Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan Belas
Hari pertunangan pun tiba, dan kedua keluarga tampak bahagia, dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka, seakan semua berjalan sempurna. Qilla juga tersenyum, tapi jika dilihat lebih dekat, senyum itu terlihat dipaksakan.
Di balik senyum itu, Qilla menyembunyikan kekecewaan dan keraguan yang memenuhi hatinya. Meskipun dia berusaha untuk terlihat bahagia, jauh di lubuk hatinya, senyum itu hanyalah bentuk penghormatan kepada orang tuanya, bukan kebahagiaan yang sebenarnya.
Qilla merasa seperti sedang menjalani skenario yang telah ditentukan, tanpa memiliki kontrol atas jalannya cerita. Dia berharap bahwa suatu hari nanti, dia bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, tapi untuk sekarang, dia hanya bisa menjalani peran yang telah ditentukan untuknya.
Dengan napas dalam-dalam, Qilla melanjutkan prosesi pernikahan, berharap bahwa keputusannya untuk kabur dengan Alvaro dan Alexandra bisa segera terwujud.
Qilla tampil anggun mengenakan gaun panjang berwarna dusty lilac dengan aksen brokat silver di bagian dada dan lengan, yang memancarkan kesan elegan dan berkelas.
Gaunnya berlengan panjang, mengalir indah mengikuti setiap langkahnya, menambah kesan lembut namun kuat. Rambutnya disanggul rapi dengan hiasan bunga kecil berwarna senada, yang menambahkan sentuhan manis dan feminin pada penampilannya.
Sepasang anting mutiara menggantung manis di telinganya, menambah kesan anggun dan sophisticated. Meskipun riasan wajahnya natural, namun cukup mempertegas sorot matanya yang terlihat sayu sejak awal acara, memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik senyumnya yang manis.
Mata Qilla terlihat seperti menyembunyikan kesedihan dan keraguan, membuat penampilannya yang anggun dan elegan sedikit berkontras dengan perasaan yang sebenarnya dia rasakan.
Brian tampil gagah dalam setelan formal bernuansa abu-abu gelap, dengan kemeja putih bersih di dalamnya dan dasi berwarna dusty lilac yang senada dengan gaun Qilla, menunjukkan koordinasi yang rapi dan elegan.
Jasnya berpotongan ramping, menonjolkan bahunya yang bidang dan memberikan kesan kuat dan percaya diri. Rambutnya ditata rapi ke belakang, menunjukkan wajahnya yang tampan dan serius.
Jam tangan silver di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan berkelas, membuat Brian terlihat seperti pasangan yang sempurna untuk Qilla. Namun, meskipun penampilannya yang sempurna, Qilla tidak bisa tidak merasa bahwa ada sesuatu yang kurang, bahwa kecocokan fisik dan penampilan tidak cukup untuk membuatnya merasa nyaman dan bahagia.
Tatapan mata Brian yang tajam dan percaya diri membuat Qilla merasa sedikit terintimidasi, dan dia tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di balik senyum dan tatapan mata Brian.
Brian tak melepaskan pandangannya dari Qilla, menatapnya dengan intensitas yang membuat Qilla merasa sedikit tidak nyaman. Sejak awal acara, Brian terus menggenggam tangan Qilla dengan erat, seolah menegaskan pada dunia bahwa Qilla adalah miliknya.
Qilla merasa seperti sedang dipamerkan, seperti sebuah objek yang berharga yang harus dijaga dan dilindungi. Meskipun dia berusaha untuk tersenyum dan terlihat bahagia, dia tidak bisa tidak merasa bahwa Brian sedang menunjukkan posesifnya yang berlebihan.
Genggaman tangan Brian yang erat membuat Qilla merasa seperti sedang terkurung, dan dia berharap bisa melepaskan diri dari genggaman itu. Namun, dia tidak berani, karena tidak ingin membuat skenario yang sudah diatur menjadi kacau. Qilla hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia bisa bebas dari perasaan terkurung ini dan menjalani hidupnya sendiri.
Di sudut kanan ruangan, Alvaro dan Alexandra berdiri menanti, mata mereka terus memantau Qilla dengan penuh perhatian.
Rencana mereka adalah membawa Qilla kabur dari pertunangannya hari ini, dan mereka telah menunggu momen yang tepat untuk melaksanakannya. Namun, genggaman erat Brian pada tangan Qilla membuat situasi menjadi lebih sulit.
Qilla terlihat seperti sedang terjebak, dan Alvaro serta Alexandra saling menatap dengan kekhawatiran. Mereka tahu bahwa mereka harus bertindak cepat dan tepat jika ingin berhasil membawa Qilla kabur tanpa menimbulkan keributan.
Alvaro memberikan isyarat kepada Alexandra, dan mereka berdua mulai mencari celah untuk melancarkan rencana mereka. Mereka berharap bahwa Qilla bisa memberikan sinyal atau kesempatan bagi mereka untuk bertindak, sehingga mereka bisa membawa Qilla kabur dari situasi yang tidak diinginkan ini.
"Calon istrimu cantik juga, Brian," goda salah satu teman Brian bernama Souta, dengan senyum nakal di wajahnya.
Brian hanya tersenyum bangga, menunjukkan rasa puas dan percaya diri. Pandangannya pada Qilla begitu dalam, penuh dengan kepemilikan dan posesif, seolah-olah dia sedang memamerkan harta karun yang sangat berharga.
Qilla merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Brian yang begitu intens, dan dia berusaha untuk tidak menatapnya langsung, takut terbaca oleh Brian bahwa dia tidak bahagia dengan situasi ini.
"Kak... Aku ingin ke toilet," kata Qilla, mencoba mencari celah untuk melarikan diri dari genggaman Brian. Dia berharap bisa bertemu dengan Alvaro dan Alexandra di toilet dan mungkin saja kabur dari acara ini. Namun, Brian langsung menanggapi dengan cepat.
"Saya temani." Qilla membelalakkan mata, merasa frustrasi karena rencananya gagal.
Tawa kecil pun terdengar dari teman-teman Brian, yang tampaknya menikmati situasi ini.
"Kenapa? Saya calon suamimu. Setelah menikah, saya juga akan menjaga kamu ke mana pun kamu pergi," kata Brian dengan nada suara yang terdengar ringan, tapi matanya berbicara lain, menunjukkan posesif dan kontrol yang kuat.
Qilla hanya menunduk, merasa malu sekaligus tidak nyaman dengan situasi ini. Dia merasa seperti sedang dijaga dan dikontrol, tanpa memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun.
Alvaro dan Alexandra, yang memperhatikan dari jauh, semakin yakin bahwa mereka harus bertindak cepat untuk membantu Qilla melarikan diri dari situasi ini.
Tanpa banyak bicara lagi, Brian menarik tangan Qilla, membawanya pergi dari keramaian. Namun, langkah mereka tidak menuju toilet seperti yang diminta Qilla.
Brian justru menariknya ke sebuah kamar kosong di lantai atas, membuat Qilla merasa semakin panik. Tanpa banyak bicara, Brian mendorong Qilla masuk ke dalam kamar, membuat gadis itu terkejut dan kehilangan keseimbangan.
"Kak, ini bukan jalan ke toilet," ucap Qilla dengan suara yang mulai gemetar, merasa tidak nyaman dan takut.
"Kamu pikir saya tidak tahu rencanamu?" Brian menyeringai tipis, menatap Qilla dengan mata tajam yang penuh dengan kecurigaan dan kemarahan. Qilla merasa seperti sedang terpojok, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.
Dia berharap Alvaro dan Alexandra bisa segera menemukan dia dan membantu dia melarikan diri. Tapi, untuk sekarang, dia harus menghadapi Brian sendirian.
"Aku nggak ngerti maksudmu..." Qilla mencoba untuk mempertahankan sikap tidak tahu apa-apa, tapi Brian menatapnya dengan mata yang tajam dan penuh dengan kecurigaan.
"Kamu tahu betul maksud saya. Kamu ingin kabur dari pertunangan ini," kata Brian dengan nada yang dingin dan menuduh. Qilla merasa seperti sedang diinterogasi, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk menyangkal tuduhan Brian tanpa membuatnya semakin marah.
Dia mencoba untuk tetap tenang, tapi hatinya berdegup kencang karena takut Brian mengetahui rencana sebenarnya dengan Alvaro dan Alexandra.
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Qilla mencoba untuk mempertahankan sikap tidak tahu apa-apa, tapi Brian tidak terlihat percaya.
"Jangan bohong, Qilla. Aku tahu kamu tidak bahagia dengan pertunangan ini. Tapi kamu tidak akan bisa kabur dari saya," kata Brian dengan nada yang penuh dengan ancaman.
Qilla menggertakan giginya, menunjukkan ketegangan dan kemarahannya.
"Aku nggak mau menikah sama kamu!" serunya dengan penuh keberanian, menentang Brian dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kamu tetap akan menikah dengan saya," jawab Brian dengan nada yang dingin dan tidak peduli, seolah-olah dia tidak peduli dengan perasaan Qilla.
"Pokoknya aku nggak mau! Kamu kasar... Dan kamu lebih tua!" Qilla meledak, air mata mengalir di pipinya sementara dia berbicara dengan nada yang penuh dengan emosi.
"Aku tidak ingin dijodohkan dengan seseorang yang tidak aku cintai. Aku ingin hidupku sendiri, aku ingin bahagia dengan caraku sendiri!" Brian menatap Qilla dengan mata yang tidak berkedip, tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan atau penyesalan.
"Kamu tidak punya pilihan, Qilla. Kamu akan menikah dengan saya, tidak peduli apa yang kamu inginkan." Qilla merasa seperti sedang terperangkap, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk melarikan diri dari situasi ini.
Sebelum menarik tangan Qilla keluar, Brian membisikkan ancaman tajam di telinganya dengan nada yang dingin dan menakutkan.
"Kalau kamu macam-macam lagi atau berani kabur dari pertunangan kita, jangan salahkan saya kalau membuat mereka mati di depan matamu sendiri!" Ancaman itu membuat Qilla merasa seperti disengat listrik, matanya melebar karena takut dan kengerian.
Dia tahu bahwa Brian tidak main-main, dan dia tidak ragu untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Qilla merasa seperti sedang terancam, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk melindungi dirinya dan orang-orang yang dia cintai dari ancaman Brian.
Air mata yang tadi sudah mulai kering kembali mengalir di pipinya, sementara dia merasa seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tidak ada habisnya. Dengan tangan yang masih tergenggam erat oleh Brian, Qilla dipaksa untuk mengikuti Brian keluar dari kamar, sementara dia tidak bisa berhenti memikirkan ancaman yang baru saja dia dengar.