kamu kuat."

​Luna menatap Naira, kakak perempuannya yang baik dan tulus, dan rasa bersalah meluap, tapi segera ditindih oleh euforia. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa kembali.

​Saat makan malam tiba, Raka sudah duduk di meja, dengan kemeja bersih dan wajah tenang, membaca berita di tablet-nya.

​Luna duduk di seberangnya. Ia melihat Raka, dan ia melihat iblisnya.

​Raka mendongak, matanya bertemu dengan Luna sekilas. Tatapan itu cepat, dingin, dan tidak berarti apa-apa bagi Naira. Tapi bagi Luna, itu adalah sebuah deklarasi kemenangan.

​"Bagaimana harimu, Lun?" Raka bertanya, nadanya sebagai kakak ipar yang perhatian.

​Luna tersenyum. "Sangat produktif, Mas. Aku menemukan apa yang aku cari."

​Raka tersenyum kembali, senyum platonis yang sempurna, dan Luna tahu, perang sudah dimulai.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!