bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecelakaan peswatr
Amira Menguap
"Mah, kenapa sih kita harus berangkat sepagi ini?" tanya Amira sambil menguap lebar.
"Mamah juga nggak ngerti kenapa Oma Viona nyuruh kita ke Jakarta," jawab Renata, sambil memperbaiki tasnya.
"Huh, dasar orang kaya. Sore di Singapura, pagi di Jakarta, siang di Meksiko," cibir Amira.
Renata hanya menggelengkan kepala melihat tingkah pecicilan Amira. Kadang kesal, kadang norak, tapi Renata sadar, tanpa Amira, mungkin dia tidak akan sanggup menghadapi semua masalah yang sedang menimpanya.
"Mah, kok bodyguard-nya ganti sih?" tanya Amira lagi.
"Mamah juga nggak ngerti. Lagian, bodyguard Nyonya Viona kan banyak," jelas Renata.
Amira hanya mengangguk pelan. Renata menangkap perubahan sikap Amira yang jadi lebih banyak diam. Biasanya gadis itu cerewet sekali.
Mereka memasuki mobil Alphard hitam yang sudah menunggu. Di dalam, dua bodyguard berbadan tegap duduk dengan ekspresi dingin.
"Kenapa, Mir? Kamu kelihatan ketakutan," tanya Renata, curiga.
"Ah, semalam aku nonton film horor, judulnya Serigala Berbulu Domba," jawab Amira.
"Film apa itu? Sepertinya Mamah baru dengar," Renata mengernyitkan dahi.
"Ya iyalah! Mamah kan nontonnya berita politik dan bisnis terus. Mana sempat kayak aku yang bisa lihat film atau drakor."
"Alah, bisa aja kamu. Bilang aja takut naik jet pribadi," ejek Renata sambil tersenyum kecil.
Setibanya di bandara, mereka langsung diarahkan menuju jet pribadi bertuliskan inisial V.W., milik Viona Wijaya.
Di Hotel Mewah
“mamah” teriak andika
Andika terbangun dengan tubuh penuh keringat. Nafasnya terengah. Ia bermimpi buruk—tentang ibunya.
Panik, Andika segera mengambil ponsel dan menelpon Renata. Tidak aktif. Ia mencoba menelpon Amira. Sama, tidak aktif.
"Kenapa nomornya nggak aktif semua..." gumam Andika gelisah.
Ia menyalakan televisi untuk mengalihkan pikiran, namun justru berita besar membuatnya membeku:
Kecelakaan Maut! Jet Pribadi Milik Wijaya Corporation Jatuh di Perairan Selat Malaka. Semua Penumpang Dilaporkan Tewas.
Andika tertegun. Nafasnya tercekat. Tangannya gemetar saat membaca nama-nama korban yang ditampilkan di layar:
Renata Wijaya. Amira Wijaya.
Ponsel jatuh dari tangannya. Dunia terasa runtuh menimpanya. Ia menggeleng-gelengkan kepala, menolak percaya.
"Tidak mungkin... tidak mungkin..." desisnya parau.
“haaaaaaa...haaaaaa.” tangisan andika
Andika menangis sejadi-jadinya. Ia melempar semua barang di kamar hotel, mengamuk seakan ingin menghancurkan dunia.
Ia kembali teringat pertengakaran dia dengan ibunya masih terngiang-ngiang ibunya berkata
"Kamu kira Mamah butuh warisan? Nggak! Mamah cuma butuh kamu! Kalau kamu nggak dapat warisan itu, potong saja telinga Mamah kalau Mamah masih hidup! Musuh kamu terlalu banyak, tapi kamu terlalu polos buat sadar!"
"Mamahhhhhh, maafkan dika mah,,mamah jagan pergi dika butuh mamah!!!" raung Andika, suaranya pecah.
Rasa bersalah langsung menyelimuti dirinya baru kemarin dia bertengkar dengan mamahnya dan dia memilih memperjuangkan cintanya dengan Bianka dan menentang keinginan ibunya untuk tetap bersama amira agar mendapatkan warisan dari viona.
Andika buru-buru menelpon Viona.
"Oma! Mamah gimana?!" pekiknya begitu sambungan tersambung.
"Oma sudah kerahkan tim pencari. Tenang, Andika," jawab Viona tegas.
"Iya, Oma... aku mohon..." isak Andika.
Sambungan terputus. Andika langsung menelpon Robert.
"Robert! Kerahkan semua orangmu buat cari Mamah dan Amira! Sekarang!"
"Saya sudah kerahkan, Bos!" sahut Robert cepat.
Andika menutup sambungan dengan kasar. Ia meremas rambutnya frustasi.
Saat itu pintu kamar terbuka.
Bianka masuk, matanya sembab—entah karena benar-benar menangis atau hanya pakai obat tetes mata. Ia langsung memeluk Andika.
"Yang sabar, sayang... Mamah pasti selamat," ucap Bianka dengan suara lembut.
"Mamah harus selamat, Bian... Aku cuma mau mamah selamat!" isak Andika di pelukan Bianka.
"Iya... kita doa bareng-bareng ya," kata Bianka pura-pura menenangkan, padahal dalam hatinya ia bersorak:
"Semoga saja mereka benar-benar mati, supaya jalanku menguasai harta Viona terbuka lebar."
Setelah cukup tenang, Andika memutuskan segera pulang ke Jakarta. Setibanya di sana, ia langsung terjun mengawasi proses pencarian korban.
Tiga hari tiga malam Andika hampir tak makan dan tidur. Bianka terus menempel, pura-pura setia, padahal diam-diam memastikan bahwa Renata dan Amira benar-benar sudah tiada.
Beberapa kali Robert hampir jadi sasaran amukan Andika karena belum bisa membawa kabar baik.
Tim pencari berhasil menemukan puing-puing pesawat terapung di laut: serpihan logam, koper, bahkan dokumen-dokumen identitas atas nama Renata dan Amira.
Ketua tim pencari melapor dengan wajah berat.
"Kami sudah berusaha maksimal, Tuan. Tampaknya korban tidak ditemukan dalam kondisi hidup. Sebaiknya... Anda siapkan upacara pemakaman simbolis."
Bughh!
Andika tanpa ampun memukul wajah ketua tim itu.
"Bajingan! Cuma laporan begitu yang kamu kasih ke aku?! Cari lagi!! Kalau tidak, kubunuh semua keluargamu!" teriaknya membabi buta.
Bianka buru-buru memeluk Andika dari belakang.
"Sudah, sayang... sabar... sabar... Mamah pasti ingin kamu kuat. Kamu harus sabar..." bujuk Bianka manis.
Robert memberi kode kepada tim pencarian untuk cepat pergi sebelum Andika kembali mengamuk lebih parah.
..
Di Singapura, Viona duduk dengan tenang di ruang tamu hotel mewah bersama Felix, tangan anggunnya membolak-balik secangkir teh.
"Bagaimana? Apakah kamu sudah mendapatkan data soal pesawat yang digunakan Renata?" tanyanya dingin.
Felix mengangguk. "Saya mendapat informasi dari bandara, Nyonya. Yang mendaftarkan penerbangan itu adalah Karel, anak buah Allesandro."
Brak!
Viona menggebrak meja hingga cangkir bergetar.
"Lagi-lagi Allesandro!" desisnya tajam. "Apa sebenarnya yang dia inginkan? Bukankah nyawa Pratama sudah cukup sebagai gantinya karena kehilangan bayinya? Kenapa dia terus mengganggu hidupku?!"
Felix menunduk, tidak berani memotong amarah Viona.
"Terus, apa langkah kita berikutnya?" tanya Felix hati-hati.
"Kita kerahkan semua mata-mata. Awasi pergerakan Allesandro, dan lindungi Andika. Dia satu-satunya penerus darahku yang tersisa," perintah Viona dengan suara bergetar karena emosi.
"Baik, Nyonya," sahut Felix cepat.
Sementara itu, di kantor Wijaya Corporation, Bagus dan Serena tengah tersenyum puas di dalam ruang rapat kosong. Selama andika bersedih dan mencari renata perusahaan dipegang langsung oleh Bagus.
"Hebat, kan, rencana ayahku?" ujar Bagus sambil mengangkat segelas wine.
"Bagus sekali, sayang. Ayah kamu memang jenius," puji Serena, menyandarkan kepala di bahu Bagus.
Bagus tertawa bangga. "Kalau aku gimana?"
"Kamu? Super jenius," jawab Serena sambil mencubit manja.
Namun dalam hatinya, Serena mencibir kejam:
"Kamu lelaki paling bodoh yang pernah aku kenal. Sebentar lagi tinggal melenyapkan kamu, dan harta Viona akan jadi milikku"
Andika masih tampak lesu, matanya kosong menatap ke luar jendela. Ia masih sulit menerima kenyataan buruk yang menimpa ibunya.
"Nyawa manusia tidak ada yang tahu, Dika. Kamu jangan terpuruk terus menerus. Kamu belum makan dari kemarin. Kalau Mamah kamu tahu kamu begini, pasti Mamah kamu sedih," ucap Bianka, menyodorkan sepiring makanan ke hadapannya.
Andika hanya menatap piring itu tanpa minat. Dengan suara parau, ia bergumam, "Rasanya aku mau mati saja, Bian."
Bianka segera memegang tangan Andika erat. "Jangan bilang begitu, Dika. Kamu harus kuat. Sebagai manusia, kita hanya bisa berikhtiar dan berdoa," katanya lembut.
Andika menatap Bianka sejenak, lalu menghela napas panjang. "Terima kasih, Bian. Kamu selalu ada saat aku terpuruk," ucapnya lirih.
Sementara itu, jauh di pedalaman hutan...
"Amira... kamu gila! Aku belum pernah terjun payung! Gimana ceritanya kita bisa selamat, Amira?!" teriak Renata panik.
“jawabanya ada di bab selanjutnya mah” teriak amira
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus