NovelToon NovelToon
Always Gonna Be You

Always Gonna Be You

Status: tamat
Genre:Romantis / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

Season 2


Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.

Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.

Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Boys Will Be Boys

"Welcome home....," ujar Rendra riang sambil membuka pintu apartemen lebar-lebar. "Kamu suka?"

Sekilas ia memperhatikan ruang apartemen yang didominasi oleh cat warna putih bersih itu. Terkesan lebih luas, lebih lapang, dan lebih modern dibanding apartemen yang pernah ia datangi dulu.

"Abang nggak bilang mau pindah tower."

Ia bahkan tak mampu menyembunyikan nada kesal dalam suaranya. Meski Rendra mengatakan jika apartemen dan mobil (untuknya) adalah hadiah spesial dari Papa untuk pernikahan mereka, namun keputusan Rendra untuk pindah tower tanpa berdiskusi dengannya terlebih dulu jelas mengusik harga dirinya.

"Oh, come on," Rendra mengecup keningnya sekilas, kemudian melepas rengkuhan untuk menarik koper-koper mereka masuk ke dalam apartemen.

"Waktu itu kamu lagi sibuk ngurus acara di rumah," jelas Rendra tenang. "Lagian no big deal lah," Rendra menutup pintu apartemen begitu dirinya masuk. "Lebih nyaman disini. Tipe paling besar."

Ya, tentu, unit apartemen ini bahkan berada di tower utama lantai paling atas, lengkap dengan akses dan lift privat.

"Daripada di tempatku yang lama, kecil, cuma tipe studio," lanjut Rendra sambil mengangsurkan sebotol air mineral yang diambil dari dalam kulkas kearahnya. "Minum dulu biar ilang ngambeknya," kerling Rendra sambil mengedipkan sebelah mata.

Ia mencibir, namun tangannya terulur untuk menerima botol dari tangan Rendra. Lalu memilih untuk duduk di atas sofa, kemudian meminum air mineral tersebut. Sebelum ia sempat mengungkapkan kekesalannya, Rendra yang telah duduk tepat segaris di depannya lebih dulu berkata,

"Nggak suka pindah kesini?"

Yeah, Mr. Straight to the point in action.

"Bukan begitu..."

"Terus, itu kenapa wajahnya begitu," Rendra mengangkat dagu memberi kode kearah wajahnya.

Ia harus menelan ludah terlebih dulu. Percakapan langsung dan to the point seperti ini benar-benar bukan dirinya, jelas hal yang baru untuknya.

"Kita baru nyampai, Bang. Masih cape," ia bahkan masih merasakan jetlag dan memiliki disorientasi waktu yang membuat tubuh terasa sangat lelah. Namun tanpa diduga, Rendra justru berdiri, kemudian melompati meja untuk duduk di sebelahnya.

"Aku juga cape," Rendra langsung meraihnya ke dalam rengkuhan. "Jadi tolong dong wajah kamu disetel ke mode yang lebih enak."

"Maksudnya?" ia mengernyit.

"Aduh, Anggi sayang....tolonglah jangan pasang wajah bete begitu," suara Rendra jelas terdengar mengeluh.

"Aku paling nggak suka lihat wajah kamu yang begini," lanjut Rendra dengan suara sedikit meninggi.

"Dan aku paling nggak suka kalau kamu memutuskan sesuatu tanpa diskusi lebih dulu," sambungnya cepat tak mau kehilangan momen.

"Nah!" Rendra tersenyum. "Begini baru benar. Say something. Bilang kalau kamu nggak suka atau keberatan. Jangan dipendam di hati."

Ia memutar bola mata.

"You can do it?"

"Aku harap ini yang terakhir kamu do something about us tanpa diskusi," ia mendongak keatas berusaha menatap mata Rendra.

"Bukan begitu cara mainnya," bisik Rendra. "Ada poin-poin yang harus kuputuskan sendiri tanpa diskusi."

Ia mengkerut.

"Terutama yang menyangkut kebaikan buat kamu," Rendra menatapnya sungguh-sungguh. "Kebaikan versiku. No debat. No ngambek. No wajah bete."

Ia pun memberanikan diri menatap manik cokelat milik Rendra, "Terus aku dianggap apa? Emang kamu tahu kebaikan versi kamu itu bisa bikin aku bahagia?"

Rendra berucap yakin, "Absolutely yes."

"Pede banget," cibirnya kesal.

Rendra terkekeh. "Untuk kebaikan kamu, kenyamanan kamu, keselamatan kamu.....," Rendra memandangnya. "Privilegeku sebagai suami. No diskusi, no debat."

"Diluar itu, kita bisa diskusi," lanjut Rendra sambil meniup wajahnya pelan. "Deal?"

Ia masih saja menatap manik cokelat Rendra yang selalu bergerak aktif tiap kali pemiliknya bicara. "Tapi nggak mendadak."

Rendra mengernyit.

"Untuk hal besar kayak sekarang ini," ia memberanikan diri terus menatap manik cokelat yang kini mengerjap indah itu, "For me....pindah tempat tinggal is a big thing."

"Tolong kasih tahu aku jauh-jauh hari, nggak mendadak kayak sekarang. Ujug-ujug kamu ngajak aku kesini tanpa tahu apa-apa."

"Aku merasa.....nggak dihargai sebagai istri...."

Rendra tertawa kecil.

"Aku tahu nggak ada satupun orang yang bisa ngelarang kamu melakukan sesuatu," lanjutnya sambil mencibir. "Termasuk aku?"

Rendra masih tersenyum lebar sambil mengangguk, "You know me so well...."

"Tapi tolong....minimal kasih tahu aku sebelumnya. Komunikasikan jauh-jauh hari...."

Rendra terkekeh.

"Karena aku nggak suka kejutan. Nggak suka yang mendadak mendadak."

"Demi kita berdua." Rendra tersenyum. "Karena kita nggak tahu kapan semua ini berakhir...."

"Kok Abang ngomongnya gitu sih," ia mengkerut tak setuju.

"Ngomong gitu gimana?"

"Nggak enak didengar," keluhnya. "Abang bisa nggak kalau ngomong yang enak-enak aja, kata-ka....."

Kalimatnya terpotong di udara karena Rendra keburu bersuara, "Kata-kata adalah doa, gitu kan...," Rendra terkekeh.

Namun ia hanya menghela napas.

"Tapi kamu juga tahu kan....nothing lasts forever....tak ada yang abadi...."

Ia mencoba tak menghiraukan ocehan Rendra.

"Nanti kalau anak pertama kita lahir, pasti kita harus pindah dari sini. Tinggal di rumah. Ada pengasuh. Ada orang lain. Kita nggak bisa bebas kayak sekarang.....," suara Rendra terputus, mungkin karena merasakan kepalanya telah terkulai lemah.

"Yah, udah tidur sayangku?"

Terdengar suara Rendra terkekeh, diikuti sentuhan hangat di puncak kepalanya. "Sweet dreams sweetie...."

Ia yang sebenarnya belum sepenuhnya terlelap tersenyum bahagia, lalu melantunkan doa dengan penuh kesungguhan, "Semoga kebahagiaan ini untuk selamanya....."

Dan seminggu kemudian Rendra pun mulai mempraktekkan komunikasi tanpa ujug-ujug sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Weekend ini, kita jalan ke Bandung yuk."

"Bandung? Ngapain?"

"Anak-anak paralayang mau pada jalan ke Bandung."

Ia pun mengernyit penuh selidik. "Anak-anak paralayang?"

Membuat Rendra terkekeh karena usaha manipulasinya jelas tak meyakinkan. "Nggak ding. Cuma bertiga doang sama Mas Sada sama Darrel. Sekalian diundang Mas Sada ke rumahnya yang di Bandung."

"Ngajak hiking di Lembang sama tea walk ke kebun teh," lanjut Rendra.

"Sekalian kita refreshing ya, kemarin kan kita habis ikut rangkaian tes," Rendra memasang wajah memohon. Dua minggu kemarin mereka memang baru saja menyelesaikan rangkaian tes potensi akademik, proficiency english test, tes substansi, hingga interview, untuk masuk paska.

Namun ia masih mengernyit. Weekend ini adalah akhir bulan. Ia pasti akan lembur dan pulang larut malam. Belum kalau harus piket ke kantor cabang. Meski sebenarnya bisa tukar jadwal sih, tapi.....

"Kalau kamu mau...nanti kita atur waktunya....yang penting nggak ganggu kerjaan kamu. Begitu?" Rendra seolah bisa menebak isi hatinya.

"Sekalian kita nengok Adit. Sejak pulang dari Balikpapan, kita belum pernah ketemu keluarga kamu lagi kan?"

Hmm, pancingan Rendra memakai iming-iming bertemu Adit jelas berhasil mempengaruhinya. Hampir tiga bulan ia tak bertemu bocah ngeselin itu. Apa kabar Adit sekarang ya, apa sudah berubah menjadi mahasiswa ambis seperti layaknya anak Ganapati pada umumnya?

Akhirnya di hari Sabtu pagi, dengan penerbangan pertama, mereka bertolak ke Bandung. Meski ia sempat protes, "Kenapa nggak naik kereta aja?" Karena menurutnya terlalu membuang-buang uang jika memakai pesawat.

"Anggi sayang," Rendra menghela napas. "Tiket pesawat sama kereta nggak beda jauh."

"Tapi tetep aja beda kan?" ia menunjuk selisih harga tiket pesawat dan kereta.

"Dan waktu tempuhnya juga beda jauh," keluh Rendra. "Bisa nggak sih kamu nggak cerewet untuk hal teknis begini?"

Ia hanya mencibir. Karena baginya, selisih puluhan ribu itu bisa dialokasikan untuk hal lain. Sementara bagi Rendra, selisih sejumlah itu hanya recehan. Hmm, baiklah kalau begitu.

Dan tepat pukul 08.50 WIB, pesawat yang mereka tumpangi sudah mendarat di bandara Husain Sastranegara. Yang langsung disambut dengan wajah sumringah Adit di deretan para penjemput.

"Mba Anggiiiii!" Adit berlari kearahnya dan langsung memeluknya tinggi-tinggi.

"Ish! Adit!" ia harus beberapa kali memukul lengan Adit agar menurunkannya.

"Kangen sama Mba," Adit masih memeluknya erat. Ia pun balas memeluk Adit, "Mba juga kangen...."

"Apakabar Dit?" Rendra beberapa kali menepuk bahu Adit. Kemudian mereka pun berpelukan.

"Baik, Bang," Adit tertawa. "Tambah berisi aja nih Bang," seloroh Adit.

"Iya dong," Rendra terkekeh. "Kan udah ada yang ngurus," sambil merengkuhnya lembut.

"Beneran diurus Bang?" seloroh Adit. "Mba Anggi kan cuma bisa masak mie goreng doang," lanjut Adit sambil tergelak. "Masa dikasih makan mie tiap hari bisa sehat gini sih Bang?!"

"Wah, pelecehan nih," ia mendengus kesal. "Belum tahu dia! Kasih tahu Bang!"

"Sehat kan bukan karena makanan doang Dit," Rendra merangkul Adit dengan gaya sok akrab. "Bisa juga karena nutrisinya cocok...."

Kemudian Rendra dan Adit terbahak bersama, membuatnya semakin mengkerut kesal. Satu orang mesum, satu anak ngeselin, kalau ngumpul ya begini ini, omes -otak mesum-.

Dari bandara, Adit mengantar mereka ke hotel yang telah dipesankan oleh Mas Sada di daerah Setiabudi. Dan kini mereka sedang menikmati kemacetan di kawasan Pasir Kaliki.

"Pagi-pagi udah macet, Dit?" ia memperhatikan deretan panjang mobil yang mengular tanpa ujung.

Adit tertawa, "Beginilah Bandung kalau weekend Mba. "Ini belum apa-apa," Adit masih tertawa. "Nanti kalau udah lewat Sukajadi, wah....harap bersabar, ini ujian....," Adit tergelak. Sementara ia hanya mencibir.

"Langganan macet ya Dit?"

"Iya Bang, kebanyakan mau ke Lembang. Jadi padat disini."

"Wah, padahal awalnya Mas Sada mau pesenin kita hotel di Lembang," Rendra mengerling ke arahnya. "Cuma udah full booked. Dapatnya di Mercure."

"Wah, kalau ke Lembangnya sih bisa dua jam an Bang."

"Waduh," ia mengernyit. "Kayak Jogja - Solo dong."

Adit tertawa, "Iya, bener....bener.....Padahal Jogja - Solo jaraknya 5 kali lipat."

"Kamu gimana dong....ini mobil dirental sampai kapan?" ia semakin mengernyit.

"Tenaaang," Adit berseloroh bangga. "Bebas sampai kapan juga."

"Kok bisa?!" ia jelas tak mengerti.

"Bisa lah. Ini kan mobil kantor."

"Kantor? Kantor siapa?!"

"Kantor Lumina lah. Aku kan sekarang udah kerja part time di Lumina Mba. Jelek-jelek gini aku udah berpenghasilan loh."

"Lumina?"

"Start up rintisannya Mas Dio sama teman-te....," Adit mendadak menghentikan kalimatnya. Menyadari jika terlalu banyak bicara. Dengan wajah tak enak Adit meliriknya dari rear vission mirror. Sementara ia hanya memberi tatapan kesal ke arah Adit.

Selang beberapa saat mobil mendadak sunyi tanpa ada yang bersuara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia, yang dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan lebih memilih Rendra daripada Dio. Bahkan kini sudah sepenuhnya menjadi milik Rendra. Namun, membahas apapun yang berhubungan dengan Dio diantara mereka, seolah menjadi hal tabu yang seharusnya tak boleh dilakukan.

"Kostan kamu dimana, Dit?" suara Rendra yang memecah keheningan membuatnya terlonjak kaget.

"Cisitu Bang."

"Dari sini ke kostan kamu sama dari sini ke hotel, jauhan mana?"

Adit melihat jauh ke depan, "Jauhan ke hotel Bang."

"Oke, kalau gitu kita ke kost kamu dulu."

"Abang?" ia mengernyit heran. "Bukannya Abang janjian sama Darrel jam...."

"It's okay," Rendra berkata cepat.

"Kita rencana ke kost Adit kan nanti sore?!" kini ia mengkerut, tak suka jadwal yang telah mereka rencanakan tiba-tiba berubah.

"Ini macet seharian kan Dit?" Rendra memperhatikan kondisi lalu lintas yang padat merayap.

"Iya Bang, all day long," Adit tertawa.

"Mumpung kita masih di bawah, biar efektif, ke kost Adit sekarang," suara Rendra mendadak berubah kaku, seperti saat mereka bertengkar untuk pertama kalinya di salah satu ruang DTSL, dua tahun silam.

"Adit, nanti kamu balikin mobil ke kantor."

"E....," Adit memasang wajah bingung.

"Aku nggak mau kita jalan pakai mobil kantor," ujar Rendra dingin.

Lagi-lagi Adit melirik ke arahnya dari rear vission mirror dengan wajah tak enak.

"Nanti aku hubungi hotel buat nyiapin mobil," lanjut Rendra lagi, tak kalah dingin.

"Jadi kita ke kostanku nih Bang?" Adit bertanya karena harus memilih jalan antara ke Cisitu atau ke Setiabudi.

"Iya, ke kost kamu."

Selama Rendra bicara ia hanya diam. Tak mengerti harus menanggapi apa atau bersikap bagaimana. Untungnya lalu lintas menuju Cisitu tak sepadat yang ke arah Setiabudi. Kurang lebih 15 menit kemudian mereka telah sampai di halaman kost Adit.

"Kost kamu sepi Dit?" ia masuk ke dalam ruang tamu yang cukup luas tanpa ada seorangpun yang terlihat.

"Banyak yang nggak pulang Mba, tidur di kampus. Atau kalau nggak ada kuliah pagi," jawab Adit sambil membantunya membawakan travel bag. Sementara Rendra masih berdiri di teras sedang menelepon seseorang.

"Halo, Grand Mercure? Saya sudah reserve atas nama......."

Dengan isyarat tangan ia memberi kode ke arah Rendra untuk masuk ke kost Adit lebih dulu. Rendra pun tersenyum sambil mengangguk.

Kost Adit terlihat seperti rumah tua jaman dulu yang besar setinggi dua lantai, dengan dua pohon mangga berbuah lebat yang tumbuh di samping kanan dan kiri halaman. Namun telah direnovasi sedemikian rupa hingga terlihat lebih modern dan nyaman.

"Ini kamarku Mba," Adit membuka pintu ketiga dari sekitar sepuluh pintu di lantai dasar ini.

Ia pun menurut masuk ke dalam kamar berukuran 6 x 5 m yang dicat bersih dan terlihat cukup rapi penataan ruangnya. Ada tempat tidur tanpa kaki, lemari pakaian, meja belajar, namun yang paling menarik perhatiannya adalah rak buku besar setinggi langit-langit berisi puluhan bahkan ratusan buku yang kebanyakan bertema IT.

"Ya ampuuun," ia menggelengkan kepala heran. "Kamu baru kuliah tiga bulan udah bisa beli buku sebanyak ini Dit?!" ia jelas tak percaya. Sekilas ia melihat sebagian besar buku merupakan literatur berbahasa Inggris yang pasti harganya tak murah.

Namun Adit hanya tertawa, "Enggaklah Mba, buku-buku ini semua punya yang dulu kost disini."

"Oya?" ia menggelengkan kepala. "Siapa? Kamu udah kenal duluan? Anak Smansa?" di kepalanya melintas deretan anak SMANSA yang kuliah di Ganapati. Siapa kira-kira yang berbaik hati meninggalkan buku sebanyak ini untuk Adit.

"Mas Dio....," jawab Adit lirih hampir tak terdengar. Bersamaan dengan masuknya Rendra ke dalam kamar.

"Adit? Oh bener ini kamarnya ya?" ujar Rendra dengan wajah basah seperti habis cuci muka.

"Sori, barusan ke belakang dulu nyari kamar mandi," lanjut Rendra.

"Ketemu Bang?" Adit bertanya.

"Ini, udah cuci muka," Rendra menunjuk wajahnya yang basah. Ia pun mengangsurkan handuk kecil yang baru diambil dari dalam travel bag ke arah Rendra.

"Jadi...Mba sama Abang istirahat dulu," ujar Adit. "Belum pada sarapan kan? Disini ada nasi kuning uenak. Tunggu bentar ya," Adit mengambil jaket yang digantung di belakang pintu.

"Wah, nggak usah repot-repot Dit," tolaknya halus. Terus terang ia tak lapar. Apalagi setelah tahu ini adalah bekas kamar Dio....

Namun Rendra punya pendapat lain, "Eh, Dit, sekalian....kalau kamu nggak pakai mobil lagi, mending balikin aja deh."

"Nanti Abang gimana?"

"Barusan udah minta pihak hotel buat nganterin mobil kesini."

"Bisa gitu?" ia mengernyit heran.

"Bisa lah. Yang penting bisa bayar," jawab Rendra dengan nada yang aneh terdengar di telinganya.

"Kecuali kalau kamu perlu," lanjut Rendra.

"Iya Bang," Adit mengangguk mengerti.

"Nanti aku sama Anggi ke hotel pakai mobil yang lagi diantar kesini."

Adit mengangguk dengan ekspresi tak ingin bertanya lagi. Tapi ketika Adit hendak keluar, Rendra kembali mengajak bicara, namun kali ini ia tak sempat mendengar apa yang Rendra ucapkan, karena ia tengah terpesona dengan sebuah frame foto minimalis dua sisi yang sedikit berdebu, yang tersimpan di atas rak meja belajar.

Satu sisi berisi foto yang sangat dikenalnya, yaitu fotonya berdua dengan bunda Dio sesaat setelah mereka membatik bersama di Mirota Batik. Sementara sisi lain berisi foto.....mereka berdua sesaat setelah kelulusan SMU, sedang tersenyum lebar kearah kamera, lengkap dengan medali di leher, dan selempang beludru hitam tersampir di bahu Dio yang bertuliskan lulusan terbaik. Dadanya mendadak bergemuruh, Dio masih menyimpan foto kelulusan yang bahkan ia sendiri tak ingat mereka pernah berfoto berdua seperti ini.

"Sayang?" suara panggilan membuatnya terperanjat. "Kenapa melamun?"

Ia lantas melempar frame foto sekenanya ke atas meja belajar.

***

Rendra

Ia tak tahu perasaan apa yang sedang menguasai dirinya. Namun, mendengar kendaraan yang mereka naiki secara tak langsung berasal dari Dio, membuat darahnya menggelegak dan langsung naik ke atas kepala. Entahlah.

Ditambah saat ia sedang menyeka wajah dengan handuk kecil pemberian Anggi, matanya menangkap objek tak menyenangkan di atas rak meja belajar.

Apa-apaan?!

Jadi selama ini si kacamata itu masih menyimpan foto Anggi?! Berani-beraninya.

Membuat darah yang sudah mendidih menjadi semakin panas menggelegak. Dengan tanpa berpikir ia berpesan kepada Adit, "Dit, tolong ke supermarket sekalian."

"Iya Bang?"

"Tolong belikan.....," ia kemudian mulai menyebut barang-barang yang sebenarnya tak mereka butuhkan. "Kalau nggak ada barangnya, cari sampai dapat." Dengan kata lain, ia tak ingin Adit cepat kembali ke kostan. Karena ia ingin menuntaskan sesuatu yang membuat hatinya mendadak kesal.

Kepalanya sudah hampir meledak. Dimana tempat favorit si kacamata? Lihat, aku yang menang! Aku yang berhasil! Aku yang memiliki Anggi!

I win.

1
Esti Nengsich
ya ampun...
Mereka ngapain siii...
Afidatul Rifa
Owalahhh jadi pas Cakra masuk ganapati saat Regis ketemu Maba yg namanya Adit itu adeknya MBK Anggi Tah?? 😁 aduhhh baru ngeh pdahal baca novel ini sama si Cakra itu dah berkali" aduhh si othor memang the best bikin alur cerita dari ke 4 karya ini nyambung semua
Ardiansyah Gg
yg gk enak pas bagi raport bang... di panggil menurut absen... auto pulang terakhir kita 😆
"ariani's eomoni"
baca lagi,...gegara nonton jendela seribu sungai

gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
Erna P
kalo aq dah pingsang Nggi g sanggup.sejam perjalanan aja udah tepar.mabokan orangnya makanya g pernah kemana2 hu hu😭padahal pengen kek orang2.kalopun bisa jauh itu aq harus pake roda 2 baru kuat 3 4 jam jg ku jabanin
Erna P
sekarang justru momen2 sama si abang yg di inget ya bukan Dio 😁
Erna P
aq malah jd keinget momen mabanya Anggi sama si abang🤭kalo ada lagu kebyar2 gini
Erna P
abang Renen aq reread entah yg keberapa kali ini y ampun gamon bgt aq.aq salah satu mantanmu jg kah habisnya susah mupon😝😝
Naimatul Jannati
2025 aku balik lg baca,.nunggu kak thir bikin cerita bang riyadh sm inne ini😍😍
Anna Maria Hendraswari
Luar biasa
Hijri Rifai
sering bgt ku lihat nama KK author ini kl pas buka aplikasi ini... tp blm ada cerita baru... cuma judul ini yg blm di bukukan semua sudah di bukukan.... tp mmg semua ceritanya bagus bgt. apa mungkin KK author sedang melakukan riset dll utk judul baru...😂😂😂 sejujurnya ngarep bgt...
Hijri Rifai: kak nama penulisnya sama jg kl di kbm ... aku udah cari tapi blm ketemu.. aku sampai download kbm lho demi mau baca..
total 5 replies
mainrahasia
kota ini aman damai... ya Alloh... andai benar Jogja aman damai tak ada isu sara yg menjadi pemicu beberapa pertikaian... 😩😩😩
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
Haryo Tawang
Luar biasa
Haryo Tawang
Kecewa
St4891
udah baca gak tau udah yg k berapa kalinya, gak pernah bosen bacanya walaupun karya yg skrang udah banyak revisinya
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu
Esther Lestari
circle pertemanan yg gk kaleng2 nih....
Lala Trisulawati
Keren bngt.....♥️♥️♥️♥️♥️👍
Reni Novitasary
ga prnah bosan..baca lagi..lagi...dan lagi
Reni Novitasary
ngambil master sm dio d jepang/Smile/
Fitri Fitri
kepingin kayak cerita ini ☺☺☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!