Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 22
Cinta Setelah Hujan
Hari-hari berikutnya bagi Nayla dan Arka seperti mozaik indah, penuh warna, namun tidak selalu sempurna. Ada potongan-potongan kebahagiaan sederhana yang membuat hati hangat, tetapi juga retakan kecil yang sesekali membuat mereka saling terdiam.
Nayla semakin sibuk mempersiapkan pertunjukan seni di sanggar. Ia sering pulang larut, bahkan kadang harus bermalam di studio untuk menyelesaikan rancangan dekorasi atau menenangkan murid-murid yang kelelahan latihan. Arka, yang sebelumnya selalu hadir menemani, mulai kewalahan membagi waktu antara pekerjaannya di kantor dan tanggung jawab mendukung Nayla.
Suatu sore, ketika hujan baru saja reda, Arka datang ke sanggar membawa makanan. Ia berharap Nayla senang karena sering lupa makan saat bekerja. Namun begitu sampai, ia mendapati Nayla sibuk berdiskusi dengan timnya. Sejak tadi ia tak melihat teleponnya, tak membalas pesan-pesan Arka. Lelaki itu menunggu hampir satu jam sebelum Nayla menyadari keberadaannya.
“Arka? Maaf, aku nggak lihat kamu datang,” ujar Nayla dengan wajah penuh lelah, matanya masih sibuk menatap catatan.
Arka tersenyum kecil, mencoba menahan kecewa. “Nggak apa-apa. Aku bawa makanan, takut kamu belum makan.”
Nayla hanya mengangguk, kemudian kembali menunduk. Arka meletakkan makanan di meja, lalu duduk di pojok ruangan, menatap aktivitas Nayla yang tak berhenti. Ada rasa bangga, tapi juga sedih. Apakah aku hanya menjadi penonton dalam hidupnya sekarang? batinnya.
Malam itu, ketika mereka pulang bersama, Arka mencoba membuka percakapan. “Nay, kamu sibuk banget akhir-akhir ini. Aku seneng sih lihat kamu semangat, tapi… aku kangen sama kita. Kangen ngobrol santai kayak dulu.”
Nayla terdiam, merasa bersalah. “Maaf, Ka. Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa jauh. Cuma… aku takut kalau aku nggak total, pertunjukan ini gagal. Sanggar ini kan bukan cuma buat aku, tapi buat anak-anak juga.”
Arka menatapnya, lalu menarik napas dalam. “Aku ngerti. Aku cuma pengen kamu inget, kamu nggak sendirian. Aku di sini bukan cuma buat ngasih makan atau nganterin pulang. Aku pengen jadi bagian dari hidup kamu, Nay. Meski cuma sekadar ngobrol sepuluh menit, itu udah cukup buat aku.”
Nayla tersenyum getir, lalu menggenggam tangannya. “Terima kasih. Aku janji, aku nggak akan terlalu larut sampai melupakan kamu. Aku nggak mau kehilangan hal terpenting dalam hidupku.”
Ucapan itu membuat hati Arka sedikit lega, meski ia tahu, jalan di depan masih panjang.
Hari berganti, gesekan kecil kembali muncul. Kali ini ketika Arka menunda janji menjemput karena rapat mendadak. Nayla menunggu hampir satu jam di depan sanggar, hujan turun tanpa payung. Saat Arka akhirnya datang, wajah Nayla sudah pucat karena kedinginan.
“Kenapa nggak masuk lagi ke dalam? Kenapa harus nunggu di sini?” tanya Arka dengan nada kesal, merasa bersalah sekaligus bingung.
“Aku nunggu karena kamu janji. Aku percaya kamu bakal datang,” jawab Nayla lirih.
Kalimat itu menusuk hati Arka. Ia tak lagi bisa berkata apa-apa, hanya melepaskan jaketnya dan menyelimuti Nayla. Dalam hati ia berjanji untuk lebih menepati janji, meski dunia kerja sering memaksanya berkompromi.
Malam itu, mereka pulang dalam diam. Hanya suara hujan di luar jendela mobil yang menemani. Nayla bersandar di kursi dengan mata terpejam, sedangkan Arka menggenggam setir dengan kuat, menahan emosi bercampur penyesalan. Mereka sama-sama mencintai, tapi kadang cinta itu tenggelam dalam rutinitas dan kesibukan.
Ketika sampai di rumah, Nayla berbalik menatap Arka. “Ka, kita nggak boleh gini terus. Aku tahu kamu capek, aku juga capek. Tapi kita harus saling bicara. Kalau nggak, kita bisa kehilangan arah.”
Arka menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kamu benar. Aku nggak mau hubungan kita hancur cuma karena kita terlalu sibuk buat ngomong.”
Malam itu, mereka duduk berdua di ruang tamu, menumpahkan semua unek-unek yang terpendam. Nayla mengungkapkan rasa takutnya ditinggalkan, Arka mengungkapkan rasa cemburu terhadap kesibukan Nayla yang kadang mengabaikannya. Air mata sempat jatuh, suara sempat meninggi, namun akhirnya keduanya berakhir dalam pelukan.
Hujan kembali turun deras di luar. Nayla menatap keluar jendela sambil berbisik, “Mungkin hujan memang selalu ada untuk mengingatkan kita, Ka. Kalau kita berhenti bicara, kita akan hanyut. Tapi kalau kita saling genggam, kita bisa tetap berdiri meski basah.”
Arka mengecup keningnya pelan. “Iya, Nay. Aku janji, hujan nggak akan pernah jadi alasan kita berpisah. Justru sebaliknya—dia akan jadi saksi kita terus bertahan.”
Malam itu, meski tubuh lelah, hati mereka terasa lebih ringan. Mereka tahu, cinta yang sejati bukan berarti tanpa pertengkaran, melainkan keberanian untuk tetap memilih satu sama lain setelah pertengkaran itu reda.