NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 Jemputan yang Tidak Terduga

Pintu ruang meeting Arjuno Grand Hotel menutup perlahan, meninggalkan ruangan hangat itu bersama Bhumi dan Marvin yang masih duduk dalam keheningan. Begitu pintu benar-benar menutup, suara klik kecilnya terdengar seperti garis pemisah antara dunia profesional dan emosi yang tak bisa mereka ucapkan di dalam.

Bulan dan Liora berjalan keluar ke lorong hotel yang sepi. Karpet tebal berwarna abu gelap meredam langkah mereka, sementara pencahayaan warm dari lampu-lampu dinding memberikan kesan tenang—kontras sekali dengan ketegangan yang baru saja terjadi beberapa menit lalu.

Begitu sampai di area lift, Liora akhirnya melepas napas panjang yang ia tahan sepanjang meeting. Nafas itu keluar seperti udara dari balon yang ditekan—panjang, terlempar, penuh rasa lega dan capek sekaligus.

“Ya ampun…” Liora bersandar ke dinding lift, tangannya menepuk dadanya. “Gue kira, gue yang bakal pingsan barusan.”

Bulan tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak benar-benar sampai ke mata. “Lebay banget, Li.”

“Serius, Bul.” Liora menatapnya tajam. “Tadi waktu Mas Bhumi nanya ‘kenapa’, jantung gue langsung deg deg ser terus gue bisa liat banget lo juga nahan sesuatu. Lo bahkan nggak mau lihat mata lama-lama.”

Bulan menunduk sedikit, langkahnya melambat. Ia merapikan lipatan blazer yang sebenarnya tidak kusut, gerakan kecil yang menjadi pelarian ketika pikiran terlalu ramai.

“Bukan nahan apa-apa,” ujarnya pelan. “Gue cuma… gak siap kalau harus jelasin sesuatu yang gak perlu dijelasin.”

Liora menatapnya lama. “Atau lo nggak siap karena tatapannya terlalu langsung?”

Bulan berhenti. Hanya sepersekian detik—tapi cukup untuk membuat Liora tahu ia mengena. Lorong itu terasa lebih sunyi. Bahkan suara lift ding berbunyi dari kejauhan pun terdengar samar-samar.

Bulan mengangkat wajah, tersenyum lembut, tapi ada kegelisahan halus yang memantul dari matanya.

“Tadi… tatapan Mas Bhumi terlalu tajam. Terlalu… memahami.” Ia mengembuskan napas pelan. “Seolah dia tahu gue menyembunyikan sesuatu.”

Liora menegakkan tubuhnya. “Karena kayanya dia memang peka kalau soal lo, Bul.”

Ucapan itu menghantam Bulan lebih keras daripada yang ia harapkan.

Ia memutar wajah ke arah jendela besar di lorong, memandangi area lobby bawah dengan lampu-lampu hotel yang redup dan elegan. Pikirannya masih tergantung pada satu momen di ruang rapat tadi, sorot mata Bhumi, bertanya “Kenapa?” dengan nada yang terasa… terlalu dekat.

Liora berjalan mendekat, menepuk bahu Bulan lembut. “Bun, lo gemeteran barusan?”

“Enggak.” Tapi suaranya terlalu cepat.

“Iya.”

Bulan akhirnya tertawa kecil, pasrah. “Sedikit.”

Lift tiba. Pintu terbuka dengan suara lembut. Mereka masuk.

Lift bergerak turun perlahan. Ruang kecil itu dipenuhi pantulan cahaya emas dari lampu-lampu elegan, tapi suasananya jauh lebih intim. Di sana, kejujuran lebih mudah keluar.

Liora bersandar ke pegangan lift, matanya mengamati Bulan dari samping.

“Lo takut Mas Bhumi bakal tanya lebih banyak?”

“Bukan takut…” Bulan memilih kata hati-hati. “Gue hanya gak ingin dia terlalu jauh buat cari tahu dengan sesuatu yang… tidak seharusnya.”

Liora mengangkat alis. “Dengan Farhan?”

Bulan terdiam. Itu sudah cukup sebagai jawaban. Lift turun melewati beberapa lantai sebelum Bulan berkata, lebih pelan dan jujur.

Liora mengangguk perlahan—bukan terkejut, tapi justru mengerti lebih daripada kata-kata Bulan.

“Bulan… dari awal gue tahu lo nggak mau Mas Bhumi khawatir. Tapi dia pasti bakal tanya lagi. Cowok begitu, rasa penasarannya tinggi apalagi dia peduli sama lo.”

Bulan memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang—napas yang bebas tapi juga sarat beban.

“Gue tahu.”

Pintu lift terbuka di lobby. Mereka melangkah keluar.

Sepasang resepsionis menyapa sopan, aroma lavender dari diffuser hotel mengisi udara, dan sekeliling mereka tetap bergerak seperti biasa—petugas hotel, tamu yang baru check-in, suara koper kecil bergeser.

Namun Bulan berjalan lebih pelan daripada biasanya, seolah setiap langkahnya mengingatkan satu hal:

Tatapan Bhumi tadi —yang terlalu membaca, terlalu jujur, terlalu menuntut penjelasan— masih menempel di hatinya. Dan itu membuat degup yang ia pikir sudah kuat, mendadak goyah lagi.

Liora menyentuh punggungnya dengan lembut. “Lo siap ketemu dia lagi nanti malam atau kalau dia nelpon?”

Bulan tersenyum tipis. “Gue belum tahu.”

“Tapi dia pasti nelpon.”

Bulan tidak menjawab. Karena ia tidak tahu Bhumi akan menelponnya atau malah sebaliknya.

**

Ruang kerja Bhumi di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel selalu terasa seperti ruang yang hidup sendiri—rapi, sejuk, penuh cahaya natural yang jatuh dari jendela besar. Tapi sore ini, ruangan itu terasa berbeda. Cahaya matahari yang biasanya hangat memantul lembut di lantai kayu kini terlihat seperti semburat tipis yang gagal menenangkan isi ruangan.

Bhumi berdiri membelakangi meja, kedua tangannya disilangkan, wajahnya menatap kota Surabaya yang mulai berselimut senja. Ada sesuatu yang berubah dari sorot matanya—lebih dalam, lebih gelap, dan lebih tajam dari biasanya.

Marvin sudah pamit lebih dulu setelah meeting, tapi Bhumi tetap di ruangan. Hanya satu nama yang memenuhi pikirannya, Bulan.

Tadi di ruang meeting, tatapan Bulan terlalu cepat berpaling. Senyumannya terlalu rapuh. Dan alasannya terlalu dangkal.

‘Terlalu banyak yang tidak ia ucapkan. Dan ada yang yang dia sembunyikan’ pikir Bhumi dalam hati.

Bhumi mengenalnya terlalu baik untuk percaya begitu saja. Ia menyentuh meja, tombol interkom menyala.

“Arsen,” panggilnya, suaranya datar namun mengandung tekanan yang tidak bisa ditolak. “Masuk.”

Tidak sampai sepuluh detik, Arsen muncul di pintu—rapi, cekatan, dengan wajah tampan yang memancarkan kehangatan khas dirinya. Tapi ketika melihat ekspresi bosnya, rautnya ikut berubah menjadi serius.

“Ya, Pak?”

Bhumi menatap Arsen tanpa basa-basi. “Ada yang janggal dengan Global Teknologi.”

Arsen mengangguk pelan, menunggu instruksi lebih lanjut. “Maksud Bapak?”

Bhumi berjalan pelan menuju kursinya, duduk dengan postur tegap, tangannya menyusuri sisi meja. “Bulan dan Liora resign. Mendadak. Berbarengan tanpa alasan jelas.” Sorot matanya mengeras. “Dan saya tidak percaya itu terjadi tanpa sebab.”

Arsen terdiam sejenak. Memahami. Sangat memahami.

Bhumi bukan tipe yang mencurigai hal kecil. Tapi kalau sudah menyangkut Bulan, bahkan satu helaan napas berbeda pun bisa ia kenali.

Suasana di ruangan mengental ketika Bhumi menautkan jari-jarinya.

“Cari tahu apa yang terjadi di Global Teknologi.” Nada suara itu tidak keras. Namun sangat memerintah.

Arsen mengangguk. “Baik, Pak.”

Dalam waktu singkat, Arsen berdiri di samping meja dengan laptop terbuka. Jemarinya bergerak cepat, membuka catatan industri, berita internal, database perusahaan, hingga jaringan profesional yang ia punya.

Bhumi menunggu. Diam.

Ia berdiri di dekat jendela kantornya, punggung tegap membentuk garis tegas ketika cahaya matahari sore menerpa setengah tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, jari-jari panjangnya mengetuk lengan pelan— bukan gelisah, hanya… berpikir.

Napasnya teratur. Tatapannya fokus pada satu titik di luar kaca, jauh di bawah sana, seolah kota Surabaya adalah papan permainan yang sedang ia pertimbangkan langkah berikutnya.

Tapi dari cara ia mengetuk ujung jarinya ke lengannya—pelan, stabil, namun terus-menerus—Arsen tahu bahwa bosnya sedang menahan keresahan yang jarang ia tunjukkan.

Beberapa menit kemudian, Arsen bersuara.

“Pak, saya menemukan perubahan struktur. Direksi operasional di Global Teknologi berganti.”

Ia menatap layar. “Pak Siregar digantikan oleh… Farhan Pahlevi.”

Nama itu cukup untuk membuat Bhumi mengangkat wajah.

Namun tidak ada reaksi lain. Hanya ketenangan yang semakin sunyi. Bahaya diam, kalau istilah Arsen.

Arsen melanjutkan. “Selain itu… tidak ada yang janggal, Pak. Tidak ada laporan internal, tidak ada masalah keuangan, tidak ada skandal karyawan, tidak ada komplain dari klien.”

Ia menggeser layar. “Dokumen internal bersih. Stabil.”

Bhumi tidak menjawab. Sorot matanya perlahan menggelap—bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang ia benci, ketidakjelasan.

Arsen menambahkan dengan nada ragu, “Memang… tidak terjadi apa-apa.”

Bhumi mengangkat kepala, tatapannya tajam. “Lalu kenapa mereka resign?”

Suasana ruangan seketika menegang. Nadanya bukan bertanya—lebih seperti menuntut kejelasan dari sesuatu yang menolak terbaca.

Arsen menelan napas kecil. “Saya… belum menemukan alasan itu, Pak.”

Bhumi diam. Untuk waktu yang terasa panjang.

Hanya suara AC yang terdengar, hanya senja yang terus turun di balik kaca, hanya detak halus jam dinding yang menegaskan waktu yang berjalan tanpa ampun.

Arsen tahu tatapan itu, tatapan seorang Bhumi yang sedang menyusun potongan puzzle yang tidak lengkap.

Bhumi akhirnya bersuara, pelan tetapi sangat jelas: “Kalau tidak ada catatan…” Ia memutar kursinya sedikit, tubuhnya membungkuk ke depan. “…artinya ada sesuatu yang sengaja mereka simpan.”

Arsen mengangguk pelan.

“Dan kalau kamu tidak menemukan apapun…” Tatapan Bhumi mengunci laptop yang kini terasa tidak berguna. “…artinya Bulan dan Liora sengaja menyembunyikannya.”

Tidak ada yang bergerak di ruangan. Baik Bhumi maupun Arsen, mereka berdua hanya diam di tempat dengan pikiran mereka masing masing.

Hanya kelopak mata Bhumi yang turun sedikit—ekspresi yang sangat jarang terlihat, gabungan antara kecewa, curiga, dan… terluka.

Arsen memberanikan diri bertanya pelan, “Apa Bapak ingin saya cari lebih dalam lagi?”

Bhumi menatap Arsen dalam-dalam. “Tidak.” Ia bersandar ke kursi. “Kamu sudah melakukan cukup.”

Arsen mengangguk. Tapi Bhumi belum selesai.

“Tapi saya…” Ia menautkan jemarinya di meja, suaranya turun satu oktaf, lebih dingin. “…akan mencari tahu sendiri.”

Arsen menelan ludah. Karena ia tahu apa arti kalimat itu,  Jika seorang Bhumi Jayendra memutuskan untuk mencari tahu sendiri— berarti sesuatu itu bukan sekadar masalah. Tapi sesuatu yang menyentuh seseorang yang ia pedulikan. Dan itu terlalu dalam.

Arsen menunduk hormat.

“Baik, Pak.”

**

Langit Surabaya mulai berubah warna, dari jingga lembut menjadi jingga dengan sedikit kegelapan yang menyapu gedung-gedung tinggi seperti sapuan kuas senja. Angin sore membawa aroma debu halus dan sedikit wangi kopi dari kantin bawah—aroma yang akrab bagi Bulan dan Liora karena beberapa tahun terakhir, hari-hari sibuk mereka selalu melewati bau itu.

Di dalam kantor Global Teknologi cabang Surabaya, suasana sedang jauh lebih tenang dibanding biasanya. Hanya terdengar suara printer, gesekan map yang ditutup, dan langkah kaki dua perempuan yang sedang menyelesaikan hari terakhir mereka sebagai pemimpin cabang.

Bulan dan Liora duduk berdampingan di meja kerja Bulan. Map, binder, dan flash disk ditumpuk rapi. Keduanya bekerja hampir tanpa suara—bukan karena sedih, tetapi karena keduanya tahu, inilah akhir dari sebuah bab yang panjang dan penuh sejarah.

Liora mengikat rambutnya ke belakang sambil menutup map terakhir.

“Done,” katanya pelan. “Semua laporan sudah rapi. Tinggal diserahkan.”

Bulan mengangguk sambil memeriksa kembali dokumen-dokumen di depan mereka. Gerakannya teliti, teratur, seperti seseorang yang sedang menenangkan hatinya dengan rutinitas kecil.

“Terima kasih, Liora,” katanya lembut.

“Kita lakukan bersama, Bun. Jangan bilang terima kasih.” Liora tersenyum tipis, suara lembut namun tegas. “Ayo pulang.”

Mereka berdua berdiri, mengambil tas masing-masing, dan berjalan menuju pintu keluar. Suara langkah heels mereka terdengar ritmis di koridor yang perlahan mulai gelap.

Ketika pintu kaca utama terbuka, angin sore menjelang malam langsung menyentuh kulit mereka—hangat bercampur dingin, lembut, dan sedikit membawa aroma aspal yang baru saja terkena matahari seharian.

Namun apa yang menunggu di depan gedung membuat keduanya berhenti bersamaan.

Di depan gedung, tepat di samping BMW seri 7 berwarna hitam metalik, seorang pria berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Siluetnya tegap, bahunya lebar, dan aura kehormatannya memotong udara sore dengan presisi yang khas.

Bhumi Jayendra.

Ia tidak menatap sekeliling. Ia tidak melihat ponselnya. Ia hanya… berdiri. Menunggu. Seakan ia tahu persis pukul berapa Bulan dan Liora akan selesai.

Sinar senja memantul di kemeja putih yang ia kenakan, memberi efek hangat yang kontras dengan ekspresinya yang serius. Namun begitu mata Bhumi bertemu dengan mata Bulan—ada sesuatu di sana yang berubah. Tidak lembut sepenuhnya. Tidak keras sepenuhnya. Tapi… fokus. Sangat fokus.

Bulan tidak menyangka kalau Bhumi akan menjemputnya ke kantor, ia masih berfikir kalau Bhumi akan menelponnya nanti malam dan menanyakan perihal keputusannya untuk resign. Tapi yang ia dapat nalah melihat Bhumi yang sudah stand by di depan kantornya.

Liora langsung menatap Bulan, matanya melebar sedikit lalu menyempit jahil.

Tanpa suara, ia menggerakkan bibirnya, “Good luck.”

Bulan menatapnya, tidak sempat membalas apa-apa sebelum Liora menambahkan, masih tanpa suara, “Gue yakin lo bisa, jangan lari. Oke.”

Liora kemudian merapikan tasnya, melangkah menghampiri Bhumi dengan sopan.

“Mas Bhumi,” sapanya singkat.

Bhumi mengangguk sopan. “Terima kasih, Liora.”

Itu tanda bahwa ia menghargai kehadiran Liora, tapi pikirannya jelas ada pada seseorang di belakang Liora.

Liora tersenyum miring, cepat tanggap, lalu berbisik lirih di dekat Bulan. “Aku pulang dulu, Bul. Semangat.”

Kemudian ia pergi, memberikan ruang yang jelas dan sengaja dibuat untuk dua orang itu.

Bulan berdiri beberapa langkah dari Bhumi. Angin sore menyentuh rambutnya, membuat beberapa helai jatuh ke pipi. Bhumi hanya memandanginya beberapa detik—lama, tanpa berkedip—seakan memastikan bahwa Bulan benar-benar ada di depannya dan bukan hanya bayangan yang ia ciptakan setelah meeting siang tadi.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Bhumi membuka pintu mobilnya untuk Bulan.

Gerakannya tenang, namun ada ketegasan halus yang membuat Bulan tidak bisa menolak. Seolah-olah tubuhnya bergerak lebih dulu daripada pikirannya.

Ia mendekat, lalu masuk kedalam mobil kemudian ia langsung duduk. Hanya karena tatapan itu. Dan entah bagaimana, karena ia ingin.

Pintu ditutup perlahan oleh Bhumi, suara klik-nya terdengar lembut namun tegas.

Bhumi masuk dari sisi pengemudi. Mesin mobil hidup. Dan seketika suasana di dalam BMW seri 7 itu menjadi ruangan kecil yang dipenuhi keheningan yang tidak canggung… tetapi tebal. Intim, namun belum sepenuhnya nyaman.

Suasana di dalam mobil begitu canggung, tidak ada music, tidak ada obrolan, yang terdengar hanya helaan nafas mereka yang beraturan. Bulan mencoba membuka percakapan, tetapi kata-katanya tertahan oleh udara yang berubah lembut namun intens.

Bhumi menyetir tanpa banyak bicara, tetapi tangan kirinya beberapa kali menggenggam erat kemudi seperti menahan sesuatu—pertanyaan, mungkin. Atau emosi lain yang ia belum izinkan keluar.

Mobil melaju stabil melewati kota, melewati lampu-lampu jalan yang berpendar keemasan. Walaupun Bulan duduk tenang di kursinya, ia bisa merasakan ritme napas Bhumi dari samping—ritme yang sedikit lebih berat dari biasanya.

Setelah beberapa menit dalam keheningan yang panjang tapi tidak menyakitkan, Bulan akhirnya menyadari arah mobil.

Mobil itu berhenti di depan lobi Arjuno Grand Hotel. Bhumi mematikan mesin, turun, dan membuka pintu untuk Bulan lagi. Seolah otomatis. Seolah ia tidak perlu berpikir untuk memperlakukan Bulan dengan cara demikian.

Saat Bulan berdiri, Bhumi melakukan sesuatu yang membuat dadanya berdebar pelan.

Ia menggenggam tangan Bulan. Genggaman itu tidak keras, tidak memaksa, namun serasa hangat – bahkan sangat hangat menurut Bulan.

Dan hangat itu menjalar sedikit terlalu cepat ke lengan Bulan. Sekilas, Bulan hampir menarik tangan itu, bukan karena tidak suka… tapi karena ia justru suka. Sangat suka dan itu membuatnya gugup.

Ini pertama kalinya Bulan bersikap sangat gugup didepan seorang pria, padahal dulu ketika Farhan mencoba mendekatinya dan berbuat yang tidak baik padanya saja ia masih bisa terlihat tenang, tapi entah mengapa ketika ia dihadapkan dnegan Bhumi jantungnya seakan ikut berdegup sangat kencang.

Bulan menelan ludah, matanya naik perlahan menatap Bhumi.

“Mas…” suaranya kecil, setengah napas.

Bhumi tidak mengurangi pegangan tangannya.

“Ayo,” ucapnya lembut, suaranya menurun setengah oktaf—nada yang hanya muncul saat ia sedang mengikat sesuatu dalam kata-kata sederhana.

Dan Bulan mengikuti Bhumi, bukan karena dipaksa dan bukan karena bingung. Tetapi karena ada sesuatu dalam genggaman itu yang membuat langkahnya menjadi ringan—seolah tubuhnya tahu bahwa kehangatan itu aman, bahkan jika pikirannya belum siap menerima semua yang akan terjadi.

Mereka berjalan masuk ke lobi hotel, tangan masih bertautan. Bulan bisa merasakan denyut halus dari telapak tangan Bhumi. Dan di sisi lain, ia tahu,  Begitu tangan itu dilepas… ia akan berhadapan langsung dengan sisi Bhumi yang tidak akan bisa menerima jawaban setengah-setengah.

Itu sangat menegangkan. Agak menakutkan sebenarnya , namun… entah kenapa, juga membuat hatinya berdebar dengan cara yang menghangatkan.

Bulan menatap tangan mereka sekilas—tangan yang bertautan seperti sudah sering melakukannya.

Ia tidak mengerti kenapa rasanya begitu pas. Seolah dunia luar mereda, dan hanya genggaman itu yang menjadi pusatnya.

Bhumi menoleh sedikit, cukup untuk menangkap ekspresi Bulan. Dan untuk pertama kalinya sejak sore itu dimulai, ia berbicara dengan nada yang lembut namun dalam,

“Kita perlu bicara.”

Bulan menggigit bibir pelan. “Aku tahu,” jawabnya hampir seperti bisikan.

Dan mereka melangkah masuk lebih jauh ke dalam lobi hotel, dilingkupi aroma bunga segar dan lampu-lampu hangat.

Di antara langkah-langkah itu, genggaman tangan mereka tetap erat—seolah keduanya diam-diam berharap waktu berhenti sebentar, sebelum badai kecil yang menunggu mereka di dalam benar-benar datang.

**

tbc

1
Anonymous
tuh kan dibales
Anonymous
buset liora/Facepalm/
Al_yaa
di bab ini marvin menang banyak, bhumi malah makin sweet .. lama lama ku gulung juga nih dunia pernovelan
Al_yaa
yaelah marv, menang banyak luuu /Grin/
Al_yaa
hayolo lioraa 🤭
Bia_
hayolo hayolo Liora
Bia_
heh Liora Jangan binal ya kamu/Facepalm/
Bia_
duh gusti /Grin/
Bia_
Jangan ditanya atuh bapak Selama masih ada 2 Curut mereka Pasti out
Bia_
liora Sebenernya ngerti tapi kek masih lugu aja nih
Al_yaa
di bab ini si marvin pemenangnya
Al_yaa
/Angry//Hey//Hey/
Al_yaa
marvin jan langsung diulti gitu apahhh
Al_yaa
omigat omigat lioraaaa/Facepalm/
KaosKaki
ya Allah, si Marvin mahhhh 😍
KaosKaki
/Angry//Awkward/
Al_yaa
bab ini bikin melting ihh, mauu satu yang kaya bhumi 😍
Al_yaa
padahal, liora juga mau ngomel tuhh ehh dikasi vitamin baby sama marvin malah meleleh diaa, jadi lupa deh mau ngomelnya
Anonymous
disuguhin yang manis manis dulu ya thorrr
Al_yaa
bab ini banyak ke uwuan /Smile//Hey//Grin/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!