Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.
Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:
Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.
Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan
Dan satu hari pun berakhir. Begitu cepat. Aku tidak ingin cepat berlalu, tapi juga tidak ingin berjalan lambat—Maksudku aku ingin mengendalikan waktu. Sungguh ide konyol. Tapi pernahkah berpikir bagaimana jadinya jika kita bisa mengendalikan waktu?
Sore itu, di bawah pohon bambu aku duduk, menghembuskan asap rokok yang menggelung-gelung ke udara. Aku menikmati bagaimana asap rokok itu hancur lalu menghembuskannya lagi.
Kemudian memikirkan bagaimana pembicaraan tadi pagi bersama Lara santi. Apa kita akan pergi le rumah ibu guru Kirana?
Entah mengapa ketika aku memikirkannya saat itu, aku merasakan kehangatannya lagi, tapi ada juga perasaan malu menghadang untuk melakukannya. Aku seperti merasakan kehangatan yang tidak seharusnya aku rasakan. Tapi aku juga tidak bisa melupakan kehangatan yang indah itu, yang bahkan Lara santi sulit untuk memberikannya.
Ketika melihat wajahku yang mungkin aneh, Lara berkata lirih, “Jika kamu sibuk, kita tidak usah pergi ke sana.”
Lara santi memiliki hubungan pertemanan yang indah bersama ibu guru itu, tanpa menyadari hubungan kami berdua. Itu adalah salah satu perasaan aneh yang membuatku menjaga jarak darinya.
Aku sering bertahan untuk tidak menyentuh istriku sendiri, tapi aku memerlukan kehangatan untuk hidup lebih tenang dan dengan kehangatan itu, aku bisa merasa nyaman dan dapat bertahan dari kehidupanku yang sulit dimengerti ini.
Percakapan tadi pagi mengingatkan dengan pertemuan kami saat masih muda. Itu terjadi di lapangan hijau yang luas, dan untuk pertama kalinya kami jalan-jalan. Mungkin dia takut menikah denganku dan ekspresinya terlihat sangat enggan. Dia berkata, “Apa kita akan benar-benar menikah?”
Aku juga diam waktu itu dan tidak tahu harus mengatakan apa. Kami menyadari perasaan masing-masing dan saling mengerti. Pernikahan karena perjodohan memang aneh dan kami harus hidup di bawah atap yang sama tanpa saling suka. Tapi kemudian setelah beberapa tahun, Lara bersemangat menikahiku. Dan itu menjadi salah satu pertanyaanku, mengapa dia bersemangat. Sampai sekarang aku tidak tahu mengapa.
Aku mengatakan tadi pagi akan memberi jawaban segera dan sekarang aku masih memikirkannya.
Namun setelah tiga puluh menit berpikir, aku tidak bisa memberi keputusan. Maka, aku masuk ke dalam, mengambil sebotol alkohol dan kembali duduk.
Ketika membukanya, Lara tiba dan berseru, “Minum lagi? Kau sudah minum kemarin. Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Kau adalah cahaya kecil, jika kamu mati tidak akan ada cahaya lagi.”
“Biarkan saja. Tolong, jangan panggil aku seperti itu.”
Aku membuka tutup botolnya dan rasanya benar-benar bersemangat. Mengangkatnya lalu bertanya, “Kau ingin mencobanya juga? Ini terasa segar. Jika kau meminumnya, itu sebuah awal yang baru. Aku bisa memberi nama untuk acara minum sore ini. Acara minum yang di awal sang istri, bagaimana?”
“Kau berpikir aneh,” Katanya “Cahaya kecil, kau boleh minum satu botol saja. Tubuhmu akan di penuhi bau alkohol. Aku bahkan nanti bisa menjadi alkohol jika kau terus melakukannya.”
“Itu kedengarannya sangat menyeramkan. Baiklah, hanya satu botol, tidak lebih.”
Lara berjalan dan masuk ke gerbang.
“Oh, iya, bagaimana keputusanmu?”
“Aku masih berpikir.”
“Cepatlah, kau hanya punya besok pagi saja, dan kita akan berkunjung pada sore harinya.
“iya, aku akan memberinya besoknya.”
“Ngomong-ngomong, kau tidak pernah memberi mawar kepadaku? Kapan kau akan memberikannya?”
“Nanti, tunggu saja.”
“Aku tidak sabar menunggunya.”
Lalu Lara benar-benar masuk ke rumah. Ada sedikit gangguan, tapi acara minum hari ini akan jauh lebih indah.
...----------------...
Aku memutuskan untuk pergi ke sana. Wajah ibu guru itu melekat pada diriku dan seperti yang aku bayangkan, aku sangat bersemangat pergi ke sana. Bayangan masa lalu, kehangatan dan keindahan masa muda muncul dalam benakku kembali.
Kami menaiki kereta, melewati setengah hari, lalu akhirnya tiba di desa di mana ibu guru itu tinggal. Dia sekarang tinggal di desa dan sepertinya menjalankan hidup yang sederhana.
Saat kami tiba di rumahnya, seorang wanita yang memiliki kesan hangat, berambut pendek dan dia mewarisi tubuh ibu guru itu, tersenyum kepada kami untuk menyambut.
Aku teringat dengan ibu guru itu, wajahnya, juga sifatnya bagaimana dia mendesah dan kami saling menyatu. Wanita ini seperti bayangan ibu guru cantik itu. Dia adalah putrinya sendiri. Aku melihat kesamaan dirinya pada diriku. Jika ibu guru hamil pada waktu itu, usia putri kami pasti setara dengannya. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan ini? Apa cairan itu benar-benar menjelma menjadi kehidupan seperti ini?
Aku ingat setelah kebersamaan kami, ibu guru memilih pergi dan menghilang dalam hidupku. Dia berkata saat kami berhubungan, “Aku sekarang tidak memasuki masa subur, keluar saja di dalam. Cairanmu akan bersemayam di tubuhku dan aku akan menjaganya.”
“Bagaimana jika itu menjelma?”
“Oh, kau sangat perhatian.” Dia melingkarkan kedua tangannya dan menyentuh punggung leherku, yang membuatnya terasa lebih dingin dan hangat. Itu merupakan perasaan ganjil.
Dia tidak berkata tapi mencium bibirku dan kami tenggelam dalam kenikmatan cinta yang aneh, menggairahkan, tapi kosong, hangat tapi juga dingin.
“Jika ini menjelma,” katanya waktu itu setelah menerima banyak penghargaan dariku. Dia sedang bersandar di tembok dan duduk di atas bangku. Waktu itu, aku memperhatikan bagaimana aku benar-benar bisa menyatu dengan tubuh perempuan ini. “Maka kita punya kenangan dari kenakalan ini.” Dia kemudian tertawa getir seperti hujan yang penuh dengan kabut.
Sepanjang percintaan kami, kami telah banyak berbicara, telah banyak melakukannya dan batin kami seolah-olah terhubung dengan benang-benang tipis. Aku tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana perasaan waktu itu.
...----------------...
Gadis di depan kami menyambut dengan senyum yang hangat, senyum yang terasa seperti pagi yang cerah setelah malam panjang. Rambutnya tergerai lembut, dan matanya menyiratkan kelelahan yang tersembunyi oleh keramahan.
“Sudah banyak alumni yang datang ke rumah beberapa hari ini,” katanya lembut. “Sepertinya semua orang benar-benar mencintai ibu guru mereka. Aku merasa senang sekali kalau pagi ini ada yang datang lagi.”
Lara menunduk sedikit. “Kami pasti yang paling terlambat. Ibu guru sudah dikuburkan beberapa hari yang lalu. Sayang sekali, aku baru mendapat kabar kematiannya dua hari yang lalu.”
Gadis itu tersenyum, tapi matanya sedikit bergetar. “Tidak usah menyesal,” ujarnya tenang. “Ibu pernah berkata, penyesalan itu hanya perasaan—tidak lebih dari itu. Dan kadang-kadang, yang datang terlambat justru membawa sesuatu yang lebih tulus.”
Dia memberi jalan. “Silakan masuk. Aku bisa memberikan pelayanan yang baik untuk kalian.”
Kami melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana. Aroma kayu tua, debu, dan teh mengisi udara. Suasana hening, tapi terasa seperti ada seseorang yang masih tinggal di sana. Ada foto wanita yang pernah memilikiku dalam hujan badai yang terasa sangat dingin. Itu adalah foto ibu guru dan wajahnya sangat mirip dengan gadis yang menyambut kami. Kami lalu di hidangkan teh oleh gadis itu.
Aku memandang teh yang dihidangkannya. Teh itu normal, tidak ada yang aneh, kecuali permukaannya yang bergelombang karena telah di taruh di depanku. Gadis itu menyuruh untuk menikmatinya. Aku merasa aneh. Sementara Lara meminumnya tanpa rasa curiga.
Kami bercakap-cakap dan itu tidak penting. Lalu gadis itu keluar bersama kami. Dia berkata akan mengantarkan kami menuju makam.
Dan kami mengikutinya saja.
“Kalau boleh aku tahu, siapa nama Kalian?” tanya gadis itu, tanpa menoleh dan terus berjalan. Aku memperhatikannya dan jujur saja, dia mirip dengan Ibunya. Apa dia benar-benar anak yang kami buat waktu itu? Membayangkannya, membuatku mengeri.
“Namaku Lara santi dan ini cahaya kecil,” katanya sembari tersenyum riang.