NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 Sudah Sejauh ini

Eve terus memikirkan perkataan Liana. Kata-kata wanita itu seperti gema yang tak kunjung padam di dalam benaknya.

Bahkan saat ia tiba di rumah, lebih sore dari biasanya sesuai permintaan Alex, wajahnya masih tampak kosong, matanya berkabut seolah pikirannya tertinggal entah di mana.

Alex sudah berdiri di depannya, tubuh tegapnya bersandar di sisi pintu, tetapi Eve tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit ditebak

“Sampai kapan kau hanya akan berdiri di sana?” Suara Alex terdengar datar, tapi ada nada heran di baliknya.

Eve berkedip pelan. Ia seolah baru saja kembali dari lamunan panjang. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, ia menyadari bahwa ruangan di sekelilingnya telah berubah.

Kamarnya tak lagi sama—lemari dan perabot yang biasa menemaninya menghilang, digantikan oleh alat-alat olahraga di sudut ruangan. Balkon terbuka membiarkan angin sore menerobos masuk. Ruangan ini kini adalah ruang gym.

Dan satu hal lainnya—tempat tidur besar itu hanya satu. Artinya ... mereka akan tidur sekamar mulai malam ini.

“Bersihkan dirimu. Kita harus ke bandara,” kata Alex singkat.

Eve mengangguk pelan. Oh, benar. Dia hampir lupa bahwa sore ini mereka harus menjemput ibu Alex.

Namun ketika ia hendak berbalik menuju kamar mandi, langkahnya terhenti. Ia menarik sesuatu dari dalam tasnya—sebuah syal panjang berwarna merah gelap.

“Alex,” panggilnya, suaranya pelan namun mantap. “Aku punya sesuatu untukmu.”

Alex menoleh, alisnya mengernyit saat Eve mendekat dan menyerahkan syal itu. “Ini ... titipan dari ibu asuhku. Dia ingin memberikannya sebagai hadiah pernikahan kita.”

Alex tak segera menyentuhnya. Matanya hanya menatap benda itu tanpa ekspresi.

“Terimalah. Dia membuatnya sendiri. Katanya, ini hari yang istimewa, dan dia ingin berbagi sesuatu yang dia rajut dengan tangannya sendiri.”

Pelan-pelan, Alex mengangkat tangannya dan mengambil syal itu. Tangannya gemetar saat menyentuh kain rajutan itu. Ia menggenggamnya terlalu erat, seolah benda itu akan menghilang jika ia lepaskan.

“Hei,” protes Eve sambil menyipitkan mata. “Itu cuma syal, bukan batu permata! Jangan dir3mas seperti itu. Tapi ya ... entah kau suka atau tidak, kau tetap harus menerimanya. Karena Ibu yang membuatnya. Dan dia ... membuatnya dengan banyak perasaan.”

Alex menatap Eve, tatapannya berubah. “Apa maksudmu?”

“Dia bilang, hari ini ulang tahun anak lelakinya. Tapi dia sudah lama kehilangan anak itu. Jadi kau harus menjaganya dengan baik.”

Eve tersenyum kecil, sedikit nakal, lalu berbalik menuju kamar mandi tanpa menunggu respons lebih lanjut.

Alex berdiri terpaku beberapa saat. Lalu, perlahan tubuhnya melemas. Ia terjatuh ke atas ranjang seperti seseorang yang baru saja kehilangan kekuatan. Kepalanya berdenyut, dadanya terasa berat. Ia menggenggam dada kirinya erat-erat. Napasnya memburu. Keringat dingin menetes dari pelipisnya.

Tepat saat itu, Rayyan masuk, “Tuan, mobil Anda sudah—” ucapnya, namun terhenti mendadak.

Ia menatap Alex dengan mata membelalak. Pria itu tampak pucat, terguncang.

Saat itu juga dia memanggil Nic dan memintanya segera datang.

Beruntungnya Alex memiliki Nic—dokter pribadi yang cekatan dan selalu bisa diandalkan. Begitu mendapat kabar, pria itu datang tanpa menunda, langsung mengenali kondisi Alex dan memberikan penanganan pertama secara sigap.

Napas Alex yang awalnya tersengal dan tak beraturan perlahan mulai tenang, meski darah masih menetes dari hidungnya. Wajahnya pucat, tapi detak jantungnya mulai stabil kembali.

Sementara itu, Eve baru keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan bathrobe. Ia terkejut, terjingkat, begitu melihat dua pria asing di dalam kamarnya. Refleks, tangannya langsung menutupi bagian dadanya yang terbuka.

Butuh beberapa detik sampai Eve menyadari bahwa salah satu pria itu mengenakan jas dokter.

“A-Alex?” Dia bergegas mendekat. “Alex, apa yang terjadi denganmu?”

“Dia terkena—auh!” Nic meringis tiba-tiba, ucapannya terputus saat Rayyan—yang berdiri di sampingnya—secara sengaja menginjak kakinya.

“Tuan hanya kelelahan,” ucap Rayyan cepat-cepat, menggantikan Nic sebelum ia mengucapkan hal yang tidak seharusnya.

“Kelelahan?” Alis Eve naik ragu. “Bagaimana bisa? Maksudku … oh sudahlah. Tapi dia tidak apa-apa, kan?”

“Tidak perlu khawatir, dia hanya butuh istirahat.” Kali ini Nic lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata, meski jempol kakinya masih berdenyut nyeri.

“Aku pikir orang sepertinya tidak bisa jatuh sakit,” gumam Eve lirih.

Tapi Alex ternyata masih cukup sadar untuk mendengarnya. Tiba-tiba saja, dia menarik tangan Eve hingga wanita itu terduduk di sisi ranjang, tepat di sampingnya.

“Ulangi itu sekali lagi,” ucap Alex dengan suara berat dan tajam.

“A-a … aku … aku hanya—”

“Jika kau berani menggerutu lagi di belakangku,” Alex mencengkeram telapak tangan Eve, cukup untuk memberi tekanan, tapi tak sampai menyakitinya, “aku tidak akan ragu meremukkan jarimu. Seperti ini.”

Eve menahan napas. Matanya melebar, dan kata-katanya tertelan begitu saja. Meski cengkeramannya tidak sekuat ancamannya, sorot matanya cukup untuk membuat Eve tak berani membantah.

Lalu, Alex mengalihkan pandangannya ke dua pria yang masih berdiri di dalam ruangan.

“Apa kalian tidak lihat dia hanya memakai jubah mandi?! Pergi sana! Keluar!”

Rayyan dan Nic saling melirik sejenak sebelum segera berbalik.

“Rayyan,” panggil Alex sebelum lelaki itu sempat menyentuh kenop pintu. “Jemput ibuku. Katakan aku sedang sedikit sibuk.”

“Baik.” Rayyan pun keluar dengan cepat, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya.

Begitu hanya tinggal mereka berdua, Alex kembali melotot ke arah Eve. “Kenapa kau masih di sini? Ingin aku hukum lagi?”

Eve langsung menggeleng keras-keras, seperti anak kecil yang ketahuan curi permen, lalu bangkit dan kabur menuju lemari bajunya sebelum ‘Yang Mulia’ Alex benar-benar ‘menghukum’ lagi.

“Kenapa sih bisa ada orang sekejam itu? Sudah sakit, masih juga mengomel. Memangnya dia tidak tahu ya, kalau orang jahat biasanya mati melotot sambil menjulurkan lidah? Menyebalkan!” gerutunya pelan sambil mengganti pakaian.

Tapi kali ini, dia sangat berhati-hati menurunkan suaranya sampai hampir seperti bisikan, takut Alex benar-benar bisa mendengar meskipun sedang berbaring lemah.

Beberapa saat kemudian, Eve keluar lagi—kali ini sudah berpakaian rapi. Ia melirik ke arah ranjang. Alex tertidur, wajahnya terlihat lebih tenang. Mungkin karena efek obat dari Nic.

‘Kalau tidur begini, dia seperti manusia biasa. Tapi kalau dia bangun … mengerikan!’ batinnya sambil menarik napas panjang.

Eve tidak ingin mengganggu Alex. Setelah memastikan pintu kamar tertutup rapat, ia berjalan keluar, mencari dokter yang menangani Alex tadi.

Pria itu di dapur—duduk santai di meja bar, seperti sudah sangat terbiasa berada di rumah ini.

Eve mendekat dan berdehem pelan. “Terima kasih, Anda sudah membantu Alex tadi.”

Pria itu menoleh, mengangkat alis, lalu tersenyum ramah. “Tak perlu berterima kasih. Dan tolong, jangan terlalu formal. Panggil saja aku Nic.”

Ia mengangkat cangkir kopinya santai. “Aku memang bertugas memantau kondisi kesehatan Alex. Jadi, mau tak mau, kau akan sering melihat wajahku di sini.”

Meskipun nadanya ramah, Eve tetap merasa canggung. Ia hanya membalas dengan senyum tipis.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” Nic balik bertanya.

“Dia tampak beristirahat.” Eve ragu sejenak. “Tapi … apa benar dia hanya kelelahan? Maksudku, tadi dia terlihat baik-baik saja.”

Nic terkekeh pelan, seperti sedang mendengar lelucon dalam film yang hanya dia yang paham. “Yah … anggap saja begitu.”

Eve mengernyit. Jawaban apa itu tadi?

Ia menarik kursi dan duduk di seberang Nic.

“Kau bilang kau mengawasi kesehatannya. Apa itu juga termasuk masalah dia yang ....”

Kalimatnya sengaja digantung. Matanya menatap Nic, berharap pria itu mengerti maksudnya. Tapi Nic hanya mengangkat bahu.

“Yang … apa?” tanyanya polos.

“Kenapa masih bertanya?” Eve mendesah, lalu mengalihkan pandangan sesaat sebelum akhirnya memberanikan diri. “Maksudku … kau tahu, tentang dia yang katanya … impoten?”

Nic membeku sesaat. Lalu—

“Impoten?” ulangnya, kali ini lebih keras. Lalu tanpa bisa ditahan, ia meledak tertawa. Terbahak-bahak.

Eve memelototinya.“Kenapa kau tertawa?”

“Maaf, maaf.” Nic menyeka air matanya. “Aku hanya—Astaga … kau bilang Alex impoten?”

“Kenapa? Apa dia tidak?”

Nic hendak menjawab, tapi seperti baru sadar sesuatu. Tawa itu hilang seketika. Rautnya berubah serius, bahkan kaku.

“… ya. Benar.” Ia berdeham pelan. “Alex memang impoten.”

Sayangnya, meski mulutnya berkata ‘ya’, ekspresinya masih menyimpan geli yang sulit ditutupi. Pipi Nic bahkan tampak sedikit merah karena menahan tawa.

“Kau … tidak sedang berbohong padaku, kan?”

“Oh, tidak, tentu tidak.” Nic buru-buru menegaskan. “Dia … dia memang impoten. Dan aku sedang menanganinya, perlahan-lahan.”

Untuk beberapa detik, Eve hanya diam. Lalu, perlahan ia mengangguk.“Apa itu bisa … sembuh?”

“Tentu saja,” jawab Nic cepat. Tapi kemudian ia mencondongkan tubuh sedikit, dan berbisik, “Tapi kau harus siap. Dan berhati-hatilah.”

Eve menegang.“Apa maksudmu?”

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku harus pergi.” Nic berdiri, merapikan jasnya lalu menyambar tas kecil di samping kursi. “Ibu mertuamu akan tiba sebentar lagi, dan aku akan kembali besok untuk memeriksa keadaannya. Sampai jumpa, Eve. Hubungi aku kapan pun jika suamimu butuh bantuan.”

Lalu, seperti angin, Nic pergi. Meninggalkan Eve dengan raut bingung dan segudang pertanyaan yang makin tak terjawab.

Di ambang pintu luar, Nic berjalan sambil tertawa pelan, menggeleng-gelengkan kepala.

“Impoten? Astaga, Alex … kau benar-benar sudah sejauh ini, menyebut dirimu sendiri impoten.”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!