NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13

Sudah hampir satu jam kami berkeliling, tetapi lorong-lorong tua ini tetap sepi. Hanya suara langkah kaki kami yang menggema.

“Apa kutukannya benar-benar ada di sini?” tanyaku pelan, mulai merasa ragu.

Adelia menghela napas kecil. “Aku bisa merasakan energi kutukan yang mengelilingi seluruh gedung ini. Tidak mungkin salah.”

“Apa mungkin dia berpindah-pindah tempat dan kita melewatkannya?” tanyaku lagi, mencoba mencari penjelasan lain.

Adelia menggeleng. “Tidak mungkin. Fenrir itu familiar pelacak. Dia akan bereaksi bahkan pada pergerakan sekecil apapun.”

Ia terdiam sejenak, kemudian menurunkan pandangan ke lantai.

“Kecuali…” gumamnya lirih.

Aku langsung menangkap maksudnya. “Ruang bawah tanah?”

Adelia mengangguk pelan.

Kami segera menyusuri gedung tua itu kembali, mencari akses ke bawah. Butuh hampir lima belas menit sebelum kami menemukan sebuah bagian lantai yang tidak wajar—keramik yang disusun berbeda, menutupi sesuatu. Fenrir mencakar-cakar bagian itu, dan setelah Adelia menghancurkannya dengan sedikit dorongan energi, sebuah tangga tua menganga terbuka.

“Fenrir, duluan,” perintah Adelia.

Serigala itu melompat turun lebih dulu, lalu Adelia menyusul, dan akulah yang terakhir menuruni tangga itu.

Tempat ini… gelap. Sangat gelap. Setiap langkah menuruni anak tangga terasa berat dan menggema panjang, seperti suara kami ditelan kegelapan. Udara pun berbeda—lebih lembab, berbau tanah dan sesuatu yang… busuk.

Setelah lima menit berjalan melewati lorong bawah tanah yang sempit, kami akhirnya tiba di sebuah ruangan besar, penerangannya hanya satu lampu kuning redup yang bergetar seperti hampir mati.

Fenrir tiba-tiba menggeram pelan. Bulu-bulunya berdiri seperti kawat.

Aku menelan ludah.

Di depan kami, berdiri seekor laba-laba raksasa—seukuran mobil keluarga. Kakinya panjang, hitam, dan bersisik, sementara tubuhnya menggelembung seperti penuh cairan. Namun bagian terburuknya adalah wajahnya… wajah manusia yang terdistorsi. Mata melebar, rahang patah, bibir sobek seolah dipaksa tersenyum—benar-benar mimpi buruk yang menjelma.

Dan di bawah tubuhnya…

Laba-laba itu sedang melahap seorang anak kecil.

Darah menetes dari taring-taring panjangnya.

Perutku terasa mual.

Adelia menggeram penuh kemarahan, hawa dingin langsung menyelimuti ruangan.

“Tetaplah di belakangku,” katanya datar — tapi suaranya penuh ancaman.

Fenrir mundur beberapa langkah. Dalam hitungan detik tubuhnya kembali mencair—menjadi cairan hitam pekat lalu terserap ke tubuh Adelia.

Adelia menukik ke posisi rendah, menempelkan telapak tangan kanan ke lantai yang dingin dan lembab.

Cairan hitam merembes keluar dari lantai, mekar seperti tinta yang menyebar di air, lalu menggumpal dengan cepat. Dari gumpalan itu, muncul kepala besar seekor ular—sisiknya hitam legam, matanya menyala merah, dan tubuhnya menjulur sepanjang ruangan hingga sulit kulihat ujungnya.

Adelia berdiri, tatapannya sedingin baja.

“Bunuh dia, Orochi.”

Ular raksasa itu mendesis keras, suara gesekan sisiknya membuat seluruh ruangan bergetar tipis—kemudian melesat maju dengan kecepatan mematikan.

Orochi melesat seperti bayangan hitam panjang, tubuhnya bergesek dengan lantai dan menimbulkan percikan kecil dari sisik-sisik kerasnya. Kutukan laba-laba itu langsung mengangkat tubuhnya, delapan kaki raksasanya mengetuk-ngetuk lantai dengan ritme mengancam.

KRAK!

Salah satu kaki runcing itu meluncur turun, menghantam Orochi dengan kecepatan mengerikan.

Namun Orochi melingkar dan menghindar hanya dalam sepersekian detik. Tubuhnya meliuk seperti panah hitam yang hidup, lalu menghantam kaki kutukan itu dari samping.

BRAAANG!

Kaki laba-laba terpuntir sedikit—tapi belum patah.

Kutukan itu berdecit rendah, suara yang terdengar seperti seseorang memaksa pita suara manusia untuk meniru suara hewan.

Lalu—

FSSSSSH!

Dari rahang manusianya yang terdistorsi, cairan ungu kental menyembur keluar, mengarah tepat ke Orochi.

“Awas!” seruku spontan.

Orochi menabrakkan tubuhnya ke dinding, menghindari semburan itu. Cairan ungu tersebut mengenai lantai di sampingku.

SSSSHHH…

Lantai langsung berasap. Keramik meleleh. Bau busuk dan kimia menusuk hidung.

Itu… bisa melelehkan manusia dalam hitungan detik.

Laba-laba itu tidak berhenti. Ia melompat ke dinding, menancapkan kaki-kakinya, lalu—dengan gerakan cepat yang tidak masuk akal—mengayunkan seluruh tubuhnya untuk menembakkan jaring ungu gelap.

SWUAAAAT!

Jaring menutup setengah ruangan seperti jaring perangkap pemburu.

Namun Orochi bergerak lebih cepat. Tubuh panjangnya memotong udara, menghindari jaring-jaring itu dengan gerakan zig zag yang mustahil dilakukan makhluk biasa.

Tapi satu helai jaring mengenai ujung ekornya.

CRACK!

Sisik Orochi terkelupas sedikit—dan jaring itu langsung mengeras seperti logam, lengket, tidak bisa dilepas.

“Aku benci jenis ini…” gumam Adelia pelan.

Kutukan laba-laba itu memanfaatkan momen itu untuk maju menyerang.

Dua kaki runcing menghunjam dari dua arah berbeda.

DUAAANG!!

Orochi menahan satu dengan membelitnya, namun kaki yang lain mengenai tubuhnya.

THOK!!

Tubuh Orochi terpental keras ke tembok, membuat bebatuan runtuh. Ular itu mendesis marah, matanya menyala makin merah.

“Jangan kalah…” bisik Adelia sambil mengepalkan tangan.

Orochi bangkit, tubuhnya membesar. Sisik-sisiknya menegang seperti baja, lalu ia melesat maju dengan kekuatan penuh.

Kutukan itu merespons dengan memutar tubuhnya ke langit-langit dan menyemburkan cairan ungu lagi.

Orochi menerjang melalui semburan itu.

Sisik-sisiknya berasap, kulitnya terbakar—tapi Orochi tidak berhenti. Ia menerjang langsung ke tubuh sang kutukan.

DUUUAAAARRR!!

Tubuh laba-laba terpental, menghancurkan rak-rak tua di samping ruangan. Debu memenuhi udara.

Bagian tubuh Orochi yang terkena cairan ungu mulai hangus dan mengelupas, namun ia tetap merayap maju sambil mendesis panjang penuh amarah

Kutukan itu meronta, lalu dengan kecepatan kilat, ia menusukkan kaki-kakinya bertubi-tubi.

THAK! THAK! THAK! THAK!

Empat kali tusukan beruntun—semua diarahkan ke kepala Orochi.

Tapi Orochi membuka mulutnya.

KRAAAH!

Dua taring raksasanya menggigit salah satu kaki laba-laba. Sisik Orochi retak, tapi dari mulutnya mengalir racun hitam pekat—menyusup masuk ke kaki itu seperti urat-urat gelap yang menjalar cepat, melumpuhkannya seketika.

Kutukan itu menjerit, suara manusia bercampur serangga—

GHEEEEAAAAAHK!!

Lalu, Orochi mengambil kesempatan itu.

Ia melingkarkan tubuhnya, membelit kaki itu. Kemudian kaki lain. Lalu tubuh laba-laba itu secara keseluruhan.

Laba-laba itu mengamuk.

Menyemburkan racun.

Mengayunkan kaki.

Menembakkan jaring.

Menggigit Orochi di beberapa tempat.

Tapi semakin ia meronta, semakin kencang lilitan Orochi.

Adelia mengangkat tangan, wajahnya sangat dingin. “Habisi.”

Tubuh Orochi mengencang lagi—

CRRRRAAAKKK!!

Tiga kaki laba-laba patah.

Lalu empat.

Lalu seluruh tubuhnya remuk perlahan.

Kutukan itu menggeram lirih, seperti suara anak kecil yang ketakutan bercampur dengan suara serangga. Laba-laba berwajah manusia itu berusaha menggigit, tapi Orochi sudah naik ke bagian kepalanya.

Orochi melilit kepala kutukan itu—

Lalu menghancurkannya.

PRRAAAASSSSH!!

Kepala kutukan itu pecah seperti buah busuk yang diinjak. Darah ungu menyembur, bercampur serpihan tulang dan daging manusia yang bertebaran di lantai batu.

Tubuh laba-laba raksasa itu terhuyung, lalu jatuh terkulai sepenuhnya—tanpa suara, tanpa sisa perlawanan.

Mati.

Orochi mendesis panjang, nada kemenangannya menggema di ruangan gelap itu. Tubuh ular raksasa itu turun rendah, sedikit menunduk—seolah menunggu perintah berikutnya.

Adelia melangkah perlahan mendekatinya. Dari jarak dekat, sisik hitam Orochi berkilau redup di bawah cahaya lampu yang bergetar. Dengan gerakan lembut, ia mengusap kepala makhluk raksasa itu.

“Kerja bagus,” bisiknya pelan.

Seolah merespons sentuhan itu, tubuh Orochi mulai bergetar halus. Seluruh tubuh raksasanya kemudian melunak—retakan cahaya hitam muncul di sepanjang sisiknya, sebelum perlahan meleleh menjadi cairan gelap pekat.

Cairan itu terangkat seperti asap berat, mengalir naik dan terserap masuk ke tubuh Adelia, menyatu tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Adelia berdiri tegak kembali, menarik napas panjang. Tatapannya beralih ke bangkai kutukan yang masih mengepulkan bau busuk.

“Kurasa…” ia menghembuskan napas pelan,

“…kita akhirnya menemukan apa yang kita cari.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!