Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Pagi itu, Dewi berdiri di depan cermin kecil di kamar Naya sambil menatap dirinya dengan khidmat.
Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu kets yang disemir pakai tisu basah, dan senyum optimis yang dibuat-buat.
“Dewi Ayu Ningrat siap kerja, sodara-sodara!” katanya sambil angkat tangan ke atas.
Dari balik pintu, Naya berseru, “Cepet! Nanti telat! Bos kamu katanya suka marah kalau ada yang dateng lewat jam delapan!”
Dewi melirik jam dinding.
07.41.
“...Astagaaaa!”
---
Gedung Satria Corp tampak makin besar dan intimidatif saat dilihat dari dekat.
Dewi melangkah masuk sambil deg-degan. Di lobi, semua orang tampak rapi, sibuk, dan… seperti nggak punya masalah hidup.
Berbeda dengan Dewi yang sedang menahan detak jantung dan keringat dingin.
“Tenang... gue karyawan. Gue legal. Gue bukan maling,” gumamnya.
Di depan lift, dia terdiam.
“Eh… lantai berapa ya ruang admin?”
Dia menoleh ke resepsionis, tapi resepsionis itu terlalu cantik dan terlalu galak untuk didekati. Akhirnya Dewi pencet sembarang tombol.
Dan takdir membawanya ke lantai 20.
---
Saat pintu lift terbuka…
Dewi mendapati ruangan super tenang dan megah. Di tengah ruangan berdiri pria tinggi, bersetelan rapi, sedang menatap ke arah jendela.
Dewi langsung panik.
Salah lantai. Salah lantai parah.
Tapi pria itu… menoleh.
Dan mata mereka bertemu.
Tatapan itu.
Dingin. Dalam. Diam.
Tapi… untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, Dewi merasa aneh. Ada sesuatu yang familiar. Seperti déjà vu.
Dewi membungkuk cepat, “Maaf, Pak! Saya… saya salah lantai!”
Pria itu hanya mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata.
Dewi buru-buru balik badan dan mencet tombol lift. Mukanya merah padam.
“Gila… itu pasti bos besar. Ganteng sih. Tapi serem banget.”
Pintu lift menutup, dan Dewa menatap layar monitor kecil di mejanya.
Tersenyum tipis.
“Pagi yang menyenangkan.”
---
Ruang Admin, Lantai 12
Setelah kebingungan dan sempat nyasar ke pantry, Dewi akhirnya menemukan ruang kerjanya. Ruangan itu kecil tapi cukup nyaman. Di dalamnya sudah ada tiga orang staf lain.
“Pagi!” sapa Dewi ceria.
Seorang wanita bermakeup tebal menoleh, “Kamu anak baru?”
“Iya! Dewi Ayu. Admin baru.”
Wanita itu menyeringai. “Aku Tika. Senior admin di sini. Kamu bakal sibuk banget di minggu pertama.”
Seorang cowok berkacamata menimpali, “Dan kamu harus hati-hati. Bos kita tuh... ya gitu deh. Kalau dia udah bilang ‘rapat jam tiga’, berarti jam dua lima sembilan kamu udah duduk manis.”
Dewi tertawa kecut. “Noted. Disiplin ya, Bosnya…”
Tapi entah kenapa, tatapan Dewa di lantai 20 tadi masih membayang di benaknya.
Dingin.
Tapi… ada rasa hangat aneh yang tertinggal.
---
Siang hari.
Dewi sedang makan siangnya di pantry, sendirian, ketika tiba-tiba pintu terbuka.
Langkah kaki tegas. Aroma parfum maskulin.
Dewi menoleh.
Dan hampir tersedak.
Itu… dia.
Pria di lantai 20.
Dewi buru-buru berdiri, “Eh—Maaf, Pak! Saya… saya cuma makan siang, saya nggak… eh…”
Dewa duduk di meja seberang. “Lanjutkan saja.”
Dewi duduk kembali, kikuk, menyeruput sop soto dari tupperware warna pink.
Dewa membuka bekal makan siangnya—lebih elegan dari milik Dewi tentunya—dan mulai makan dalam diam.
Suasana canggung. Sangat canggung.
Sampai akhirnya Dewi nekat membuka suara.
“Pak… saya kayaknya pernah lihat Bapak ya?”
Dewa menatapnya sebentar. “Mungkin.”
“Bapak juga pegawai sini ya?” tanya Dewi
Dewa terdiam sebentar.
“Saya pemiliknya.” jawab Dewa
Dewi: 😱😱😱
Mulutnya terbuka, sendok jatuh ke soto, dan jantungnya seolah pindah ke lutut.
Salah satu mimpi buruk resminya terjadi.
Dia barusan nyapa bos besar...
Dengan bekal pink dan keringetan.
---
Di ruangannya, Dewa tertawa kecil sendirian untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Masih lucu seperti dulu.”
Dan di layar monitornya, satu file bernama “Dewi Ayu – Data Karyawan” terbuka.
...----------------...
Sejak insiden makan siang kemarin, Dewi resmi menjadi bahan bisik-bisik satu departemen.
“Dia makan bareng Pak Dewa?”
“Serius? Di pantry? Berdua?”
“Gila... udah berapa tahun aku kerja di sini, belum pernah sedekat itu sama beliau!”
“Berarti Dewi anak emas dong sekarang?”
Dewi cuma bisa senyum kecut sambil mengunyah donat di mejanya.
Anak emas dari neraka.
Dia masih merinding tiap ingat ekspresinya saat tahu "pria dingin nan ganteng di lantai 20" itu adalah bos besar sekaligus pemilik perusahaan.
“Sial, kenapa aku nyapa dia kayak nyapa abang tukang parkir,” gumamnya sambil menunduk malu.
---
Tapi anehnya…
Sejak kejadian itu, Dewa sering muncul di tempat yang tidak masuk akal untuk level direktur utama.
Kadang muncul di pantry waktu Dewi bikin kopi.
Kadang nongol pas Dewi isi ulang air galon.
Pernah juga... duduk di ruang meeting kecil padahal nggak ada jadwal meeting apa pun.
Dan setiap kali itu terjadi, Dewi jadi makin yakin… “Pak Dewa itu suka inspeksi dadakan. Mungkin hobi kali ya.”
---
Suatu sore, ketika hujan turun deras dan petir menyambar-nyambar, Dewi sedang lembur sendirian di ruang admin.
Yang lain sudah pulang.
Lampu kantor sedikit redup. Suara hujan mengalahkan bunyi ketikan keyboard.
Tiba-tiba... "Ceklek."
Pintu terbuka.
Dewi menoleh.
Dan jantungnya hampir lompat dari dada.
Pak Dewa. Lagi.
Dengan jas hitam basah sebagian, rambut sedikit berantakan, dan ekspresi tetap datar tapi... entah kenapa, Dewi merasa… ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dari tatapannya.
“Belum pulang?” tanyanya.
Dewi buru-buru berdiri. “Eh, belum, Pak. Lagi beresin laporan pengeluaran minggu ini.”
Dewa berjalan pelan ke arahnya. Suaranya tenang, tapi tegas. “Jangan terlalu sering lembur sendirian. Itu berbahaya.”
“Hujannya mendadak deres, Pak. Nggak bisa pulang juga,” ujar Dewi sambil senyum kecil.
Dewa diam sebentar. Lalu meletakkan sesuatu di meja Dewi.
Payung lipat.
“Hati-hati di jalan.” ujar Dewa
Lalu dia pergi. Begitu saja.
Meninggalkan Dewi yang menatap payung itu seolah baru dikasih kunci rumah.
“Dia bos... tapi kenapa perhatian gitu ya?” tanya Dewi heran, “Dan... kenapa jantungku kayak abis ikut lomba lari estafet?”
---
Beberapa hari setelah itu…
Dewi membuka email internal kantor. Ada undangan presentasi dari divisi marketing yang akan dihadiri semua direktur. Termasuk Pak Dewa.
Dewi yang ditunjuk buat nyiapin slide, panik bukan main.
Chat grup
Dewi : “Naya, tolong! Gue gugup!”
Naya : “Lu tuh deg-degan kerja atau deg-degan liat si bos?”
Naya : “Fix, ini kayak drama Korea! Ntar lu jatuh cinta, terus... baru tau kalau dia—”
Dewi: “HUS! Jangan sambung kalimat itu! Amit-amit!”
Chat berakhir
Tapi di lubuk hatinya yang terdalam…
Dewi mulai bertanya-tanya.
Kenapa dia sering muncul?
Kenapa dia diam-diam perhatian?
Dan kenapa… rasanya dia udah kenal aku lebih lama dari yang aku sadari?
---
Sementara itu…
Di ruangannya, Dewa menatap file rahasia miliknya.
Foto Dewi saat kecil. Salinan dokumen perjodohan. Data latar belakang keluarga.
Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Aku nggak akan paksa kamu, Dewi…
Aku hanya ingin kamu mengenalku tanpa nama keluarga, tanpa janji orang tua" ujar Dewa pelan
"Tapi bisakah kamu jatuh cinta… pada Dewa yang biasa?” lanjutnya
Bersambung