Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Kasar
“Rik, ayo!”
Riki yang tanpa sadar menghentikan langkah saat memasuki restoran, menoleh ke arah temannya.
“Kalian duluan aja deh. Nanti gue susul,” ucap Riki.
Kedua temannya saling pandang.
“Emang lo mau kemana dulu?” Salah satu pria bertanya.
“Mau nyapa sebentar orang yang gue kenal,” jawab Riki.
“Ya udah deh. Mau dipesenin sekalian nggak?”
Riki mengangguk. “Boleh. Lauknya samain aja. Gue cuma bentar doang kok.”
Kedua pria yang bersama Riki pun masuk ke dalam. Riki berbelok, ke arah dua orang yang masih belum menyadari kedatangannya.
“Nira.”
Nira menoleh, mengangkat wajahnya. Matanya langsung terbelalak. “Riki?”
Riki menarik kursi di sebelah Fauzan dan menyapa Fauzan. “Fauzan ‘kan?”
Fauzan mengangguk. “Hai, Bang. Lama nggak ketemu,” sapa Fauzan tersenyum ramah.
“Kalian berdua janjian makan bareng?” tanya Riki menatap Nira dan Fauzan bergantian.
“Enggak sih, Bang. Cuma kebetulan aja jam istirahat kita sama. Aku ketemu Nira di luar rumah sakit jadi sekalian aja makan bareng.” Fauzan menjawab setelah melirik Nira sekilas.
Riki menatap Nira. “Benar, Ra?”
Nira mengangguk dengan senyuman kakunya. “Kamu ke sini sendiri?”
“Enggak. Aku sama teman-teman.” Riki menjawab dengan tatapan penuh pada Nira.
Nira menelan ludahnya. Tatapan Riki menghunus tajam walau bibirnya tersenyum tipis. Nira bisa merasakan alarm bahaya dalam tatapan suaminya itu.
Riki bangkit berdiri. Ia menoleh ke arah Fauzan. “Baiklah. Aku pergi dulu, Zan.”
“Eh? Nggak gabung kita aja?” tanya Fauzan.
Riki melirik piring di atas meja yang hampir kosong. “Kalian udah mau selesai. Aku baru aja datang. Lagi pula, aku ke sini sama teman-temanku. Mereka di dalam. Selesaikan makan siang kalian berdua.”
Riki lantas pergi meninggalkan meja Nira dan Fauzan. Nira mengambil gelas dan meminum sisa airnya. Fauzan memperhatikan itu.
“Apa penjelasanku tadi membuat Riki marah sama kamu, Nir?” tanya Fauzan dengan raut wajah khawatir.
Nira tersenyum, menggeleng. “Terima kasih udah ngasih alasan bohong itu. Tidak dibenarkan tapi itu bisa menyelamatkanku.”
“Menyelamatkan?” Fauzan mengernyitkan dahi.
“Eh… Maksudnya, kalau tadi kamu bilang ngajak aku makan siang dari seminggu yang lalu terus dia lihat kita bersama kayak gini, dia pasti bakal salah paham. Makanya, alasan kamu tadi bisa menyelamatkanku dari kecurigaan dia. Ya walaupun aku nggak ada niat buat dia curiga.” Nira menggeleng, salah tingkah karena keceplosan bicara.
Fauzan mengangguk. Ia tahu gelagat Nira yang seperti itu. Mereka berteman lama dan cukup tahu satu sama lain. Namun, Fauzan memutuskan untuk tak bertanya lebih. Ia menghargai kehidupan pribadi Nira.
***
Nira baru saja membuka pintu kamarnya saat tiba-tiba tangannya ditarik seseorang ke dalam kamar dan memerangkapnya.
“Riki,” engah Nira.
Riki menaikkan satu sudut bibirnya. “Rupanya ada yang diam-diam kencan sama pria lain di tengah hari bolong ya?” Sindirnya dengan menatap tajam mata Nira.
Nira menggeleng. Ia mendorong dada Riki, tapi Riki justru mencekal kedua tangannya ke atas kepala.
“Nggak ada yang kencan. Kamu nggak dengar dia tadi ngomong apa?” Nira balas menatap Riki. Walau takut, tapi dia tak mau Riki berpikir macam-macam tentangnya.
“Kamu pikir aku percaya? Kalian beda ruangan. Beda lantai juga. Bagaimana bisa kebetulan begitu makan berdua? Dan kamu kenapa nggak ngomong sama aku kalau kamu mau makan sama dia? Kamu lupa punya suami?”
“Rik, lepasin. Tangan aku sakit kamu cengkeram gini.” Nira menggerak-gerakkan tangannya.
“Kamu mau selingkuh dengannya?” Riki tak mendengar permintaan Nira. Dia justru semakin mencengkram tangan Nira lebih kuat.
Nira meringis kesakitan. “Aku capek pulang kerja, Rik. Kamu bisa nanya aku tanpa melakukan kekerasan kayak gini. Ini sakit, Rik.”
“Sakit tanganmu ini nggak sebanding dengan rasa sakitku saat ngliat kamu dengan perut hamil anakku tapi kencan sama pria lain.”
“Aku nggak kencan, Rik!” seru Nira berontak.
Melihat wajah Nira yang kesakitan, Riki melepaskan tangannya. Ia menyeringai kecil.
“Kamu pikir kamu bisa bodohin suami kamu sendiri, hah? Jangankan aku. Kalau orang lain lihat kalian, mereka juga pasti akan bilang kalau kalian itu lagi kencan makan siang.”
Nira mendorong dada Riki. “Terserah apa katamu. Yang jelas aku nggak kencan. Aku juga nggak seperti yang kamu pikirkan!”
Riki menaikkan satu alisnya. Ia bersandar di tembok, mengamati tubuh Nira dari belakang.
“Kamu cantik, Nira. Kamu juga seksi. Siapapun itu, jika itu pria, mereka pasti akan menoleh dua kali demi melihatmu. Kamu punya potensi untuk selingkuhin aku. Dan sebelum itu terjadi, aku nggak akan ngasih kamu celah sedikitpun.”
Riki mendekat. Nira tak sadar. Ia hendak masuk ke dalam kamar mandi saat pinggangnya ditarik Riki dari belakang.
“Riki!” Seru Nira berusaha melepaskan Riki.
Riki menyeringai. Ia menarik Nira ke arah ranjang dan mendudukkan istrinya di pangkuan dengan paksa. “Kamu tahu apa maksud perkataanku dengan nggak ngasih kamu celah untuk selingkuh?”
Nira berontak. Tapi, pelukan Riki di pinggangnya sangat erat.
“Caranya adalah dengan ini.” Riki langsung mencium Nira tanpa aba-aba dan memberikan sentuhan secara kasar.
Nira terus menggerakkan tubuhnya, mencoba lepas dari jerat suaminya, tapi ia tak berdaya. Tenaga Riki jauh lebih kuat. Apalagi saat dikungkung hawa nafsunya yang tinggi.
Nira kembali menjadi budak nafsu Riki. Sungguh, Nira tak merasa lagi menjadi istri Riki yang disentuh dengan penuh cinta. Tak ada sentuhan cinta itu.
Yang ada sentuhan kasar, melampiaskan emosi gara-gara melihat Nira dan Fauzan makan siang berdua. Inilah yang Nira takutkan sejak siang. Walau Fauzan sudah mengarang alasan bohong, tapi tetap saja Riki pada pendapatnya sendiri. Menganggap Nira tengah selingkuh dengan Fauzan.
Sentuhan demi sentuhan terus diterima Nira. Nira tak kuasa melawan tubuhnya yang bereaksi. Namun reaksi tubuhnya tak senada dengan hatinya.
Apa kata Riki waktu itu?
Riki bilang ingin diberi kesempatan untuk membuat Nira kembali jatuh cinta padanya.
Tapi apa yang dilakukan pria itu sekarang?
Ia justru membuat Nira semakin mati rasa. Membuat Nira merasa dilecehkan suaminya sendiri. Membuat Nira merasa seperti wanita murahan yang disentuh tanpa hati. Hanya sebatas hawa nafsu yang membumbung tinggi.
Selesai mendapat kepuasan, Riki beranjak. Tak ada lagi peluk cium atau ucapan mesra setelah bercinta. Riki langsung memakai kembali pakaiannya dan meninggalkan Nira sendiri di kamar tanpa peduli apa yang di rasakan sang istri.
Nira menatap lemah tubuh Riki yang menghilang di balik pintu kamarnya. Satu tetes air matanya jatuh. Dengan sisa kekuatan yang ia punya, ia duduk perlahan.
Nira menatap kosong dinding di hadapannya. Tangannya mengusap pelan perutnya yang sedikit kram karena gerakan Riki yang terlalu keras dan menyakitkan.
‘Cepatlah lahir, Nak. Mama nggak kuat lagi.’