NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14

Amira duduk di atas dipan periksa yang dingin, menahan rasa perih di kakinya. Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan aroma obat-obatan yang khas dari ruang kecil berwarna putih gading itu.

Seorang perawat menyingkap perlahan kain yang menutup luka di betisnya, sementara dokter—pria paruh baya berkacamata dengan wajah tenang—mengamati dengan senter kecil.

“Lukanya cukup dalam, tapi tidak kena otot,” Ucapnya lembut, berusaha menenangkan. Ia menyiapkan cairan pembersih luka, menuangkannya ke kapas.

Amira sedikit meringis saat kapas yang dingin menyentuh kulitnya, membuatnya menggigit bibir agar tak berteriak. Tangannya mencengkeram ujung baju yang ia kenakan.

“Tarik napas yang dalam, Nona,” Kata sang dokter sambil mulai mengoleskan salep antibiotik, kemudian membalut luka itu dengan perban putih yang rapi.

Perawat menepuk pelan pundak Amira, memberi senyum hangat. “Sudah selesai. Nanti jangan banyak jalan dulu, ya. Luka ini butuh waktu untuk kering.”

Amira mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca namun kini lebih lega. Ruang klinik yang semula terasa dingin tiba-tiba terasa sedikit lebih hangat oleh perhatian mereka.

Amira melangkah perlahan keluar dari ruang periksa, pergelangan tangannya masih dituntun lembut oleh perawat agar tidak kehilangan keseimbangan. Aroma antiseptik dari dalam ruangan masih terbawa hingga lorong klinik yang tenang.

Angga, yang sejak tadi duduk di kursi tunggu dengan wajah tegang, segera berdiri begitu melihat Amira keluar. Kedua alisnya terangkat, namun sorot matanya tak sedikitpun menyiratkan rasa khawatir.

“Kamu masih bisa jalan, rupanya.”

Nada suara Angga terdengar datar, nyaris tanpa intonasi hangat. Ia menyerahkan sekantung plastik berisi obat ke tangan Amira begitu perawat itu meninggalkan mereka berdua.

Amira menerima kantung itu perlahan, menunduk tanpa membalas ucapan Angga. Jemarinya meremas kantung plastik itu, entah karena gugup atau menahan rasa perih di kakinya.

Angga hanya menatap sekilas ke arah perban yang membalut betis Amira, kemudian mencondongkan badan sedikit ke belakang, bersedekap. Tak ada senyum, hanya sorot mata yang sulit dibaca. "Aku tinggal dulu."

“Aku tinggal dulu,” Ucap Angga sambil meraih kunci mobil di saku celananya. Gerakannya tenang namun dingin, seolah tak ada sedikit pun kekhawatiran yang tadi sempat terpancar di wajahnya.

"Terima kasih, Mas. Maaf sudah merepotkan. Tapi ponselku ..."

“Itu bukan salah saya.” Potong Angga cepat, tanpa menunggu Amira menyelesaikan kalimatnya. Nada suaranya dingin, nyaris seperti bentakan halus yang membuat Amira terdiam seketika. "Berapa emang harga ponsel kamu?!"

Amira membisu, menunduk dalam-dalam. Bukan soal harga ponselnya yang hilang—meski untuk membelinya ia harus bekerja keras, menabung dari jerih payahnya sendiri. Yang membuat dadanya terasa sesak adalah segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya.

Bukan hanya foto-foto dan pesan singkat yang menyimpan potongan kenangan, tetapi juga satu hal yang paling berharga: nomor Satria. Kontak itu kini terputus, dan entah bagaimana cara ia bisa menghubungi Satria lagi.

Ia meremas erat kantung obat di pangkuannya, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba mengalir deras. Bagi orang lain, ponsel itu mungkin hanyalah barang biasa—namun bagi Amira, kehilangan itu terasa jauh lebih dalam daripada sekadar kehilangan benda.

“Oke!” Angguk Angga sembari merogoh sesuatu dari dalam dompetnya. Gerakannya santai namun matanya tetap dingin, tanpa ekspresi.

Ia menarik beberapa lembar uang, lalu mengulurkannya pada Amira. “Pakai ini buat beli ponsel baru atau apa pun yang kamu butuh,” Ucapnya singkat, suaranya tetap datar tanpa nada iba.

Amira menatap uang di tangannya dengan tatapan bimbang. Ia tidak segera menerimanya, seolah masih menimbang harga diri dan rasa terima kasih yang saling bertabrakan di dadanya.

“Mas … aku nggak minta ganti uang,” Lirihnya pelan, menunduk.

“Ambil dan urusan kita selesai,” Potong Angga, menunggu tanpa sedikit pun menunjukkan tanda akan menarik ucapannya kembali.

"Tidak, Mas. Aku—"

Angga segera memasukan uangnya ke dalam kantung Obat Amira. "Saya berharap, saya tidak akan lagi bertemu dengan wanita sial sepertimu."

Amira menelan saliva. Sedangkan, Angga berbalik tanpa berkata apa-apa lagi, lalu melangkah pergi dengan langkah lebar yang tenang. Amira, yang menahan sakit di betis dan terbalut perban, berusaha mengikuti langkah Angga yang lebih dulu menuju pintu keluar klinik.

Di lorong yang lengang itu, terdengar samar suara langkah mereka berdua—satu berat dan tegas, satu lagi pelan dan tertatih. Lampu neon yang redup memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan kesan dingin dan sunyi.

Angga melangkah duluan menuju mobilnya. Ia membuka pintu mobil, hendak masuk, namun saat terdengar suara lirih di belakangnya, ia kembali berbalik dan menatap lurus Amira yang berjalan terpincang-pincang sambil meringis kesakitan.

Angga mendesis lalu berjalan cepat menghampiri. "Dimana rumah kamu?!"

Amira memandang wajah Angga.

"Aku antar kamu pulang sekarang." Kata Angga menarik lengan Amira dan mengajaknya jalan menuju mobil.

"Mas, sakit."

Angga tak menoleh. Tak peduli keluhan Amira. Jemarinya tetap kuat menggenggam lengan gadis itu tanpa melonggar.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!