Anthony Chavez, ibunya Barbara, istrinya Dorothy dan kedua anak lelakinya Ethan Chavez dan Fred Chavez, ditemukan polisi sudah tidak bernyawa dengan tubuh lebam kebiruan di dalam kamar. Keempat jenazah itu saling bertumpuk di atas tempat tidur. Di dalam tubuh mereka terdapat kandungan sianida yang cukup mematikan. Dari hasil otopsi menyatakan bahwa mereka telah meninggal dunia lebih dari 12 jam sebelumnya. Sedangkan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez yang masih berusia 8 bulan hilang tidak diketahui keberadaannya. Apakah motif dari pembunuhan satu keluarga ini? Siapakah pelakunya? Dan Bagaimanakah nasib Patricia Chavez, anak bungsu Anthony? Temukan jawabnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bas_E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pengintaian Yang Sia-Sia?
Satu jam tiga puluh lima menit dua puluh sembilan detik berlalu. Yang berarti selama satu setengah jam lebih, kedua perwira kita telah menunggu keluarga Arthur keluar dari ruang biro konsultasi. Selama menanti, mereka duduk di kedai kopi yang ada di gedung itu, sambil menikmati cappucino beserta beberapa menu yang ditawarkan.
Mengambil tempat duduk yang strategis agar bisa sembari mengawasi target mereka, Troy dan Andre tetap waspada memperhatikan sekitarnya sekaligus berhati-hati agar pengintaian dan penyamaran mereka tidak menimbulkan kecurigaan banyak orang.
"Apakah pikiranmu sama dengan yang aku pikirkan, Ndre?" Tanya Troy sembari memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Tentang apa?"
"Target kita." Jawab Troy singkat.
"Oh. Maksudmu, alasan mereka mengunjungi dokter jiwa?"
"Huum."
"Cindy Davis ada hubungannya dengan kematian Betty Frieden."
"Tepat sekali. Kedatangan mereka mengunjungi dokter itu semakin memperkuat asumsi kita."
"Ya kau benar."
"Permisi Tuan. Ini pesanan anda." Pembicaraan mereka terhenti karena kedatangan seorang pramusaji yang datang dengan membawa sepiring burger king di tangannya. Roti lapis bundar ukuran jumbo itu terlihat menggoda dengan patty daging, acar, selada, tomat dan bawang bombai di tengahnya. Dilengkapi dengan mayones, saus tomat dan sambal, serta mustar kuning. Disajikan hangat di atas piring dengan aroma khas burger yang membuat aur liur menetes.
"Terimakasih, Nona." Ucap Andre sembari menarik sudut bibirnya lebar, setelah wanita muda itu meletakkan pesanannya di atas meja.
"Selamat menikmati." Pelayan itu membalas senyuman Andre dan segera berlalu tak lama kemudian.
Mata Troy melotot pada rekan kerjanya itu. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi seraya bersidekap.
"Tenang, Bro. Aku janji ini tidak akan lama." Tanpa merasa bersalah, Andre memegang burger menggunakan kedua tangan tanpa melepaskan kertas pembungkusnya, agar isian burger tidak berceceran saat ditekan. Kemudian ia menekan burger perlahan agar lebih mudah dimakan sekaligus untuk mendapatkan semua rasa di dalamnya.
"Hmmm... " Andre mengunyah perlahan sembari menikmati perpaduan tumpukan daging, roti dan sayuran, serta sausnya yang meleleh di dalam mulutnya. "Ini enak sekali." Gumamnya.
"Kau ini. Kenapa perutmu tidak pernah merasa kenyang, hah ?"
"Kau kan tahu sendiri, pola makanku belakangan ini sedang tidak baik. Selagi ada kesempatan, aku harus memanfaatkannya, Troy." Bela Andre.
"Ya sudah. Terserah kau saja. Makanlah yang banyak. Agar kau tidak kekurangan gizi." Ucap Troy dengan senyum mengejek.
"Ya. Kau benar sekali. Aku harus cukup gizi agar tidak mencoreng nama baik MPD."
"Apa hubungannya dengan MPD?" Troy mengerutkan keningnya keheranan atas ucapnya rekan sejawatnya itu.
"Tentu ada hubungannya. Apa kata dunia, jika Andre Sayegh yang tampan ini kekurangan gizi? MPD akan dianggap menyejahterakan anggotanya." Sembari tersenyum penuh kemenangan.
Mendengar penuturan rekannya, Troy hanya memutar bola matanya, seraya mendengus kesal.
Tanpa memperdulikan Andre yang sedang asik melakukan perbaikan gizi, Troy kembali memfokuskan perhatiannya pada target mereka yang belum juga terlihat keluar dari biro, sembari melirik arloji yang ada di tangan kirinya.
Lima belas menit berlalu, bersamaan dengan gigitan burger terakhir mendarat dengan selamat di dalam lambung Andre, orang-orang yang mereka tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Mereka terlihat berjalan dengan tenang menuju lift.
"Ndre, kau ikuti mereka." Troy kemudian menyerahkan kunci mobilnya pada Andre.
"Siap." Tanpa banyak bicara, Andre mengikuti instruksi rekannya. Ia pun segera berlalu dari tempat itu dan menghilang ke dalam lift.
Sementara itu, Troy menuju kantor dokter Diana Perkins. Ia memasuki kantor yang lobinya dibatasi dengan dinding dan pintu kaca. Begitu telah berada di dalam, ia mendekati sebuah meja yang dihuni oleh seorang wanita muda, Troy pun mengeluarkan lencananya.
"Letnan Troy Oswald, bisakah aku bertemu dengan Dokter Diana Perkins?"
Wanita yang menggunakan tanda pengenal di lehernya itu tampak terkejut dengan kehadiran Troy. Namun ia terlihat berusaha tenang.
"Apakah Letnan sudah membuat janji sebelumnya dengan Dokter Diana?"
"Belum. Tapi kedatanganku ke sini dalam rangka menjalankan tugas."
"Kalau boleh aku tahu, ada keperluan apa Letnan menemui Dokter Diana?"
"Aku ingin meminta keterangannya seputar kasus yang sedang aku tangani."
"Oh begitu. Bisakah Anda menunggu sebentar, Letnan. Aku akan menanyakan apakah Dokter Diana bersedia menemanimu Anda."
"Silahkan, Nona. Aku akan menunggu di sini."
Wanita itupun berlalu. Ia menghilang di balik lorong samping belakang meja resepsionis. Sambil menunggu, Troy mendudukkan bo ko ngnya di kursi tunggu depan meja resepsionis. Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang yang tidak begitu luas, namun terkesan bersih dan nyaman. Ruang tunggu yang didominasi warna putih, dengan panel kayu berwarna coklat lembut yang bertuliskan nama Dokter Diana Perkins dengan ukuran yang cukup besar berada di belakang meja resepsionis.
Lima menit berselang, wanita muda itu kembali.
"Letnan Troy, Dokter Diana bersedia bertemu dengan Anda. Silakan ikuti aku."
"Siap Nona." Troy bangkit dari duduknya. Ia mengikuti wanita itu dengan berjalan di belakangnya. Mereka memasuki lorong yang tidak terlalu lebar itu. Di Kiri dan kanan lorong juga di dominasi warna putih dengan panel kayu berwarna coklat muda. Kesan yang homy dan bersahabat juga terasa hingga ke lorong yang mereka lalui. Di depan sebuah pintu, wanita itu menghentikan langkahnya.
Tok.. Tok.. Tok.. Ceklek...
"Dokter, Letnan Troy Oswald sudah di sini."
"Persilahkan masuk, Nadine." Terdengar suara seorang wanita dari dalam ruangan.
"Baik, Dokter." Wanita yang bernama Nadine itu memundurkan tubuhnya, memberi akses bagi Troy untuk masuk ke ruang konsultasi. "Silahkan masuk, Letnan."
"Terimakasih, Nona Nadine Marlene."
Wanita itu terlihat kaget mendengar Troy memanggil nama lengkapnya. Troy menunjuk ID card yang tergantung di leher, begitu wanita itu menunjukkan ekspresi kebingungan di wajahnya. Nadine cepat menyadari kebodohannya. Tentu saja ID card miliknya cukup menjelaskan siapa namanya tanpa orang lain perlu bertanya.
"Selamat malam, Dokter." Sapa Troy begitu ia masuk ke ruangan konsultasi.
"Selamat malam juga, Letnan." Sambut Dokter Diana ramah. Ia berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Troy.
"Diana Perkins."
"Letnan Troy Oswald." Troy menyambut uluran tangan itu sembari menyebutkan namanya.
"Silakan, Letnan. Anda mau duduk di mana?"
Troy terlihat agak ragu ketika disuruh memilih tempat duduk yang akan ia tempati. Ruangan itu memang tidak terlalu besar. Tetapi cukup membuat orang yang berada di sana merasa nyaman. Ruangan yang didominasi warna putih itu menyediakan sofa panjang dan sofa relaksasi yang besar.
"Ahh. Di sana saja, Dok." Jawab Troy sembari menunjuk sofa panjang yang ada di sudut ruangan.
"Baiklah, Letnan." Mereka pun menuju sofa berwarna krem itu. Troy memilih duduk di ujung sofa. Sementara Diana menduduki kursi miliknya yang ada di dekat sofa panjang.
"Ada yang bisa aku bantu, Letnan?"
"Begini, Dokter. Saat ini aku sedang menangani kasus kematian seorang siswi sekolah dasar. Hari ini aku melihat tersangka pelaku kami datang menemuimu dua jam yang lalu."
"Sebentar. Maaf aku potong. Siapa orang yang Letnan maksudkan ini? "
"Tentu saja Cindy Davis."
"Oh. Aku mengerti. Baik. Silahkan Anda lanjutkan."
"Maksud kedatanganku ke sini adalah meminta kerja sama Anda, untuk membuktikan bahwa Cindy Davis adalah pelaku yang telah menyebabkan kematian mendiang Betty Frieden."
"Kenapa Anda beranggapan bahwa yang melakukan konsultasi adalah Cindy Davis?"
"Ehh.. Apakah aku salah sangka? "
"Tentu saja Anda salah besar, Tuan Detektif yang terhormat. Sebentar aku ingin bertanya. Yang Anda lihat datang menemuiku ada berapa orang? "
"Ada tiga orang."
"Bisa Anda sebutkan siapa saja mereka? "
"Arthur Davis, istri dan juga anaknya, Cindy"
"Nah itu. Yang konsultasi denganku itu mereka. Dan apa yang sedang Anda tangani, tidak ada hubungannya dengan klienku. Keluarga Davis datang untuk melakukan terapi keluarga."
^^^Terapi keluarga adalah jenis konseling psikologis atau psikoterapi yang dapat membantu setiap anggota keluarga agar dapat meningkatkan komunikasi dan menyelesaikan masalah. ^^^
"Kalau memang benar mereka melakukan terapi keluarga, mengapa dua orang putra Davis tidak ikut serta?"
"Kedua putranya yang lain, sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Sehingga tidak bisa ikut melakukan terapi bersama."
" Ada permasalahan apa sehingga mereka melakukan terapi keluarga?"
"Aku minta maaf tidak bisa menjawab pertanyaan Anda. Hal ini menyangkut kode etik yang aku pegang."
"Baiklah kalau begitu." Letnan Troy menepuk pahanya dengan kedua telapak tangannya, seraya berdiri. "Karena tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan, aku permisi dulu."
"Silakan Letnan."
Letnan Troy melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Sesampainya di sana, Troy berhenti sejenak sembari tangan kanannya meraih *handle* pintu. Sebelum ia membukanya, Troy berkata dengan suara pelan dan dalam.
"Menyembunyikan suatu kejahatan itu adalah suatu kesalahan besar. Pernahkah Anda berfikir, apabila hal itu terjadi pada putrimu? Pilihan ada di tangan Anda, apakah akan menghadapinya atau tidak. Ketika Anda tahu orang lain berbohong, tetapi Anda hanya tersenyum dan membiarkannya, kemudian bersembunyi di balik kata kode etik. Apakah layak orang itu dipanggil dengan kata manusia ?"
Letnan Troy pun membuka pintu dan keluar dari ruangan itu, tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
.
.
.