Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan tak terduga
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan kehidupan Aira serta Abraham berjalan dengan penuh kebahagiaan dan kesibukan.
Aira yang kini telah mengelola perusahaannya sendiri semakin terfokus dengan pekerjaannya, sementara Abraham juga sibuk dengan bisnisnya.
Keduanya saling mendukung meskipun jadwal mereka padat.
Suatu hari, Aira dijadwalkan untuk bertemu dengan klien penting yang juga merupakan teman baik Abraham.
Mereka bertemu di sebuah hotel untuk membahas proyek kerjasama.
Aira berusaha tetap profesional meskipun beberapa hari terakhir ia merasa sedikit kelelahan.
Saat pertemuan hampir selesai dan mereka mulai membahas rincian terakhir, Aira merasa tiba-tiba mual. Kepalanya terasa berputar-putar, dan sebelum dia sempat mengatakan apapun, dunia seakan berputar terlalu cepat.
Sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, tubuh Aira jatuh ke lantai.
Klien yang melihat kejadian tersebut langsung panik. Tanpa ragu, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Abraham.
"Tuan Abraham, ada yang terjadi dengan Aira! Dia pingsan!" ucap klien tersebut dengan cemas.
Abraham yang berada di kantor langsung terkejut mendengar kabar tersebut.
Tanpa berpikir panjang, ia segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju hotel.
Hatinya mulai diliputi kecemasan yang mendalam. Dia tak bisa membayangkan jika ada yang terjadi pada Aira.
Sesampainya di hotel, Abraham langsung berlari ke arah ruang pertemuan, di mana Aira berada di sofa dengan wajah pucat.
Klien tersebut segera menjelaskan apa yang terjadi, dan Abraham memeriksa keadaan Aira dengan cepat.
Rasa cemasnya semakin mendalam saat ia menyadari Aira masih tak sadar.
"Sayang, bangunlah," bisiknya dengan lembut, mencoba membangunkan Aira.
"Aira, ini aku, Abraham."
Beberapa detik kemudian, Aira perlahan membuka matanya. Wajahnya terlihat lelah dan pucat, tetapi ia masih bisa mengenali suaminya.
"Mas Abraham..." ucap Aira dengan suara lirih, berusaha tersenyum meskipun tubuhnya terasa lemah.
Abraham segera meraih tubuhnya, membantunya duduk, dan membelai rambutnya dengan lembut.
"Kamu nggak apa-apa, sayang? Kamu pasti kelelahan," ucap Abraham, matanya penuh kekhawatiran.
Aira menganggukkan kepala pelan. "Aku cuma merasa pusing, Mas. Mungkin terlalu lelah."
Abraham menatapnya dengan cemas. "Jangan terlalu memaksakan diri, Aira. Kita harus segera ke dokter."
Aira mencoba untuk tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin hanya butuh istirahat."
Namun, Abraham tak bisa begitu saja tenang. Ia merasa ada yang lebih dari sekadar kelelahan.
Sesaat, dia merasa ada sesuatu yang lebih serius yang mungkin sedang terjadi.
Setelah memastikan Aira dalam keadaan stabil, Abraham memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Abraham tak bisa menahan kecemasannya.
Di sepanjang jalan, ia terus memegangi tangan Aira, tak ingin melepaskannya, takut jika sesuatu terjadi pada wanita yang sangat ia cintai.
Saat mereka sampai di rumah sakit, dokter segera melakukan serangkaian tes untuk mengetahui apa yang menyebabkan Aira pingsan.
Abraham terus menunggu dengan penuh kecemasan. Tak lama kemudian, dokter keluar dengan hasil tes.
"Pak Abraham, Aira sedang hamil," kata dokter dengan senyum lebar. "Itu sebabnya dia merasa mual dan pingsan.
Kehamilan ini masih sangat awal, jadi kami perlu memastikan bahwa dia beristirahat dan menjaga kesehatannya dengan baik."
Abraham terdiam, matanya membesar mendengar kabar itu.
Ia tidak menyangka, dan hatinya seketika dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa.
Tanpa bisa menahan emosi, ia keluar dari ruang dokter, kemudian mendekati Aira yang sedang duduk di ranjang rumah sakit.
"Aira, kamu hamil?" tanya Abraham dengan suara penuh kebahagiaan.
Aira tersenyum malu, menundukkan kepala. "Iya, Mas. Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku sangat bahagia."
Abraham menatap Aira dengan penuh kasih. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada untuk kamu dan bayi kita. Ini adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku."
Aira memegang tangan Abraham, merasakan cinta dan dukungan yang tak terbatas dari suaminya.
Mereka berdua tahu, perjalanan mereka akan semakin penuh makna dengan kehadiran buah hati yang akan datang.
Kehidupan mereka pun akan segera memasuki babak baru yang lebih indah, dengan harapan dan kebahagiaan yang semakin besar.
Abraham membawa Aira pulang ke apartemen mereka dengan penuh perhatian.
Sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti tersenyum, meskipun kecemasan masih terlihat di wajahnya. Sesampainya di apartemen, Abraham segera membantunya keluar dari mobil dengan hati-hati, memastikan Aira tidak merasa lelah atau terjatuh.
“Mas, aku merasa baik-baik saja kok,” kata Aira, meski tubuhnya masih agak lemas.
Ia berusaha tersenyum, tetapi Abraham bisa melihat kecemasan di matanya.
“Jangan khawatir, sayang. Kamu harus banyak istirahat,” jawab Abraham, sambil membimbing Aira ke dalam apartemen mereka.
“Dokter bilang, kehamilan kamu masih sangat lemah. Kamu harus lebih banyak berbaring dan benar-benar istirahat. Jangan terlalu banyak bergerak dulu.”
Aira mengangguk pelan, meski dalam hatinya, ia merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Tapi melihat perhatian Abraham, ia merasa sedikit tenang. Suaminya begitu penuh perhatian dan selalu memikirkan kesehatannya.
Ia tahu, dengan Abraham di sisinya, segala hal akan terasa lebih mudah.
Abraham segera menyiapkan ruang tamu untuk Aira beristirahat.
Ia membuatkan teh hangat dan meletakkan beberapa bantal di samping Aira agar ia bisa berbaring dengan nyaman.
"Kamu bisa tidur sebentar. Aku akan di sini menemanimu," kata Abraham lembut sambil duduk di sampingnya.
Aira tersenyum, merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Abraham.
“Terima kasih, Mas,” jawabnya dengan suara lembut.
Abraham membelai rambut Aira dengan penuh kasih sayang.
“Jangan khawatir, sayang. Aku akan menjaga kamu dan bayi kita. Semua akan baik-baik saja.”
Beberapa jam kemudian, Aira merasa sedikit lebih baik setelah beristirahat.
Namun, Abraham tetap tidak membiarkannya melakukan apa pun.
Ia memastikan Aira mendapatkan perawatan terbaik dan tidak terlalu banyak bergerak.
Setiap kali Aira berusaha bangun, Abraham akan dengan lembut meminta agar ia tetap berbaring dan menenangkan dirinya.
"Mas, aku merasa sedikit bosan kalau hanya berbaring begini," kata Aira, mencoba untuk menggoda Abraham.
Abraham tersenyum lembut. "Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau, asalkan itu tidak membuatmu lelah. Kita akan menjalani semuanya bersama-sama."
Malam harinya, Abraham menyiapkan makan malam yang ringan untuk Aira, memastikan bahwa makanannya bergizi dan aman untuk kehamilannya.
Mereka makan bersama, berbicara tentang masa depan dan bagaimana mereka akan menyambut anak pertama mereka.
Setiap detik yang mereka lewati bersama semakin memperkuat ikatan mereka.
Abraham tidak hanya menjadi suami yang penuh perhatian, tetapi juga seorang calon ayah yang sangat peduli terhadap kesehatan Aira dan bayi mereka.
Aira pun merasa sangat bahagia dan terberkati memiliki pasangan hidup yang begitu penuh kasih.
“Mas, aku tahu kita akan menjalani banyak tantangan di depan. Tapi aku merasa sangat beruntung bisa melaluinya bersamamu,” kata Aira, menatap Abraham dengan mata penuh rasa cinta.
Abraham menggenggam tangan Aira dengan erat.
“Kita akan melewati semuanya bersama, Aira. Aku janji, tidak ada yang bisa menghalangi kebahagiaan kita.”
Aira tersenyum, mengangguk pelan. Ia tahu, meskipun banyak hal yang belum mereka hadapi, selama mereka bersama, mereka bisa menghadapinya dengan kekuatan cinta yang tak terbatas.
***
Keesokan pagi, Aira bangun dengan perasaan tidak enak. Perutnya terasa mual dan pusing.
Ia berusaha untuk duduk di tempat tidur, namun begitu ia bangun, rasa mual itu semakin parah.
Tak lama kemudian, Aira berlari ke kamar mandi dan mulai muntah. Tubuhnya terasa lemas, seolah-olah energi dalam dirinya terkuras habis.
Abraham yang baru keluar dari kamar mandi mendengar suara Aira muntah.
Dengan cepat, ia berlari menuju kamar mandi dan menatap Aira dengan cemas.
Melihat kondisi istrinya yang sedang terkulai lemas membuat hatinya sangat teriris.
"Aira," panggil Abraham dengan suara lembut, namun penuh kekhawatiran.
Ia membantu Aira berdiri dan menyandarkannya ke tubuhnya.
"Sayang, kamu harus lebih hati-hati. Jangan paksa tubuhmu seperti ini."
Aira hanya mengangguk lemah, tubuhnya terasa sangat lelah.
Ia tidak ingin membuat Abraham khawatir, namun ia tahu dirinya tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kehamilannya memang memerlukan perhatian lebih.
Abraham dengan sigap membimbing Aira kembali ke tempat tidur.
Ia meletakkan bantal-bantal dan selimut agar Aira merasa lebih nyaman.
"Kamu harus istirahat lebih banyak, sayang. Aku tahu kamu ingin bekerja dan melakukan banyak hal, tapi sekarang kamu harus lebih menjaga diri dan bayi kita," ujar Abraham dengan lembut, sembari mengusap rambut Aira.
Aira menatap suaminya dengan mata yang tampak penuh rasa terima kasih meski tubuhnya masih terasa lemah.
"Aku tidak mau menyusahkanmu, Mas," jawab Aira pelan. "Tapi aku merasa sangat tidak enak seperti ini."
Abraham tersenyum lembut, meski matanya tampak penuh keprihatinan.
"Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kamu dan bayi kita. Jangan khawatir, Aira. Aku akan selalu di sini untukmu."
Aira merasa hangat di dalam hatinya mendengar kata-kata suaminya.
Ia tahu, Abraham sangat mencintainya dan tidak akan pernah membiarkannya sendirian dalam menghadapi masa-masa sulit ini.
Setelah memastikan Aira kembali nyaman di tempat tidur, Abraham segera bergegas menyiapkan sarapan yang ringan dan bergizi.
Ia tahu Aira belum bisa makan banyak, tetapi ia tetap ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya.
Ketika Aira merasa sedikit lebih baik, Abraham duduk di sampingnya sambil menyuapkan sup hangat.
"Minumlah sedikit, sayang. Ini baik untuk kesehatanmu," kata Abraham dengan suara penuh perhatian.
Aira menatap suaminya dengan penuh rasa terima kasih, meskipun tubuhnya masih terasa lelah, hatinya terasa penuh dengan cinta dan kebahagiaan.
"Terima kasih, Mas. Aku merasa sangat diberkati memiliki suami sepertimu."
Abraham tersenyum dan mengelus pipi Aira dengan lembut.
"Aku yang berterima kasih karena kamu mau menjadi istriku. Kita akan melalui semua ini bersama-sama, Aira."
Aira memejamkan matanya sejenak, merasakan kedamaian yang hanya bisa ia dapatkan di samping Abraham. Ia tahu, apapun yang akan datang, ia tidak akan pernah sendirian selama mereka berdua bersama.