Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam
Amara menatap Fai, matanya menyipit penuh kewaspadaan. "Apa hubungan kau dengan ini semua?"
Seketika wajah Fai mengeras. Ia melangkah ke samping, seolah menyembunyikan sesuatu. Tiba-tiba, sebuah pintu kecil dari kamar apartemennya terbuka. Seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun muncul dari balik pintu, matanya masih mengantuk, memegang boneka beruang yang lusuh.
"Papa?" panggil anak itu dengan suara serak.
Jantung Amara seperti berhenti berdetak. Ia menatap Fai, lalu ke arah anak itu. Rasa kecewa dan sakit menusuk hatinya.
Fai berlutut di hadapan anak itu, mengusap rambutnya dengan lembut. "Tita tidur lagi ya. Papa sedang ada tamu."
"Aku takut," bisik anak itu, meremas kaus Fai.
Fai menggendongnya, lalu kembali menatap Amara. "Dia bukan anakku," jawaban Fai seperti menjawab isi kepala Amara. "Dia adalah anak dari Raras dan Dimas."
Mata Amara terbelalak. Otaknya berputar, mengingat kembali nama-nama itu. Mereka adalah korban dari kekejaman Bara. Nyawa - nyawa yang saat ini tidak dibayar sama sekali oleh hukum.
Fai meletakkan anak itu kembali ke kamarnya, menidurkannya sejenak, lalu kembali menghadap Amara. "Aku adalah mantan agen rahasia, sama seperti Dimas dan Alfian. Kami adalah mata - mata yang di sisipkan di antara mafia. Namun Alfian mengkhianati kami, dia berbelok pada para mafia untuk meraup keuntungan yang besar. Dia menjual informasi tentang keberadaan kami, kami di habisi satu persatu. Negara tutup mata, Alfian mencari nama." Urat pada wajah Fai terlihat menyembul, rahangnya mengeras, dan mata hazelnya di penuhi dendam. "Kami diserang oleh pasukan Alfian sendiri. Kami di fitnah sebagai pengkhianat."
"Kenapa?"
"Karena kami menemukan bukti bahwa dia terlibat dalam jaringan penjualan narkoba skala internasional. Dia membersihkan jejaknya dengan cara menjijikkan," jelas Fai. "Dimas dan Raras hanyalah korban dari kekejaman iblis yang serakah itu."
Fai mengambil napas dalam, matanya menatap tajam ke arah Amara. "Anak itu... adalah tanggung jawabku kepada Dimas. Saat itu Dimas tidak bisa menjaganya karena harus berpura-pura setia pada Bara agar istri dan anaknya tetap hidup. Saat dia ingin kembali,.. " Fai terdiam, di wajahnya samar terlihat beban yang berat. "Aku rasa kamu tahu kelanjutannya. Kau yang menyelidiki kasus itu bukan?”
Amara masih menatapnya sinis. "Bisa saja ini semua hanyalah jebakanmu! Sejak awal kau muncul, aku selalu berada dalam bahaya."
"Aku tidak bisa memaksamu untuk percaya," kata Fai, suaranya tenang. "Tapi apa kau tidak curiga? Aku sudah berulang kali menyelamatkanmu. Bukankah lebih masuk akal jika aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak awal?"
Amara terdiam, dia tidak dapat membantah. Selama ini, ia menganggap Komandan Alfian sebagai panutan sekaligus pahlawan. Namun, kenyataan yang diungkap Fai menggoyahkan kepercayaannya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Amara.
Fai tersenyum sinis. "Aku akan menghabisi Bara terlebih dahulu, lalu menyingkirkan Alfian. Dan untuk melakukan itu semua aku butuh bantuanmu."
"Kenapa aku?"
"Karena kau satu-satunya orang yang punya akses ke dalam," jawab Fai. "Kau masih percaya pada keadilan, bukan? Apa kau tidak mau tahu kebenaran tentang keluargamu? Alfian adalah dalang di balik kecelakaan ayah dan ibumu!"
Hati Amara seperti tersambar petir. Dia memang anak angkat dari mama dan papanya saat ini. Papanya adalah abang dari ibu Amara. Sejak kecelakaan mobil yang menimpa kedua orang tuanya, Amara tidak memiliki keluarga lagi selain pamannya. Sofia sendiri begitu menyayangi Amara seperti anaknya sendiri, karena setelah Sofia dan David paman Amara menikah, mereka tak kunjung mendapatkan keturunan. Sehingga kehadiran Amara antara mereka justru menjadi berkah dan kelengkapan bagi mereka.
"Dari mana kau tahu tentang orang tuaku? Tidak ada yang tahu tentang mereka!” Ia merasakan napasnya memburu, kenangan masa lalu yang kelam menyeruak ke permukaan.
Amara ingat betul bagaimana kedua orang tuanya tiba-tiba menghilang. Amara saat itu hanya mendapatkan kabar bahwa orang tuanya telah meninggal dalam kecelakaan mobil. Namun, tidak ada bukti dan tidak ada jenazah.
”Aku di didik menjadi mata - mata sejak aku berumur lima tahun.” Fai memalingkan pandangannya menuju jendela balkon apartemennya. ”Orang yang saat itu mendidik ku adalah Ayahmu, Komjen Pol Ardan Malik."
Amara yang duduk di sofa, seketika mematung. Pikirannya melayang, mengingat kembali foto-foto lama yang tersimpan di dalam laci. Di sana, wajah ayahnya yang gagah, Komjen Pol Ardan Malik, selalu terlihat serius, namun matanya memancarkan kehangatan yang tak pernah ia rasakan secara langsung.
"Ayah...?" suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Fai melanjutkan tanpa menoleh. "Beliau adalah ayah bagiku. Aku yang dipungut dari jalanan mendapat semangat hidup karena beliau. Alfian, Dimas dan anggota lainnya adalah orang yang bernasib sama malangnya denganku, mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari ayahmu."
Fai berbalik, menatap Amara yang masih berpandangan kosong. Dia memegang kedua bahu Amara.
”Tidakkah kau mengingat ku Amara?” Suaranya dalam.
Amara kini melihat mata hazel itu, tapi dia masih belum bisa mengingat apapun.
“Aku… harusnya mengingatmu?” suara Amara bergetar, separuh antara bingung dan takut.
Fai menghela napas panjang, lalu meraih sesuatu dari laci kecil di meja ruang tamunya. Ia mengeluarkan sebuah foto yang warnanya mulai pudar. Foto itu memperlihatkan seorang pria tegap berseragam polisi, Komjen Ardan Malik berdiri dengan senyum tipis. Di sampingnya, seorang anak laki-laki kecil berambut acak-acakan dan bermata hazel, digendongannya terlihat seorang anak perempuan mungil dengan pita merah di rambutnya.
”Mungkin kau memang terlalu kecil untuk mengingatnya.” Fai memalingkan pandangannya.
Amara menarik foto itu, “Aku ambil ini. Sebaiknya aku pergi sekarang. Aku harus menenangkan diri."
Amara berdiri terburu-buru, seolah ruangan itu terlalu sesak untuk bernapas. Fai hanya menatapnya, tidak berusaha menahan langkahnya.
“Amara...” suara Fai dalam, berat, namun Amara mengangkat tangan, memotong.
“Cukup!” suaranya pecah. “Kau sudah mengatakan terlalu banyak malam ini. Aku butuh waktu.”
Amara menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia melangkah ke pintu apartemen dengan cepat. Saat pintu berderit tertutup di belakangnya, Amara berhenti sejenak di lorong apartemen. Air matanya jatuh, tangannya meremas foto itu erat-erat.
“Ayah…” bisiknya lirih.
Amara kemudian melangkah cepat meninggalkan lantai itu menuju parkiran. Dia berusaha menahan isak tangis, tapi suaranya pecah di sela napasnya yang terengah. Jemarinya masih menggenggam foto pudar itu. Setiap langkah terasa berat, pikirannya dipenuhi potongan-potongan kenangan yang samar.
Amara menatap langit yang gelap gulita malam itu, berkata lirih pada dirinya sendiri. “Jika semua ini benar… apa yang harus aku lakukan?”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....