Berdalih Child Free, Aiden menutupi fakta dirinya yang mengalami hipogonadisme.
Namun pada malam itu, gairah seksualnya tiba-tiba memuncak ketika dirinya mencoba sebuah obat perangsang yang ia buat sendiri.
Aiden menarik Gryas, dokter yang tengah dekat dengannya.
"Tenang saja, kau tidak akan hamil. Karena aku tidak ingin punya anak. Jadi ku mohon bantu aku."
Namun yang namanya kuasa Tuhan tidak ada yang tahu. Gryas, ternyata hamil setelah melewatkan malam panas dengan Aiden beberapa kali. Ia pun pergi meninggalkan Aiden karena tahu kalau Aiden tak menginginkan anak.
4 tahun berlalu, Anak itu tumbuh menjadi bocah yang cerdas namun tengah sakit.
"Mom, apa Allo tida atan hidup lama."
"Tidak sayang, Arlo akan hidup panjang. Mommy akan berusaha mencari donor yang sesuai. Mommy janji."
Akankah Arlo selamat dari penyakitnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawa Benih 22
Dengan sedikit terburu-buru, Aiden menuju ke rumah Hendrik yang sebenarnya tak jauh dari rumahnya. Dia berlari dan mengetuk pintu rumah Hendrik yang tertutup.
dugh dugh dugh
"Hend ... Hendrik!!! Hendrik!!!"
Sambil mengetuk pintu, Aiden meneriakkan nama Hendrik. Berkali-kali dia memanggil Hendrik dengan suara keras namun Hendrik tak juga keluar dari rumahnya.
"Kemana dia sebenarnya."
Aiden megambil ponselnya. Ia mencari nama Hendrik dan menelponnya.
"Kamu dimana?"
"Aku sedang pergi bersama anak dan istriku. Di sekolah anak ku sedang ada kegiatan wisata."
Sial!
Tuuut
Tanpa menjawab lagi apa yang Hendrik ucapkan, Aiden mengakhiri panggilannya secara sepihak. Ia lalu kemabli berlari menuju jalan dan mencari taksi. Entah mengapa hari itu dia sulit sekali mendapatkan taksi.
Setidaknya ada 5 taksi yang stop, tapi tidak ada satu pun yang berhenti. Aiden baru mendapatkan taksi di percobaan keenam.
"Rumah sakit Nijmegen."
"Maaf? Ah iya, baik Meneer."
Bruum
Taksi itu meluncur. Terlebih Aiden berkata untuk mengemudi lebih cepat lagi. Sang supir taksi menuruti apa yang jadi keinginan penumpangnya.
Aiden beharap dia segera sampai di rumah sakit. Ia juga merutuki dirinya yang sedikit bodoh karena tak meminta nomor ponsel Gryas.
Sepanjang jalan dari Arnhem ke Nijmegen, Aiden terus menatap layar ponselnya. Yang dilihat oleh pria itu adalah wajah Arlo.
Di dalam mimpinya yang terasa nyata itu, dia bisa melihat kalau Arlo tengah kesakitan. Dan yang dikatakan Gryas serta Hendrik memang benar adanya. Setidaknya jika dirinya belum bisa percaya bahwa Arlo adalah putranya, maka dia bisa menjadi pendonor untuk sesama manusia yang membutuhkan.
"Bisa lebih cepat sedikit, maaf saya sangat terburu-buru."
"Baik, saya akan melakukannya."
Bruuummm
Taksi itu melaju dengan lebih cepat. Aiden tentu sudah siap bahwa di dalam mobil, tubuhnya akan sedikit terguncang. Tapi semua itu tidak masalah, sekarang yang ia pikirkan adalah, agar segera sampai di rumah sakit melihat Arlo dan juga Gryas.
15 menit, ya perjalanan dari Arnhem ke Nijmegen berhasil ditempuh dalam waktu 15 menit saja. Aiden segera memberi uang kepada sang supir taksi. Ia memberi uang lebih sebagai tips karena sudah mengantarkannya ke sini lebih cepat.
Drap drap drap
"Ruangan Arlo De Vries, ah maaf bukan. Maksud ku ruang rawat Arlo Ryan Vries."
Setelah mendapatkan ruangan milik Arlo, Aiden langsung berlari ke sana. Dia sekuat tenaga agar bisa segera sampai di tempat dimana Arli berada.
Fyuuuh
Aiden mengatur nafasnya yang tersengal saat berada di depan pintu ruang rawat milik Arlo. Ia lalu mengetuk pintu dan masuk secara perlahan.
Degh!
Jantung Aiden berdegup kencang ketika di dalam sana ia hanya menjumpai Gryas. Ia menjadi teringat dengan mimpi yang semalam bari saja ia dapatkan. Bahkan posisi Gryas pun sama, yakni di sisi ranjang.
Ada rasa takut yang tiba-tiba menjalar dalam hati dan pikiran Aiden. Tapi dia mengusir semuanya itu.
Ketika ia mencoba menetralkan semuanya, hatinya kembali berdegup kencang dan bahkan jantungnya seolah ingin melompat dari tempatnya ketika ia benar-benar tidak menjumpai Arlo di ranjang itu. Ya ranjang itu kosong. Kondisi yang sama persis dengan mimpinya. Yang membedakan adalah Gryas tidak menangis dan dirinya tidak mendengarkan suara Arlo.
"Gry,"panggilnya lirih. Gryas langsung melihat ke arah Aiden dengan menerbitkan senyuman yang sangat tipis.
"Arlo, dia sudah mendapatkan donor. Semalam ada pasien mati otak, semua nya cocok sesuai dengan Arlo. Jadi, kau tak lagi repot-repot untuk melakukan tes. Tapi, aku ucapkan terimakasih kepada mu, Aiden. Setidaknya kau menempati janji mu untuk datang kemari."
Degh!
Aiden tidak mengerti tentang apa yang dirasakannya saat ini. Ia merasa lega tapi juga sedikit kecewa. Akan tetapi satu hal yang pasti adalah, Gryas tampak cemas.
Memang benar Arlo sudah mendapatkan donornya, ia bersyukur atas hal tersebut. Namun sekarang yang menjadi pemikiran Gryas selanjutnya adalah proses operasi dan pasca operasi.
Sudah dari pukul 02.00 dini hari tadi, tapi proses operasi yang dilakukan kepada Arlo belum juga selesai. Padahal sekarang sudah pukul 11.00.
Gryas memang terlihat diam, berdiri di sisi ranjang, tapi sedari tadi mulutnya tak diam. Dia tengah berdoa, agar semuanya baik-baik saja.
Operasi transplantasi hati memiliki rentan waktu 6 hingga 12 jam. Dan mungkin karena Arlo masih kecil jadi prosesnya memakan sedikit banyak waktu. Selain itu, Gryas juga mengkhawatirkan pasca operasinya. Ada kekhawatiran dalam diri Gryas terkait penerimaan tubuh Arli terhadap donor.
"Gry, a-aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku ... ."
"Sudah lah Aiden, kau tak perlu bingung atau apa tentang semua ini. Pulanglah, pulanglah ke tempat kau seharusnya berada. Tak perlu kau memikirkan aku ataupun anak ku. Bertahanlah dengan pemikiran mu itu. Aku tak akan pernah mengusik mu lagi. Sekali lagi terimakasih karena kau telah menepati janjimu. Sungguh, aku berterimakasih untuk itu."
"Dokter, operasinya sudah selesai. Sekarang Arlo juga sudah dipindahkan ke ruang intensif untuk pemantauan."
Drap drap drap
Grya berlari melewati Aiden begitu saja. Tidak sekalipun Gryas menoleh, wanita itu fokus dengan kabar yang disampaikan oleh salah satu perawat yang bekerja di rumah sakit tersebut.
"Apa ini, mengapa sepeti ini, apa yang sebenarnya aku harapkan dan rasakan?"
Aiden kebingungan dengan dirinya sendiri. Dan pada akhirnya, dia memilih untuk mengikuti Gryas. Ia berhenti tepat di belakang Gryas dan ikut mendengar penjelasan dari dokter yang menangani operasi Arlo.
"Operasi berjalan lancar meski sedikit lebih lama. Sekarang semua sudah baik-baik saja Gry. Kita akan pantau Arlo. Dan berdoalah semoga tubuh Arli menerima hati yang baru itu."
Aaaah
Bruuk
Gryas menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tangisnya pecah. Aiden ingin memeluk wanita itu tapi dirinya sangat ragu untuk menyentuhnya.
"Terimakasih Lars, terimakasih banyak."
"Berterimakasih lah kepada keluarga pendonor Gry. Mereka sangat besar hatinya mau mendonorkan salah satu organ milik putrinya."
Gryas mengangguk, yang perlu ia lakukan memang adalah itu.
Pendonor adalah seorang gadis kecil berusia 10 tahun. Dia tiba-tiba jatuh saat bermain, dan dipastikan mengalami mati otak. Hal tersebut sudah dirapatkan dan diputuskan oleh dewan rumah sakit beserta jajaran dokter.
Sebagai dokter di rumah sakit tersebut, Gryas jelas tahu siapa pendonor. Jika biasanya pendonor dirahasiakan identitasnya kepada keluarga penerima donor, Gryas mendapat privilege untuk mengetahuinya.
"Ya Lars, aku akan menemui mereka. Aku sungguh harus memberikan ucapan terimakasihku paling dalam kepada mereka. Aah Ya Tuhan, apa aku ini sangat jahat Lars."
"Tidak Bri, semua sudah jadi kehendak Tuhan. Semua ini adalah jalan yang Tuhan berikan kepada Arlo."
Gryas mengangguk paham, memang benar semua ini adalah jalan Tuhan. Hanya saja nurani Gryas tetap terguncang karena kematian seorang anak.
TBC
eh kok ada Brisia disini, Brisia apa Gryas kak? hehe
Arlo masih cadek jadi makin gemesin