Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Bab 1

Perkenalkan namaku Puri Indraswari dan sahabatku sering memanggilku dengan sebutan "Pho"

Saat ini aku sedang berada di kantin hapus untuk menunggu jam masuk kuliah.

Bukannya aku tidak mau lekas masuk ke kelas, tetapi saat ini banyak sekali pikiran yang menggangguku apalagi kalau tentang Mama.

Disaat sedang melamun tiba-tiba Yardani menepuk pundak Puri

"Pho, nggak masuk kelas? Pak Sasongko sudah melangkahkan kakinya menuju kelas," ucap Yardani Kakak senior ku.

Puri yang mendengarnya langsung segera berlari menuju ke kelas.

Ia tidak mau jika Pak Sasongko sekaligus Om nya mengetahui kalau ia terlambat.

"Lebih baik aku cari jalan pintas, "

Untuk cepat sampai ke kelas sebelum Om melihatku." pikir Puri sambil mempercepat langkahnya melewati lorong belakang gedung.

Ia menyusuri jalur sempit yang jarang dipakai mahasiswa lain, melewati deretan ruang laboratorium yang sepi.

Sesekali ia harus menunduk menghindari jemuran jas lab yang digantung sembarangan.

“Napas... napas… ayo Pho, kamu bisa,” gumamnya sambil menggenggam erat map berisi tugas makalah yang belum sempat dikumpulkan.

Begitu sampai di depan pintu kelas, Puri menarik napas panjang.

Ia merapikan rambutnya sejenak, lalu mengetuk pintu dengan hati-hati.

Puri membuka pintu kelas perlahan, berharap bisa menyelinap tanpa menarik perhatian.

Namun harapannya pupus ketika suara Pak Sasongko menggema tegas,

“Puri Indraswari. Sudah jam berapa ini?!”

Seluruh kelas langsung menoleh. Beberapa mahasiswa tampak menahan tawa, terutama geng "Sahabat Satu Tugas" yang duduk di pojok belakang.

Salah satu dari mereka, Mia bahkan berbisik cukup keras,

“Wah, keponakan dosen kok telat, ya?”

Puri menunduk, pipinya panas. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil berjalan ke bangkunya. Tapi belum sempat duduk, Pak Sasongko melanjutkan.

“Keponakan saya atau bukan, semua mahasiswa saya perlakukan sama. Kalau kamu telat lagi, saya nilai tugasmu nol,”

Setelah Puri duduk, sebuah catatan kecil disodorkan dari bangku belakang. Isinya:

Puri hanya bisa menarik napas panjang saat membaca pesan dari Yudha.

Kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga panggung drama yang kadang terlalu nyata.

Puri akhirnya duduk di kursinya, berusaha menenangkan diri.

Ia membuka buku catatannya dan mulai mencoret-coret topik yang sempat ia pelajari semalam: Kelistrikan Otomotif — Sistem Pengisian dan Starter.

Pak Sasongko berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis,

“Alternator, Regulator Tegangan, dan Aki — tiga komponen utama sistem pengisian,”

Suara beliau tegas dan jelas, tapi bagi Puri, tetap terasa dingin. Ia tahu Pak Sasongko tidak akan memberikan perlakuan istimewa padanya meski mereka masih satu keluarga.

"Jika arus dari alternator tidak stabil, apa yang terjadi dengan aki?" tanya Pak Sasongko tiba-tiba, matanya menyapu seluruh kelas — lalu berhenti pada Puri.

Beberapa mahasiswa langsung menoleh ke arahnya, menanti apakah dia bisa menjawab atau justru makin tenggelam dalam malu.

Dengan suara ragu tapi jelas, Puri menjawab, “Aki bisa overcharge, Pak ... atau bahkan rusak karena tegangan berlebih,"

Pak Sasongko mengangguk tipis. “Benar. Tapi awas, jangan cuma pintar teori. Kalian akan praktik langsung minggu depan,"

Kelas kembali tenang. Tapi bagi Puri, ketenangan itu semu — karena Yudha mengirim catatan lagi, kali ini dengan gambar kecil karikatur Puri pakai jubah superhero bertuliskan “PHO-wer Charge.”

Setelah lonceng tanda akhir kelas berbunyi, para mahasiswa segera beranjak keluar.

Puri hendak ikut keluar ketika suara khas Pak Sasongko memanggil dari depan kelas,

“Puri, ikut ke ruangan sebentar,"

Beberapa teman sekelas melirik, sebagian penasaran, sebagian menyindir dengan tatapan. Puri menunduk, mengikuti Pak Sasongko menuju ruang dosen.

Begitu pintu tertutup, suasana langsung berubah tenang.

Pak Sasongko duduk, menatap keponakannya dengan serius.

“Kenapa kamu terlambat tadi pagi?”

Puri menarik napas dalam, lalu menjawab jujur, “Tadi Puri di kantin, Om. Bukan nongkrong… tapi lagi mikir, apa bisa cari uang tambahan,"

Pak Sasongko mengernyit. “Untuk apa? Bukankah semua biaya kuliah kamu Om yang tanggung? Uang jajan juga cukup, kan?”

Puri menatap ke bawah. “Puri pengin bantu Mama, Om. Listrik di rumah hampir diputus. Mama bilang tunggu akhir bulan, tapi… Puri nggak tega,”

Hening sejenak. Pak Sasongko merogoh dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu menyodorkannya ke Puri.

“Ini. Berikan ke Mama kamu. Tapi jangan bilang dari Om. Bilang saja kamu dapat dari lomba atau semacamnya,"

Puri tertegun, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi Om ...,”

“Tidak usah banyak alasan. Kamu itu tanggung jawab Om. Tugasmu sekarang cuma satu—belajar yang benar dan jangan pernah telat lagi. Paham?”

Puri mengangguk pelan, menggenggam uang itu erat, seakan ikut menggenggam harapan Mamanya.

Hujan mengguyur deras saat Puri menerobos jalanan dengan motornya.

Jaketnya basah, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: segera sampai di rumah dan memberikan uang itu kepada Mama.

Namun, di pertigaan jalan dekat perumahan tua, matanya menangkap sesuatu—seorang lelaki berdiri di sisi jalan dengan payung setengah miring, terlihat kebingungan sambil membuka kap mobil.

Puri memutuskan untuk berhenti, meminggirkan motornya walau hujan makin deras. Ia menghampiri lelaki itu tanpa ragu.

“Mobilnya kenapa, Mas?” tanyanya sambil menyeka wajah dari air hujan.

Lelaki itu sedikit terkejut, tapi segera menjawab,

“Tiba-tiba mogok. Kayaknya kabel businya bermasalah, tapi saya nggak yakin ...,"

Puri tersenyum kecil. “Boleh saya lihat?”

Ia membuka kap mobil sepenuhnya, mengamati sambungan kabel, dan mulai mengutak-atik beberapa bagian dengan hati-hati.

Meski hujan membasahi bajunya, tangannya tetap cekatan—ilmu dari kelas Pak Sasongko pagi tadi membantunya.

“Nyalakan sekarang,” ucapnya setelah beberapa menit.

Lelaki itu masuk ke mobil dan memutar kunci. Seketika, suara mesin meraung lembut, menandakan mobil hidup kembali.

Lelaki itu keluar dengan wajah lega. “Wah, hebat banget! Terima kasih, Mbak… Nama saya Karan,”

Puri tersenyum, menyodorkan tangan. “Saya Puri,"

Keduanya berjabat tangan di bawah guyuran hujan, seperti awal dari sesuatu yang belum mereka sadari.

Setelah berpamitan dengan Karan, Puri kembali menyalakan motornya dan melaju menembus hujan.

Meski bajunya basah kuyup dan tubuhnya mulai menggigil, ada rasa hangat di hatinya—karena hari ini, meski penuh tekanan, ia merasa berguna.

Lima belas menit kemudian, Puri tiba di rumah kecil mereka yang sederhana.

Ia memarkirkan motor di bawah atap seng depan, lalu berlari kecil masuk ke dalam.

Melihat putrinya dalam keadaan basah kuyup, Mama Wiwik langsung mengelus bahunya penuh sayang.

“Anak Mama, kenapa tidak mau berteduh dulu?” ucapnya lembut, sedikit khawatir.

Puri hanya tertawa kecil, “Hehe, nanti malah makin telat pulangnya, Ma.”

Tanpa banyak bicara, ia segera menuju kamar mandi untuk menghangatkan badan. Dari balik pintu, suaranya terdengar,

“Ma, nanti setelah mandi, Puri mau ngobrol ya... ada sesuatu buat Mama,"

Mama Wiwik mengangguk, meski Puri tak melihatnya.

Di wajahnya tersirat penasaran, bercampur haru.

Ia tak tahu bahwa dalam beberapa menit ke depan, air mata yang jatuh bukan karena hujan, tapi karena ketulusan seorang anak.

Terpopuler

Comments

kalea rizuky

kalea rizuky

masih menyimak

2025-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!