Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Dari balik kaca jendela, ia membayangkan Aruna berdiri di dapur, menyeduh teh. Ia bisa mendengar suara tawa lembutnya, merasakan kehadiran yang dulu tak ia hargai.
“Saat itu aku buta, Aruna... buta karena cinta yang salah. Dan saat mataku terbuka, kamu sudah terlalu jauh.”
Seorang anak kecil bersepeda melintas dan melambai ke arah Revan. Ia membalas dengan senyuman kecil, lalu perlahan berjalan kembali ke mobilnya.
Malam hari, Aruna menulis di jurnal pribadinya. Ia menuliskan semua perasaan yang selama ini hanya tersimpan di dalam hati. Ia tidak menulis karena masih menyimpan rasa untuk Revan, tetapi karena ia ingin menutup satu bab dalam hidupnya dengan tenang.
"Untuk Revan,
Terima kasih karena pernah menjadi bagian dari hidupku. Meskipun banyak luka, aku belajar menjadi kuat karenamu. Aku pernah mencintaimu dengan sepenuh jiwa, tapi cinta itu bukan lagi milikku. Aku telah menemukan seseorang yang mencintaiku tanpa syarat, yang melihat aku, bukan bayang-bayang masa lalunya.
Maafkan aku jika selama ini aku menjadi orang yang kamu anggap tidak cukup. Tapi sekarang aku tahu, aku cukup. Dan aku bahagia."
Aruna menutup jurnalnya, lalu memeluk Rio dari belakang yang sedang membaca buku.
Rio menoleh, mencium keningnya, lalu berkata, “Selesai?”
Aruna mengangguk. “Sudah. Untuk selamanya.”
Di kamarnya, Revan membuka laptopnya, lalu menuliskan surat. Bukan untuk dikirim, hanya untuk dirinya sendiri.
"Untuk Aruna,
Aku terlambat mencintaimu. Tapi bukan berarti cintaku tidak nyata. Aku belajar dengan cara yang keras, bahwa cinta bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang perhatian, pengorbanan, dan keberanian untuk melihat orang yang mencintaimu.
Maaf, karena saat kamu mencintaiku sepenuh hati, aku sibuk mencintai masa lalu. Dan ketika aku sadar, kamu sudah menjadi masa lalu itu."
Ia menutup laptopnya dengan napas berat. Lalu, untuk pertama kalinya sejak perpisahan itu, ia merasa damai.
Hari-hari menjelang pernikahan Aruna dan Rio dipenuhi dengan kegembiraan sederhana. Tidak ada pesta mewah, tapi cinta mereka mengisi setiap sudut ruangan. Undangan telah disebar, gaun putih sudah disiapkan, dan hanya tinggal hitungan hari sebelum Aruna resmi menjadi istri Rio.
Namun takdir menulis bab lain yang tak terduga.
Rio berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis satu hari sebelum resepsi kecil mereka. Ia berjanji akan pulang malam itu juga. Tapi sore hari, sebuah panggilan darurat dari rumah sakit mengguncang dunia Aruna.
Rio mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol, kritis. Tanpa pikir panjang, Aruna langsung menuju rumah sakit dengan tubuh gemetar dan air mata yang tak henti jatuh.
Saat tiba, ia melihat seseorang berdiri di depan ruang ICU: Revan.
Aruna berhenti sejenak, bingung. “Kamu…?”
Revan menoleh, wajahnya muram. “Aku… aku kebetulan sedang dalam perjalanan bisnis juga, mobilku hanya beberapa menit di belakang mobil Rio. Aku lihat semuanya.”
Tangannya bergetar. “Aku panggil ambulans pertama kali. Kalau tidak, mungkin dia nggak sempat sampai ke rumah sakit…”
Aruna tak menjawab. Hanya menatap pintu ICU yang terbuka.
Petugas medis memanggil, “Keluarga Rio?”
“Di sini,” jawab Aruna dan Revan hampir bersamaan.
“Dia sadar. Tapi kondisinya sangat kritis. Kalau kalian ingin bicara... sekarang waktunya.”
---
Di dalam kamar ICU yang sunyi, Rio terbaring dengan selang di hidung dan wajah yang dipenuhi luka. Namun matanya terbuka saat melihat Aruna datang, diikuti Revan di belakang.
“Aruna...” Rio tersenyum tipis. “Dan Revan... kamu datang juga…”
Revan mendekat, masih sulit menerima kenyataan pria yang akan menikahi wanita yang ia cintai kini terbaring sekarat.
“Rio... aku minta maaf. Aku seharusnya...” suara Revan tercekat.
Rio mengangkat tangan lemah. “Nggak perlu minta maaf. Yang aku minta... cuma satu.”
Mereka berdua menatapnya.
“Aku tahu... waktu aku nggak banyak. Tapi aku ingin... Aruna tetap dijaga.”
Aruna mencengkeram tangannya. “Jangan bicara seperti itu, kamu akan pulih.”
Rio menggeleng. “Kamu harus kuat. Aku ingin kamu tetap hidup... bahagia.”
Lalu Rio menatap Revan. “Dan kamu... jaga dia untukku. Tebus semua yang pernah kamu sia-siakan.”
Revan terdiam, lalu menunduk. “Aku bersumpah, Rio. Dengan seluruh penyesalanku… aku akan menjaganya.”
Rio tersenyum lemah. “Terima kasih…”
Monitor detak jantung berdetak pelan. Aruna menahan napas saat suara alat mulai memanjang. Dan beberapa detik kemudian garis lurus menggantikan denyut kehidupan.
Rio pergi... meninggalkan dunia, meninggalkan cinta yang belum sempat selesai.
Pemakaman Rio digelar dua hari kemudian. Revan berdiri diam di belakang Aruna, menjaga jarak, namun tak pernah mengalihkan pandangan darinya. Ia tahu Aruna tidak membutuhkannya saat ini ia hanya butuh ruang untuk berduka.
Namun di sore hari setelah pemakaman, Aruna menghampirinya. Wajahnya lelah, mata sembab, tapi sorot matanya tegas.
“Kita perlu bicara.”
Mereka duduk berdua di bangku taman yang dulu sering didatangi Aruna dan Rio.
“Rio mempercayaimu,” kata Aruna lirih. “Dan aku... nggak tahu harus bagaimana. Tapi aku nggak bisa abaikan pesan terakhirnya.”
Revan menatap lurus ke depan. “Aku akan lakukan apa pun untuk menepati janji itu. Bahkan jika kamu membenciku selamanya.”
Aruna menggenggam tangannya. “Aku tidak membencimu. Aku hanya... belum bisa mencintai siapa pun lagi.”
“Tidak apa-apa,” jawab Revan. “Yang penting kamu tidak sendiri.”
Hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan Aruna dan Rio akhirnya datang. Tapi bukan Rio yang berdiri di pelaminan. Revan-lah yang kini berada di sisi Aruna, dalam sunyi yang dipenuhi rasa kehilangan.
Tidak ada pesta besar. Hanya upacara kecil di kantor catatan sipil. Aruna mengenakan gaun yang awalnya ia pilih untuk menikahi Rio. Revan berdiri di sisinya dalam diam, hatinya hancur namun penuh tanggung jawab.
“Apakah kamu bersedia menikahi Revan?” tanya petugas.
Aruna mengangguk pelan, air matanya menetes. “Aku bersedia… untuk menjalankan janji yang belum selesai.”
Revan menatapnya dengan ketulusan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Aku bersedia. Dan aku akan menjaganya… bukan hanya karena janji. Tapi karena sekarang aku mencintainya.”
Malam harinya, di rumah baru yang awalnya disiapkan Rio untuk memulai kehidupan bersama Aruna, Revan memutuskan tidur di kamar tamu.
Namun sebelum ia masuk, Aruna memanggil dari ambang pintu.
“Revan... terima kasih.”
Revan berbalik. “Untuk apa?”
“Untuk tidak pergi... di saat semua orang bisa saja memilih menjauh.”
Revan tersenyum tipis. “Aku pergi sekali, Aruna. Kali ini… aku bertahan.”
Aruna menunduk. “Aku belum bisa membalas cintamu. Tapi... aku bersedia berjalan bersama. Pelan-pelan.”
Revan menatapnya. “Itu cukup. Lebih dari cukup.”
Dan malam itu, dua orang dengan luka yang sama belajar menerima takdir yang dipenuhi kehilangan. Bukan karena cinta datang begitu saja, tetapi karena cinta yang baru sedang tumbuh... dari janji yang ditinggalkan seseorang yang mereka cintai bersama.