Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Bertemu mama mertua
Anton memijat pelipisnya yang mendadak pusing, sementara Almira sibuk menyantap mie instan selagi nunggu abang-abangan go jek datang mengantar makanan.
Hana masih menatap sinis adiknya, hingga ketukan pintu terdengar meski pintu depan sana dalam keadaan terbuka. Almira beranjak, akan tetapi tertahan oleh Hana yang menyuruhnya duduk.
"Kamu disini cuma tamu," hardiknya lalu meninggalkan sofa ruang tamu begitu saja.
Bambang sudah duduk di depan mengingat di dalam sana keadaan masih aman. Hana keluar dan mendapati pengantar makanan sontak mengernyit.
"Udah dibayar belum?" tanyanya sinis.
"Sudah Mbak, kalau begitu saya permisi."
Hana masuk tanpa melirik ke arah Bambang yang memperhatikan dengan seksama, ia tahu saudara Almira itu memiliki watak yang kurang menyenangkan mengingat mereka pernah bertemu di kediaman Alfindra sebelumnya.
Melirik ke beberapa makanan membuat Hana menelan saliva susah, makanan resto bintang lima, kehidupan Almira benar-benar berubah dan Hana menyesali keputusannya kabur bersama Wildan.
"Ck!" decaknya pelan, lalu meletak kasar beberapa makanan itu di atas meja ruang tamu.
"Bisa nggak sih kak pelan-pelan, toh itu makanan buat kak Hana sama papa."
"Kakak kamu itu, Mir!" keluh Anton.
"Papa sekarang belain Almira karena dia punya duit kan. Jadi istri Alfindra aku yakin banget tuh uangnya banyak," gerutu Hana.
"Nggak juga, emang kakak nggak tau kalau Mas Alfindra punya wanita lain," gumam Almira pelan. Dalam hati merutuki bibirnya yang menggunakan sang suami sebagai senjata agar kakaknya itu sadar kalau dalam hidup nggak ada yang namanya langsung enak. Mau enak-enak aja mesti nahan dulu!
"Serius kamu, Almira?" tanya Anton.
Almira mengangguk, sementara Hana tersenyum mengejek, "kasian mana masih muda, baru beberapa minggu Mir! Udah ditinggal selingkuh ckckck!"
"Makanya, kakak mendingan nikah aja sama Bang Wildan, dia baik kok."
"Dan dia juga harus tanggung jawab ke kamu Hana gimana kalau kamu hamil?" tekan Anton.
"Aku masih pengen seneng-seneng, lagian gak seru ahh kalau nikah sama Wildan. Kan aku penasaran sama suami Almira, sekaya apa dia."
"Hana!"
"Kak!"
Almira dan Anton sontak menatap Hana tak percaya dengan perkataan enteng yang keluar dari bibir gadis itu.
"Apaan ih, orang bercanda doang! Bagi duit Mir, kamu kan udah kaya sekarang." Hana mengasongkan tangannya di depan Almira membuat Anton semakin gedek.
"Hana, kamu tuh sudah besar. Seorang kakak, adikmu sudah menikah Hana. Lagian kalau dia harus mengeluarkan sejumlah uang, itu buat papa bukan buat kamu. Iya kan Mir?" Anton melirik Almira, ia harus bisa merayu putri bungsunya untuk memberi uang.
"Aku nggak punya uang banyak, tapi ini..." Almira membuka dompet dan memberi beberapa lembar uang cashnya pada Anton akan tetapi langsung disambar oleh Hana.
"Ini buat kakak, buat papa transfer aja. Masih punya kan?" serunya menaikkan alis kemudian berlari ke arah tangga menuju kamarnya.
"Pa, kalau begitu aku transfer sedikit ya?" Almira menatap Anton tak enak.
"Lain kali aja, Mir. Kakak kamu emang gitu, papa masih ada sedikit uang." Entah kenapa akhir-akhir ini, Anton rasa sikapnya pada Almira sangat keterlaluan, ia bahkan sampai bermimpi Almarhum istri memarahinya karena pilih kasih menjadi seorang ayah.
"Kalau gitu, papa makan dulu gih. Dari tadi ngobrol terus, debat terus. Oh ya, Almira pulang dulu! Bambang nunggu di depan," pamitnya diangguki Anton.
Pria paruh baya itu mengantar putrinya sampai depan.
Bambang membungkuk sopan sebagai sapaan sebelum membawa Almira pergi.
"Kita langsung pulang, Nona?" tanya Bambang.
Almira melihat jam di pergelangan tangannya, "ke kantor Mas Alfindra, bisa?"
Bambang mengangguk, ia segera menekan gass mobil menuju kantor Kingdom grup berada.
Butuh waktu cukup lama untuk Almira sampai disana mengingat jam makan siang Jakarta sedang panas dan macet-macetnya. Hingga akhirnya ia dan Bambang tiba di gedung megah menjulang tinggi milik Alfindra. Almira menatap penuh kagum bangunan itu sebelum akhirnya suara Bambang membuyar lamunannya ketika membuka pintu mobil dan mempersilahkannya masuk.
"Silahkan, Nona!" ucap Bambang diangguki oleh Almira. Bambang sempat menuju resepsionis lobi selagi Almira menunggu, kemudian mereka menuju lantai atas dimana ruangan Alfindra berada.
Dua kali kisini membuat Almira cukup hapal dimana letak ruangan Alfindra berada, Bambang pamit ke bawah setelah mengantar Almira ke atas. Namun, ada yang membuat wanita itu menghentikan langkah di depan pintu.
"Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu dan Salma pulang. Kita bahas pertunangan kalian segera." kekeh Mama Alfindra. Perempuan paruh baya yang masih cantik itu tak tahu kalau anak bungsunya sudah menikahi anak gadis orang bahkan sudah on the way membuatkan cucu untuknya.
"Mama nggak bisa dong ngatur-ngatur aku!" suara Alfindra meninggi.
"Salma itu datang ke rumah nangis, kamu gak bisa kayak gitu. Ngertiin dong, Fin! Kalau dia itu Dokter hebat!" Silvia masih mengomel, ia sungguh kesusahan membujuk putra bungsunya yang tak bisa diatur.
"Cukup, Ma! Aku sama Salma itu sudah selesai. Mama harus tahu satu hal, kalau aku sangat tidak tertarik dengan wanita ambisius. Aku mau wanita yang bisa mengurusku, menyambutku saat pulang bekerja dan memanjakanku! Apa mama pikir aku bisa mendapatkan itu dari Salma? Bisa? Salma sudah menolak menikah denganku, itu artinya kami selesai." wajah Alfindra sudah memerah menahan amarah. Kalau bukan Silvia adalah wanita yang telah melahirkannya, mungkin Alfindra juga sudah meluapkan kekesalannya saat ini juga.
"Nona, kenapa hanya di depan pintu?" tanya Madel membuat suasana dalam sana yang tadinya tegang berubah fokus.
Silvia duduk mengangkat kakinya sebelah dan bersandar di sofa, sedari tadi marah-marah malah tak membuahkan hasil apapun.
Alfindra bangkit dan membuka kunci pintu dari dalam.
Ceklek,
Almira diam dengan tatapan entah, sementara Alfindra langsung menarik istrinya dalam pelukan.
Melihat interaksi itu, Silvia geram. Ia tahu wanita yang datang bukanlah Salma. Maka yang Silvia lakukan adalah menarik tubuh Alfindra hingga pelukannya terlepas.
"Siapa lagi ini, Fin? Jangan bilang..." Silvia menggantung kalimatnya melirik penampilan Almira.
"Astaga!" gumamnya memijat pelipis lalu mundur ke sofa dan duduk lemas.
"Kenalin Ma, dia ini Almira! Kekasihku," aku Alfindra semakin membuat Silvia darah tinggi.
Almira diam beberapa saat, ia menatap dalam Alfindra seolah meminta penjelasan. Akan tetapi melihat sorot mata bak elang itu meredup membuat Almira iya iya saja ikut bersandiwara.
"Siang Tante," sapa Almira menyunggingkan senyumnya. Namun, bukan sapaan balik yang Almira terima. Silvia malah menatapnya tajam seolah sedang menguliti penampilan dan statusnya. Sontak Almira menuduk, dan hal itu tak luput dari penglihatan Alfindra, mamanya memang begitu selalu menjadikan status sosial sebagai tolak ukur mencari menantu.