Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Ancaman dari Seberang Sungai
Sore itu, saat Aris sedang mengawasi pemasangan jendela kaca di lantai dua, sebuah mobil sedan mewah berwarna perak berhenti di pinggir jalan utama, memicu rasa penasaran warga. Dari mobil itu, turun dua orang asing ber setelan rapi. Salah satunya adalah seorang pria berkulit putih, tinggi, dengan aksen Inggris yang kental, didampingi oleh seorang penerjemah.
"Selamat sore, Mr. Aris," sapa pria asing itu, mengulurkan tangan. "Saya Robert Sterling dari Sterling Global Development. Kami sangat terkesan dengan proyek Anda yang fenomenal ini."
Aris menyambut jabatan tangan itu dengan ragu. Aroma parfum mahal dari Robert terasa sangat kontras dengan aroma kayu dan lumpur di sekitar nya. "Terima kasih, Mr. Sterling. Tapi ini proyek sosial, bukan untuk pengembangan."
"Tentu saja," Robert tersenyum, senyum seorang pebisnis yang sudah terlatih. "Namun, kami melihat potensi yang luar biasa di sini. Konsep arsitektur hibrida Anda, respon publik yang masif... ini adalah masa depan pembangunan kota berkelanjutan."
Mereka duduk di area teras yang belum selesai, sementara warga melanjutkan pekerjaan mereka dengan pandangan curiga. Robert kemudian mengajukan tawaran: Sterling Global Development ingin membeli hak paten desain Rumah Senja, menghancurkan bangunan fisik saat ini, dan membangun ulang sebuah kompleks hunian mewah dengan konsep yang sama di lokasi lain, dengan janji Aris akan diangkat sebagai konsultan utama dengan gaji yang fantastis.
"Kami akan memberikan kompensasi yang sangat besar bagi warga di sini untuk relokasi," Robert menambah kan. "Sebuah apartemen vertikal yang layak di pinggir kota. Jauh lebih baik dari yang mereka punya sekarang."
Aris menatap ke arah Robert. Di mata nya, ia melihat bayangan Baskoro sepuluh tahun lalu—mata yang hanya melihat angka dan keuntungan di balik setiap ide brilian.
"Proyek ini tidak dijual, Mr. Sterling," jawab Aris tegas.
"Tapi Pak, tawaran mereka luar biasa," bisik Hendra di samping Aris. "Uang itu bisa menjamin masa depan ratusan warga di sini."
"Rumah ini bukan tentang uang, Hendra," potong Aris. "Ini tentang hak mereka untuk hidup di tanah mereka sendiri, di tempat yang mereka perjuangkan sendiri. Uang Sterling Global akan merenggut martabat itu kembali dari mereka."
Robert Sterling tetap tersenyum, mengeluarkan kartu namanya yang terbuat dari bahan metal. "Pikirkan lagi, Mr. Aris. Kami punya banyak cara untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Baskoro hanya bermain dengan cara yang kuno. Kami lebih... efisien."
Setelah kepergian Sterling, Aris merasakan tekanan baru. Ancaman ini lebih berbahaya karena dibungkus dengan janji kemewahan. Malam itu, Aris mengadakan pertemuan dengan warga. Ia menceritakan tawaran tersebut dan menanyakan pendapat mereka.
"Kami tidak mau apartemen mewah mereka," ucap Pak RT. "Kami mau tempat ini. Kami sudah menanam keringat dan air mata di sini. Ini rumah kami."
Solidaritas warga menguatkan Aris. Ia tahu keputusan nya sudah bulat. Namun, ia juga tahu bahwa Sterling Global tidak akan menyerah begitu saja. Di waktu senja, saat matahari terbenam menyinari wajah-wajah tulus warga, Aris merasakan beban baru. Melindungi mimpi dari buldoser itu mudah, tapi melindunginya dari godaan uang adalah pertarungan yang jauh lebih sulit. Ia harus mempersiapkan warga untuk ancaman selanjut nya, yang mungkin datang dalam bentuk gugatan hukum yang mengklaim ketidaklayakan huni bangunan bambu tersebut.