Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tiga bulan berlalu dan di hari yang penuh kegembiraan itu, Puri berdiri di atas panggung wisuda, mengenakan toga dan jubah hitam yang menghiasi tubuhnya.
Suasana di ruang aula terasa sangat meriah, penuh dengan sorak sorai dari teman-teman dan keluarga yang datang memberi dukungan.
Wajah Puri bersinar, meskipun ada sedikit rasa cemas di dalam hatinya, karena hari ini bukan hanya sekadar merayakan pencapaiannya, tetapi juga sebuah titik penting dalam hidupnya.
Om Sasongko, Tante Mamik, Mama, dan Karan semuanya hadir untuk memberikan dukungan.
Karan terlihat tersenyum bangga, matanya memancarkan kebahagiaan melihat Puri yang akhirnya berhasil menyelesaikan studinya.
Di sampingnya, mama Puri juga tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Setelah melalui berbagai tantangan dan kebingungan, Puri akhirnya dapat mencapai tujuannya.
Om Sasongko berdiri di samping Tante Mamik, memberikan semangat dengan tatapan penuh bangga.
"Puri, kamu benar-benar hebat," kata Om Sasongko dengan suara lembut namun penuh kehangatan.
Tante Mamik menepuk pundak Puri dengan senyuman hangat.
"Selamat, Puri! Semua usaha dan kerja kerasmu terbayar hari ini."
Mama Puri juga tak bisa menyembunyikan air matanya, tetapi air mata itu adalah air mata kebanggaan.
"Kamu sudah berhasil, Nak. Mama bangga banget sama kamu," ucap mama Puri dengan suara penuh emosi.
Karan, yang berdiri di dekat mereka, tersenyum lebar.
"Aku selalu percaya padamu, Pur. Hari ini kamu menunjukkan betapa kuatnya kamu."
Puri yang mendengar semua ucapan itu merasa sangat terharu.
"Terima kasih, semuanya. Aku nggak bisa sampai di sini tanpa dukungan dari kalian semua."
Setelah upacara wisuda selesai, mereka semua berkumpul di luar aula. Puri, dengan senyum lebar di wajahnya, merasa lega akhirnya bisa melewati salah satu momen terbesar dalam hidupnya.
Meski masih ada banyak hal yang harus dihadapi, hari ini adalah hari di mana ia bisa merayakan pencapaiannya bersama orang-orang yang ia cintai.
Karan datang mendekat dan memeluk Puri dengan penuh kasih sayang.
"Aku sangat bangga padamu, Pur. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan ini adalah awal dari perjalanan kita yang baru."
Puri tersenyum, tetapi ada perasaan campur aduk di dalam hatinya.
Ia tahu bahwa keputusan yang akan datang akan sangat penting, terutama mengenai hubungan mereka.
Namun, untuk hari ini, ia memilih untuk merayakan pencapaiannya, menikmati kebahagiaan yang ada, dan berterima kasih atas semua yang sudah dilaluinya.
"Makasih, Mas Karan. Kamu sudah selalu ada di sampingku," jawab Puri dengan suara lembut.
Mereka berdiri bersama, dikelilingi oleh orang-orang yang mereka cintai.
Momen ini terasa begitu indah, dan Puri tahu, apapun yang akan terjadi selanjutnya, ia sudah berada di jalur yang benar untuk menghadapi hidup dengan penuh semangat dan keberanian.
Setelah selesai acara puri berjalan menuju kearah parkiran mobil . Karan melihat puri yang sedang berjalan kearahnya
"PURI!
Karan langsung lari ketika melihat puri yang tiba-tiba pingsan
Karan panik begitu melihat Puri jatuh pingsan di depannya.
Dengan sigap, ia berlari mendekat dan dengan hati-hati mengangkat tubuh Puri.
"Pur, bangun, sayang. Jangan buat aku khawatir begini," kata Karan dengan cemas, mencoba membangunkan Puri.
Om Sasongko dan mama Puri yang melihat kejadian itu segera mendekat.
"Karan, ada apa dengan Puri?" tanya Om Sasongko, khawatir.
"Sepertinya Puri kelelahan," jawab Karan sambil mencoba menenangkan diri, meski hatinya penuh kekhawatiran.
"Aku akan membawanya ke rumah."
Tanpa menunggu lama, Karan membawa Puri ke mobil dan menyetir dengan cepat menuju rumahnya.
Mama Puri dan Om Sasongko ikut mengikutinya di belakang, khawatir dengan kondisi Puri.
Sesampainya di rumah, Karan segera membawa Puri ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.
Ia mengambil air dingin untuk mengompres dahi Puri, berharap itu bisa membuatnya lebih tenang.
Karan duduk di samping tempat tidur, memegangi tangan Puri, berharap ia segera sadar.
"Puri, kamu harus bangun. Aku di sini, sayang," bisiknya, menyentuh lembut wajah Puri.
Beberapa menit kemudian, Puri perlahan membuka matanya.
Matanya masih terlihat kabur dan lelah, namun begitu melihat Karan di sampingnya, ia tersenyum lemah.
"Karan?" suara Puri terdengar lemah. "Apa yang terjadi?"
Karan tersenyum lega begitu melihat Puri membuka mata.
"Kamu pingsan, Pur. Jangan khawatir, kamu hanya kelelahan. Kamu butuh istirahat," jawab Karan dengan suara lembut.
Puri mengangguk perlahan, merasa sedikit malu.
"Aku... aku nggak tahu kenapa bisa pingsan begini. Terima kasih sudah ada di sini."
Karan menggenggam tangan Puri dengan lembut.
"Aku selalu ada buat kamu, Pur. Jangan khawatirkan apa pun."
Setelah beberapa saat, Puri merasa sedikit lebih baik dan Karan membantunya duduk.
"Kamu harus makan dan minum banyak, ya. Aku akan menemanimu, jangan khawatir."
Mereka berbicara dalam keheningan, sementara Karan memastikan Puri mendapatkan perhatian yang ia butuhkan.
Pada saat itu, Puri merasa sangat dihargai dan aman di samping Karan, merasa bahwa apapun yang terjadi di masa depan, mereka akan bisa menghadapinya bersama.
Puri mengangguk lemah saat mendengar suara mama yang penuh perhatian.
Mama segera menyiapkan secangkir teh hangat dan mendekatkan cangkir itu ke Puri.
"Minumlah teh ini, nak. Ini akan membantumu merasa lebih baik," ucap mama dengan lembut sambil duduk di samping Puri.
Puri menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Ia merasa sedikit canggung, namun rasa nyaman yang diberikan mama membuatnya merasa tenang.
"Terima kasih, Mama," katanya pelan, menatap mama dengan rasa terharu.
Mama tersenyum lembut dan mengusap rambut Puri.
"Kamu sudah bekerja keras, nak. Jangan terlalu memaksakan diri. Ada waktunya untuk beristirahat."
Puri hanya menganggukkan kepala, meresapi kata-kata mama yang selalu penuh kasih.
Meskipun dirinya masih teringat dengan apa yang terjadi sebelumnya terutama dengan hubungannya yang begitu rumit, ia merasa sedikit lega dengan kehadiran mama dan Karan di sisinya.
"Jangan khawatirkan apa pun, Pur. Mama ada di sini," lanjut mama sambil menatap Puri dengan penuh perhatian.
Puri menarik napas panjang, sedikit menenangkan dirinya.
"Aku tahu, Mama. Aku cuma merasa bingung, semuanya jadi terasa begitu berat."
Mama memegang tangan Puri dengan lembut.
"Apapun yang kamu pilih, Mama akan selalu mendukungmu. Tapi ingat, yang terpenting adalah kebahagiaan dan kedamaian hatimu."
Puri mengangguk, merasakan kehangatan dari tangan mama yang menguatkan hatinya.
"Terima kasih, Mama."
Karan yang duduk di sebelah mereka, ikut tersenyum melihat kedekatan antara Puri dan mamanya.
Ia tahu bahwa meskipun hubungan ini penuh dengan tantangan, dengan dukungan dan cinta dari orang-orang yang mereka sayangi, mereka akan bisa melewati semuanya.
Malam harinya Puri baru ingat kalau sudah tiga bulan ini ia tidak menstruasi.