Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Lorong menuju kamar tamu Midnight terasa sepi dengan cara yang... tidak wajar. Seolah-olah seluruh suara-hembusan angin, langkah kaki, bahkan detak jantung Sharon- ditelan oleh dinding batu hitam yang dingin.
Setiap tikungan penuh pelayan. Setiap pelayan menunduk terlalu dalam. Setiap senyum terlalu kaku.
Sharon hampir ingin berlari. “apa-apaan tempat ini?!”
Akhirnya pintu kamar terbuka-kamar luas dengan lampu kristal redup, karpet merah gelap yang elegan, dan perapian yang menyala kecil. Tidak ' yang buruk... hanya kamar biasa, namun suasananya agak mencengkam.
“Hah… akhirnya bisa duduk.”
Ia menyentuh pelipis dan menghela napas. “Kenapa tempat ini terasa menyeramkan…? Bukan menyeramkan dalam arti horor, tapi menyeramkan dalam arti ‘salah napas bisa dipancung’.”
Gilbert mengalihkan pandangan dari pintu dan berkata tenang, “Itu memang benar, nona Sharon.”
Sharon mengangkat alis. “Hah? Kau setuju begitu saja?”
Gilbert menatapnya, iris abu-abu itu tampak sedikit lebih gelap dari biasanya. “Jumlah pelayan di lorong tadi terlalu banyak. Dan posisi mereka… sengaja ditempatkan pada titik-titik rawan.”
Sharon memiringkan kepala. “Rawan?”
“Ya.” Gilbert menurunkan mantel pelan. “Itu bukan protokol kerajaan. Itu pola penjagaan. Seakan-akan mereka memastikan kita tidak berkeliaran. Atau memastikan kita tidak… hilang.”
Sharon terdiam sebentar, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.
“…Terlalu jujur, Gil.”
Gilbert duduk di kursi berseberangan, sedikit condong ke depan. “Anda bertanya, saya menjawab.”
Hening sebentar.
Hanya suara api perapian yang terdengar.
Gilbert akhirnya bertanya, “Apa yang Arthur katakan pada Anda dalam pertemuan tadi?”
Sharon menarik napas panjang—napas yang sejak jamuan tadi ia tahan.
“Dia mulai bicara… tentang hubungan Lux dan Midnight yang mulai retak.”
Ia memutar ujung rambut merahnya, kebiasaan yang muncul saat ia berpikir terlalu banyak.
“Lalu dia mulai menyentuh soal sejarah hilang, perjanjian lama… dan sesuatu tentang ‘mengambil kembali apa yang menjadi milik Midnight’.”
“Entitas apa?” tanya Gilbert cepat.
Sharon mengangkat kedua tangan. “Tidak tahu. Aku bahkan merasa dia sengaja berbicara setengah-setengah.”
Gilbert mengetukkan jari ke sandaran kursi—kebiasaan kecil yang muncul saat pikirannya sibuk merangkai informasi.
“Sangat memungkinkan. Tuan Arthur terkenal bermain dengan lapisan makna ganda. Dan kalimat seperti itu… biasanya digunakan untuk menguji lawan bicara.”
Sharon mendesah panjang. “Kenapa selalu aku yang jadi kelinci percobaan…?”
Saat itu juga pintu kamar diketuk pelan. Leon masuk lebih dulu, wajahnya tegang tapi mencoba tersenyum. Althea mengikuti di belakang, pandangannya lembut dan khawatir.
“Kami membuat teh,” Althea berkata pelan, membawa nampan dengan empat cangkir.
Sharon langsung tersenyum, kelelahan seketika surut. “Ka Althea, terimakasih!”
Berpikir terus seperti ini membuat ia lelah, meminum sesuatu yang manis adalah pilihan terbaik.
Leon duduk pelan, tapi wajahnya tampak pucat. Sharon memicingkan mata.
“Hei, wajahmu kayak habis lihat hantu. Dari tadi seperti itu.”
"Aku..." Leon menelan ludah. “Hanya perasaanmu.”
Sharon menatap langit-langit sebentar sebelum memandang ke arah Leon lagi.
Sejak pembicaraan tentang perjanjian keluarga, ia tampak panik dan menyembunyikan sesuatu, mungkinkah.
“Leon kamu tahu sesuatu?” tanya Sharon.
Leon menegang. Ia meremas tangannya erat, lalu menelan ludah. “Maaf sekali, ini bukan hal yang enak untuk didengar …”
Sharon melotot. Sangat jarang ia melihat protagonis utama pria ini seperti mati kutu. “Berarti tahu sesuatu, kan? Katakan.”
Leon masih diam. Sementara Althea tampak khawatir dengan kondisi sang tunangan tersebut, menggenggam tangan prianya.
“maaf sekali aku tidak punya hak untuk menyebar hal ini, bukan berarti aku tidak mau membantu … hanya saja topik ini terlarang. Aku memang mendapatkan informasi, tapi bukan berarti aku diizinkan menyebarkan, jadi maaf.”
“Leon tidak perlu memaksa untuk bicara kalau tidak bisa,” ucap Althea penuh kelembutan.
Sharon menghela napas. Kalau saja bukan karena Althea ia pasti akan memaksanya, tapi melihat pemandangan karakter utama yang mengenaskan juga membuat ia tidak enak.
“Oke,” titah Sharon. “Kalau begitu aku akan cari tahu sendiri.”
Sharon memandang kedua tangannya. “tapi … kalau benar Lux menyembunyikan sesuatu… besar… dan itu menyangkut Midnight… kita mungkin sudah masuk ke tengah badai tanpa tahu apa pun.”
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor