Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eksperimen Fase dua
Cengkraman kasar dua penjaga Altheron menghentak tubuh Ajie dari tempat tidurnya. Tangan dan kaki yang terikat mulai kembali menyala merah, listrik pengaman menyetrum kulitnya tiap kali ia bergerak terlalu cepat. Ia belum pulih benar dari pertarungan sebelumnya, tapi wajahnya kini lebih tenang, lebih tegar. Mungkin karena semalam, untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Ratna—bukan Junkcore, bukan musuh, tapi seseorang yang pernah bermimpi.
"Cepat, Director Cain sudah menunggu!" salah satu penjaga itu membentak dalam bahasa Inggris beraksen tebal.
Ajie tidak menjawab. Ia hanya berjalan, diseret lebih tepatnya, melewati lorong besi dingin yang dipenuhi lampu merah. Di sisi lain kaca, Ratna berdiri diam, mengenakan seragam teknis hitam Altheron. Matanya kosong saat melihat Ajie dibawa masuk ke ruang eksperimen fase dua. Tidak ada senyum, tidak ada sinyal penolakan. Hanya tatapan… yang tidak ikut bicara.
Ruang eksperimen fase dua lebih menyerupai altar. Lingkaran logam di tengah ruangan dikelilingi oleh selang-selang besar dan kabel-kabel berwarna mencolok. Di tengahnya ada kursi logam vertikal yang bisa berubah posisi, seperti tempat penyiksaan zaman modern. Cain berdiri di depan panel kendali, mengenakan jas lab putih dan sarung tangan hitam. Senyumnya licin seperti biasa.
"Ah, Tuan Rahmad Ajie," ucap Cain sambil menekan beberapa tombol. "Selamat datang di fase kedua. Kali ini, kita tidak hanya akan melihat warna apa saja yang bisa keluar dari tubuhmu... kita akan menciptakan warna baru."
Ajie dibaringkan dan diikat ke kursi vertikal itu. Sabuk elektromagnetik mencengkeram keras tubuhnya. Beberapa jarum sensor dimasukkan ke bawah kulitnya, menembus jaringan otot. Ia menahan sakitnya, hanya mendesis pelan.
Cain menyalakan proyeksi hologram. Garis-garis warna muncul, berputar seperti DNA yang terurai. "Selama ini, kita berpikir kekuatanmu berasal dari kandungan zat radioaktif dalam cat. Tapi data terbaru kami menunjukkan... tubuhmu telah mensintesis senyawa baru. Sesuatu yang belum pernah tercatat di dunia ini."
Ia menatap Ajie tajam. "Kau bukan manusia biasa lagi. Kau adalah anomali biologis yang sangat berharga."
Ajie meludah ke arah kaca.
"Kalau mau warna, tinggal beli di toko cat. Lo gak perlu nyiksa orang buat itu."
Cain terkekeh. "Itulah kenapa manusia biasa seperti dirimu tidak pernah bisa mengerti pentingnya ilmu pengetahuan."
Tombol ditekan. Mesin-mesin berdengung. Arus energi mengalir dari kabel-kabel ke tubuh Ajie. Suhu ruangan naik drastis. Dari tubuh Ajie, semburan warna keluar tak terkendali—merah menyala seperti magma, hijau menyilaukan seperti neon, ungu tua seperti malam mendidih. Tapi alih-alih mengalir halus, warna-warna itu meledak brutal, memantul ke dinding dan nyaris menembus kaca.
Cain tersenyum puas. "Luar biasa... tubuhmu menciptakan pigmen aktif. Ini bukan cat. Ini sesuatu yang hidup."
Ratna di balik kaca masih diam. Tapi matanya sedikit melebar.
Sementara itu, jauh di bawah fasilitas itu, Melly duduk terpekur di balik lorong peladangan bawah tanah. Nafasnya berat, tubuhnya lelah, dan kepala dipenuhi rasa frustrasi. Ia memandangi peta skema bangunan yang berhasil ia curi dari terminal lama milik teknisi Altheron.
"Gak ada celah... semua terpantau, semua gerbang dikunci pakai enkripsi biometrik Cain..." gumamnya sambil menggigit bibir.
Faisal berjalan mendekat, membawa termos kecil berisi kopi hitam. "Lo belum tidur 48 jam, Mel. Minum dulu."
Melly menggeleng. "Kalau kita gagal, Ajie bisa mati. Atau lebih parah... dia bisa kehilangan jiwanya."
"Gue tahu. Tapi lo juga bakal mati kalau gak berhenti sebentar. Kita butuh otak lo tetap waras."
Melly menarik napas, meneguk kopi. Lalu ia menatap peta itu lagi. "Kalau semua akses ditutup dari dalam... maka kita harus pakai sistem luar."
Faisal mengernyit. "Sistem luar gimana maksudnya?"
"Sistem pendingin," ucap Melly pelan. Matanya menyala. "Setiap fasilitas eksperimen pasti punya sistem cadangan pendingin kriogenik buat jaga suhu ruangan tetap stabil saat eksperimen ekstrem. Kalau kita bisa masukin senyawa ledakan kecil ke dalamnya... kita bisa bikin gangguan suhu besar."
"Dan bikin fasilitas ini panik, ngelepas sebagian protokol keamanan otomatis."
Melly mengangguk cepat. "Itu momen kita. Gue bakal ke ruang ventilasi utama. Lo awasi perimeter. Kita cuma punya satu kesempatan."
Faisal tersenyum tipis. "Kalau gagal?"
Melly berdiri sambil memasang kembali pelindung wajah. Suaranya tegas.
"Kalau gagal... ya minimal Ajie tahu dia gak sendirian."
Kembali ke ruang eksperimen, Ajie kini menggeliat kesakitan. Suhu di dalam tubuhnya makin tak terkendali. Keringat bercampur darah mengucur dari pelipis. Matanya memerah, dan warna-warna di tubuhnya mulai berganti liar, seolah tubuhnya memberontak dari dalam.
Cain tertawa senang. "Kita akan menembus batas genetika manusia! Kau adalah awal dari era baru, Ajie!"
Ajie meraung. Tapi bukan hanya karena sakit. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Sesuatu yang liar, tak terdefinisi. Sebuah warna... yang belum pernah ada sebelumnya.
Dan Ratna—untuk pertama kalinya—melihat ekspresi Ajie bukan sebagai musuh. Tapi sebagai seseorang... yang sedang kehilangan dirinya sendiri.
Hanya waktu yang akan menentukan, apakah ini menjadi awal akhir... atau kebangkitan dari sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa dibayangkan siapapun.