Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - kekaisaran Siu
Di tengah kemegahan istana Kekaisaran Siu, matahari pagi memantulkan cahaya keemasan ke genteng-genteng berlapis giok hijau. Balairung utama berdiri anggun dengan tiang-tiang merah menjulang, sementara para kasim dan dayang berlarian mengatur rutinitas harian. Dari luar, istana ini tampak sempurna, penuh kemegahan dan ketertiban. Namun di balik dinding berukir naga dan phoenix itu, tersembunyi rahasia kelam: pertarungan diam-diam demi kekuasaan.
Pangeran Siu Wang Ji, satu-satunya putra dari Kaisar Siu Ming dan Permaisuri Xu Jia, tumbuh di tengah pusaran itu. Sejak ia lahir, banyak mata memandangnya dengan iri. Bagaimana tidak? Sebagai putra sah permaisuri, ia adalah pewaris sah takhta Kekaisaran Siu. Tapi sejak kecil, hidupnya justru dipenuhi bahaya yang datang dari dalam istana sendiri.
---
Usianya baru lima tahun saat pertama kali ia merasakan pahitnya racun. Hari itu, ia sedang duduk di taman kecil di belakang paviliun permaisuri. Angin bertiup lembut, membawa wangi bunga plum. Wang Ji kecil yang masih polos memandangi kupu-kupu, sambil memegang kue beras yang baru saja diberikan seorang dayang.
“Pangeran kecil, silakan dimakan,” kata sang dayang dengan senyum lembut.
Wang Ji menggigit satu potong. Awalnya manis, tapi sesaat kemudian tenggorokannya terasa terbakar. Ia terbatuk keras, wajahnya memerah, tubuhnya bergetar. Dayang itu pura-pura panik, tapi tatapan matanya berkilat aneh. Beruntung, seorang pengawal pribadi permaisuri segera datang dan menyadari ada yang salah. Tabib dipanggil, racun berhasil dikeluarkan, dan nyawa kecil Wang Ji terselamatkan.
Sejak hari itu, Permaisuri Xu Jia semakin waspada. Ia tahu betul siapa dalang di balik usaha pembunuhan itu—Selir Ma Linkin, wanita licik yang sejak awal masuk istana selalu menaruh iri. Selir Ma memiliki seorang putra, Siu Rong, sebaya dengan Wang Ji. Bagi Selir Ma, hanya satu tujuan hidupnya: memastikan Siu Rong menjadi Putra Mahkota, menggantikan Wang Ji.
Tapi bagaimana cara menyingkirkan anak sah permaisuri? Racun adalah senjata yang paling mudah, dan sejak kecil, Wang Ji harus menelan pahitnya upaya pembunuhan itu berkali-kali. Makanan yang ia makan, teh yang ia minum, bahkan mainan yang ia pegang—semua bisa menjadi alat pembunuh.
---
Bukan hanya racun. Lidah orang-orang istana juga lebih tajam dari pedang.
Wang Ji tumbuh dengan telinga penuh hinaan.
“Pangeran itu lemah.”
“Lihatlah, ia sakit-sakitan. Tidak pantas jadi pewaris.”
“Lebih baik Siu Rong saja yang menjadi Putra Mahkota.”
Kata-kata itu sering ia dengar ketika berpura-pura tidur atau saat berjalan melewati koridor panjang. Bahkan, beberapa kasim dan dayang yang seharusnya melayaninya terkadang berani meremehkan. Mereka mengira Wang Ji terlalu kecil untuk mengerti, padahal hatinya merekam setiap kata dengan jelas.
Permaisuri Xu Jia selalu berusaha melindunginya. Di balik senyum anggun seorang permaisuri, ia adalah ibu yang terus gelisah. “Anakku, kau harus kuat,” bisiknya suatu malam ketika Wang Ji menangis diam-diam. “Suatu hari nanti, kebenaran akan berdiri di pihakmu.”
Kaisar Siu Ming sendiri? Ia seorang penguasa yang sibuk dengan urusan negara. Meski sesungguhnya menyayangi Wang Ji, namun intrik istana membuat kasih sayangnya tak pernah benar-benar sampai. Apalagi Selir Ma pandai bersandiwara, selalu menunjukkan wajah manis di hadapan kaisar, membuat seolah Wang Ji hanya membesar-besarkan.
----
Siu Rong, putra Selir Ma, menjadi bayangan hitam dalam kehidupan Wang Ji. Di depan ayahanda Kaisar, Siu Rong selalu bertingkah manis, sopan, dan rajin. Tapi di belakang, ia menunjukkan wajah asli angkuh, iri, dan kejam.
“Aku yang seharusnya jadi Putra Mahkota,” bisiknya suatu kali saat mereka berdua bermain di halaman istana. “Kau hanya bocah lemah. Cepat atau lambat, semua orang akan meninggalkanmu.”
Wang Ji menggenggam erat mainannya, menahan air mata. Ia masih kecil, belum mampu melawan. Tapi jauh di lubuk hatinya, api kecil mulai menyala. Api itu bukan sekadar marah, melainkan tekad untuk bertahan hidup.
----
Waktu berlalu. Wang Ji beranjak remaja, usianya menginjak enam belas tahun. Ia tumbuh cerdas, meski tubuhnya sering sakit-sakitan karena racun yang masuk sejak kecil. Hari itu, ia baru saja pulang dari perjalanan ke kuil leluhur bersama beberapa pengawal. Udara sore dingin, langit mulai gelap.
Tanpa diduga, sekelompok orang bersenjata menghadang di jalan setapak menuju istana. Panah-panah melesat, pedang berkilat. Pengawal berusaha melindungi, tapi jumlah musuh terlalu banyak.
“Lindungi Pangeran!” teriak salah satu pengawal.
Wang Ji berlari, jantungnya berpacu. Ia tahu serangan ini bukan kebetulan. Dari bayangan pepohonan, seseorang melompat dan mengayunkan pedang ke arahnya. Wang Ji menangkis dengan belati kecil pemberian ibunya, tapi tubuhnya terhempas. Ia tersandung batu, lalu kepalanya membentur keras di tanah. Pandangannya berkunang-kunang, suara pertarungan semakin menjauh.
Sebelum gelap menelannya, ia mendengar samar-samar suara seorang musuh berbisik, “Tuan besar akan senang mendengar kabar ini. Pangeran lemah itu akhirnya mati.”
----
Tapi Wang Ji tidak mati. Ia dibawa pulang ke istana dalam keadaan tak sadar. Tabib istana datang memeriksa, wajahnya pucat pasi. “Ampun, Yang Mulia… luka di kepala Pangeran terlalu berat. Ia mungkin… tidak akan sadar lagi.”
Permaisuri Xu Jia jatuh berlutut, menggenggam tangan anaknya erat-erat. Air mata tak henti menetes. Kaisar Siu Ming berdiri kaku, sorot matanya campuran antara marah dan putus asa. Sementara itu, jauh di balik tirai emas, Selir Ma menahan senyum tipis.
Hari-hari berubah menjadi bulan, bulan berubah menjadi tahun. Selama satu tahun penuh, tubuh Wang Ji terbaring tak bergerak di ranjang istana. Tubuhnya hangat, nafasnya teratur, tapi matanya tertutup rapat. Semua orang menganggapnya tak berbeda dari boneka hidup.
Namun, yang tak diketahui siapapun Wang Ji mendengar segalanya.
Ia mendengar suara ibunya yang menangis setiap malam.
Ia mendengar kasim dan dayang yang berbisik menghina.
Ia mendengar Selir Ma tertawa lirih, menganggapnya mati sebelum waktunya.
Ia mendengar Siu Rong berseru di luar kamar, “Kakak, biarlah kau tidur selamanya. Takhta akan menjadi milikku.”
Hatinya sakit, tapi ia tak bisa bergerak. Ia ingin berteriak, ingin bangkit, tapi tubuhnya tak mau mendengar. Hingga akhirnya, di dalam kegelapan itu, Wang Ji berjanji pada dirinya sendiri:
Jika suatu hari aku bangun, aku tidak akan membiarkan mereka menang.
Aku akan membuat mereka semua menyesali apa yang telah mereka lakukan padaku.
----
Tepat setahun kemudian, pada musim semi ketika bunga plum kembali mekar, sesuatu berubah. Mata Wang Ji perlahan terbuka. Cahaya menyilaukan menusuk retina, membuatnya mengerjap pelan. Suara ibunya yang sedang membaca doa terdengar jelas, lalu terhenti mendadak.
“Wang Ji…?!” seru Permaisuri Xu Jia dengan suara bergetar.
Tabib dipanggil, seluruh istana gempar. Kaisar datang tergesa-gesa, Selir Ma berpura-pura menangis, Siu Rong menatap penuh kejutan.
Tapi yang lebih mengejutkan bukanlah kebangkitannya—melainkan cara ia bangun.
Wang Ji menatap sekeliling dengan senyum polos. “Ibu… aku… aku ingin makan permen…,” katanya dengan suara kekanak-kanakan. Gerak-geriknya lugu, matanya berbinar layaknya anak kecil berusia lima tahun, bukan remaja lima belas.
Semua orang tertegun. Tabib gemetar, lalu berkata, “Ampun, Yang Mulia… sepertinya Pangeran… kehilangan sebagian akalnya. Ia kembali seperti anak kecil.”
Suasana menjadi kacau. Para pejabat mulai berbisik, “Bagaimana mungkin seorang pewaris bertingkah bodoh? Kekaisaran dalam bahaya!”
Selir Ma menundukkan kepala, menyembunyikan senyum puasnya. Siu Rong bahkan menatap Wang Ji dengan penuh ejekan.
Namun, tak seorang pun tahu kebenarannya. Siu Wang Ji hanya berpura-pura.
Di balik mata yang tampak polos, tersembunyi kecerdasan tajam. Ia sadar sepenuhnya, ingat semua hinaan, semua pengkhianatan. Pura-pura bodoh adalah perisai sekaligus senjatanya. Dengan itu, ia bisa mengamati tanpa dicurigai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik.
Hanya dua orang pengawal pribadinya yang mengetahui rahasia ini, beserta pasukan rahasia kecil yang setia padanya. Bagi dunia luar, Wang Ji hanyalah pangeran kekanak-kanakan yang suka bermain dan tertawa tanpa arti. Tapi bagi dirinya sendiri, ini adalah permulaan.
Permulaan sebuah permainan panjang, Permainan untuk mengungkap siapa kawan, siapa lawan. Permainan untuk menjatuhkan Selir Ma, keluarganya, dan Siu Rong.
Permainan untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya: takhta Kekaisaran Siu.
Bersambung