Aira tidak pernah berharap menikah untuk kedua kalinya. Namun dia menyangka, takdir pernikahan pertamanya kandas dengan tragis. Seiring dengan kepedihan hatinya yang masih ada, takdir membawanya bertemu dengan seorang pria.
"Aku menerimamu dengan seluruh kegetiran dan kemarahanmu pada seorang lelaki. Aku akan menikahimu meski hatimu tidak tertuju padaku. Aku bersedia menunggu hatimu terbuka untukku," ujar pria itu.
"Kamu ... sakit jiwa," desis Aira kesal sambil menggeram marah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Muka sewot
Bola mata Aira melirik ke arah tangan ibu yang menyentuh lengan Ibrar. Mereka begitu dekatkah sampai seperti itu?
"Bapak tinggal dulu kedalam. Kalian ngobrol saja bertiga disini. Kan jarang sekali Ai bisa bertemu kamu di rumah ini." Ayah Aira beranjak berdiri di ikuti ibu.
"Aku kesini ingin menemani ayah ngobrol bukan ngobrol sama mas Wira." Aira bermaksud menolak disuruh ngobrol di sini. Makanya dia memilih menyebut tujuan utamanya disini sekarang.
"Kamu juga perlu ngobrol sama Wira. Dia kan saudaramu." Ayah membuat alasan dan berjalan meninggalkan mereka bertiga. Ibu tersenyum berpamitan mengikuti ayah.
Aira menghela napas.
"Memangnya kamu kesini untuk ngobrol sama ayah beneran?" selidik Wira.
"Jangan tanya," sahut Aira judes.
"Aku tahu itu alasan. Tidak mungkin kamu sengaja pulang kerumah untuk ngobrol." Wira mencibir.
"Memang Ayah yang menyuruhku pulang, kenapa?" tantang Aira.
"Lah itu ... Aku tahu kamu enggak mungkin pulang karena inisiatif sendiri. Pasti ayah yang nyuruh." Ibrar hanya mendengarkan dua bersaudara ini berbicara.
"Sudahlah, diam," sergah Aira semakin tidak mood. Dia menghempaskan punggungnya ke badan kursi plastik.
"Jangan kaget lihat tingkah dia seperti itu, Brar. Adikku memang tidak seperti itu." Wira malah berkata seperti itu ke Ibrar.
"Wira ...," desis Aira tidak suka.
"Apa? Kamu enggak mood karena di suruh ayah kesini? Di suruh menjenguk orangtua kok sewot. Wajarlah mereka ingin bertemu kamu."
"Kita tidak harus bahas itu sekarang." Aira mendesis dengan ujung matanya yang melirik Ibrar sekilas. Ibrar yang tahu itu adalah dirinya, menundukkan pandangan. Mengangkat cangkir teh dan meminumnya. Wira menoleh pada Ibrar. Dia tahu Aira tidak nyaman ada laki-laki ini.
"Yaaa ... aku tahu. Lagian Ibrar enggak mungkin cerita ke orang-orang di kantormu soal kamu yang sekarang. Dia laki-laki. Enggak mungkin begitu." Wira masih tetap kekeuh.
"Aku enggak suka," balas Aira geram. "Bisa enggak, bahas yang lain?"
"Maaf, Wir. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Mobilku juga sudah selesai." Ibrar menengahi. Dia tidak mau perempuan ini membencinya. Dia harus pergi dari sini secepatnya. Pembicaraan mereka bukan untuk di konsumsi orang luar seperti dirinya. Meskipun dia senang bisa tahu cerita lain tentang Aira.
"Kamu pasti tidak nyaman dengan kegusaran dia yah?" tanya Wira ke Ibrar sambil terkekeh senang. Ibrar hanya tersenyum tipis.
"Ini waktunya aku pulang." Ibrar menegaskan sekali lagi. Tidak mau perempuan di depannya semakin sewot. Dia harus angkat kaki sekarang. Saat ini Aira memang memasang wajah garang. Siapa yang suka membicarakan keburukan diri sendiri di depan atasan.
Mulut Aira menguap lebar. Pagi yang dingin membuatnya malas bangun dan bergerak. Ingin rasanya bergelung di bawah selimut. Toh, tidak akan ada yang memarahinya. Tidak ada yang bisa memakinya.
Ya ... Aira sekarang tinggal sendiri. Setelah memberitahukan soal perceraiannya dan membuat keluarga besarnya terkejut dan marah, Aira memutuskan tinggal sendiri dalam rumah ini. Sebuah rumah kecil dalam perkampungan yang di sewanya bersama Yeri.
Ponsel berdering. Nama Pima ada di sana.
"Apa?" tanya Aira masih parau. Juga setengah bangun setengah tidak.
"Mentang-mentang tinggal sendiri, jam segini baru bangun." Pima sudah mengomelinya. Aira menguap lebar.
"Itu indahnya kesendirian." Pima tergelak mendengar Aira berbicara seperti itu. Sendiri memang menyedihkan, tapi bisa di ambil hikmahnya. Seperti sekarang, Aira sendiri tapi bebas. Sangat menyenangkan juga.
Cerai.
Kata yang tidak akan pernah terpikir oleh Aira akan terjadi padanya. Menikah itu untuk sekali. Bukankah harusnya begitu? Keinginan mulia itu tidak di terapkan oleh Eros. Lelaki yang di cintai Aira dan menjadi suaminya itu akhirnya sudah menikah lagi saat dirinya masih menjadi istrinya.
Rumah tangganya berantakan. Sungguh miris Aira tetap berada di dalam.
"Stop berkata seperti itu. Aku masih marah sama kamu dan Yeri tidak memberitahuku soal kebusukan Pak Eros," kata Pima geram.
"Itu sudah berlalu, Pim."
"Teganya kalian membiarkan aku enggak tahu bahwa Pak Eros begitu jahat menyakitimu seperti itu. Aku yang menjodohkan kalian ikut terluka, tahu?"
"Iya aku tahu."
"Aku sungguh tidak menyangka dia seperti itu, Ai. Aku tidak tahu."
"Iya paham. Sudah jangan bahas itu lagi."
"Aku masih merasa bersalah, Ai."
"Kalau begitu traktir aku. Mungkin marahku mereda."
"Jadi kamu beneran sempat marah padaku karena aku sudah menjodohkan kalian?"
"Nih anak. Sudah dong. Aku tahu kamu enggak mungkin menjodohkanku dengan Eros jika tahu dari awal dia brengsek. Ini bukan kesalahanmu, Pim. Hanya saja aku yang kurang beruntung."
"Itu benar. Enggak banget aku jodohim kamu dengan dia kalau tahu pria itu brengsek. Jadi ... nanti malam kita nongkrong bareng?" tawar Pima.
"Ya. Pasti."
"Oke. Aku tunggu. Jangan lupa kasih tahu Yeri."
"Sip!"
"Jangan terlalu lelah saat bekerja Ai. Daa ..." Aira meletakkan ponsel di atas nakas. Saat itu pintu kamarnya terbuka. Yeri muncul.
"Aku yakin kamu baru bangun."
"Iya. Aku capek banget. Tadi malam setelah pulang dari rumah orangtua, aku tidak langsung tidur."
"Ngapain?"
"Banyak. Lagian kan sekarang bebas mau ngapain."
"Jangan-jangan nyari gebetan baru nih ...," goda Yeri.
"Enggak. Aku enggak mau orang baru," jawab Aira hambar. Membuat Yeri tersenyum getir. Tiba-tiba Yeri masuk ke dalam kamar dan memeluk Aira.
Suatu hari pasti ada yang membuat hatimu terbuka lagi, Ai ... bisik Yeri dalam hati. Sebuah doa tulus untuk sahabatnya.
"Kenapa tiba-tiba meluk aku?" tanya Aira heran. "Jangan bilang kamu iba karena keadaanku?"
"Enggak. Kamu enggak pantas di kasihani." Yeri melepas pelukannya. "Bau. Cepat mandi. Jam berapa ini? Bukannya kamu harus gladi bersih buat acara besok?" tanya Yeri.
"Acara besok?" tanya Aira linglung.
"Iya. Bukannya bank negara sudah meminta ijin buat bikin acara realisasi uang baru di tempat kita? Kapan hari kamu sudah bilang ke aku."
"Aduh. Aku lupa."
"Belum tua sudah pikun. Cepat mandi." Yeri mendorong tubuh temannya keluar dari kamar untuk menuju kamar mandi.
Itu artinya aku harus ke gedung itu. Kantornya manajer baru. Hhh ... aku pikir bisa tidak bertemu hari ini. Ternyata tidak. Justru hari ini dan besok aku akan sering bertemu.
Aira melangkah menuju kantor Ibrar dengan berat. Seberat jika kita membawa beban 1 ton. Tadi malam dia menunjukkan sikap tidak ramah, sekarang dia harus menghadap dan meminta ijin.
Sejak awal seharusnya aku bisa menahan diri. Namun itu tidak mungkin.
Aira memang tidak pernah suka jika ayahnya membahas soal dirinya yang memilih tinggal di rumah kontrakan. Bukan dia tidak sayang kepada kedua orangtuanya. Bukan. Aira hanya tidak tahan saat mereka selalu saja bertanya soal pasangan. Aira selalu di todong soal pria yang dekat dengannya. Padahal dirinya tidak ingin dekat dengan pria manapun kecuali murni berteman.
Tidak ada cinta. Aira tidak mau membahas cinta. Dia sedang ingin sendiri. Masih. Dia ingin menyendiri terlebih dahulu.
banyak pelajaran yang di dapat
berharap ada bonchap sampai aira melahirkan
masih terbawa kesel sm nara dan eros
rasa sakit dan trauma aira belum sebanding sakitnya nara dan penyesalan eros
Aira masih sangat ingin dekat eros
Buktinya dia masih g bisa move on
Kesan nya kayak perempuan bodoh
Anak dalam nikah meninggal
Jadi aira ga da iktan lagi
kalo Aira, kakaknya Ibrar dijodohin sama Yuta gimana y...?