Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertangkap Basah
Dan benar saja, beberapa mobil polisi berhenti di depan rumah. Lampu rotator menyala, membuat suasana semakin mencekam. Sekitar tiga puluh lima orang warga yang tadi berani berteriak kini tampak pucat dan ketakutan.
Berbeda dengan mereka, Althaf justru menegang. Wajahnya berubah masam saat matanya menangkap sosok yang turun dari mobil paling depan. Pria itu berseragam lengkap, langkahnya tegas dan berwibawa.
Itu adalah Kompol Erlangga, Wakapolres.
Erlangga langsung maju selangkah dan berkata, “Selamat malam semuanya. Kami mendapatkan laporan, jika beberapa warga memfitnah dan mengganggu ketenangan Zahra dan keluarganya.”
Zahra tanpa ragu melangkah ke depan. “Benar pak Polisi. Nah, tangkap mereka semua.”
Ucapan itu membuat warga semakin ketakutan. Satu per satu mereka mulai merendahkan diri, suara mereka berubah lirih dan gemetar.
“Zahra minta maaf ki nak.”
Ada pula yang menoleh ke arah Mak Mia.
“Mia minta maafka nah. Tolong jangan penjarakan kita semua.”
Semua mengangguk penuh penyesalan. Pak RT hanya berdiri diam, wajahnya muram. Ia tak bisa lagi membela siapa pun karena kelakuan warganya sendiri sudah keterlaluan.
Bu Raodah tampak ketakutan, namun ada sedikit kelegaan di matanya. Diam-diam ia sudah mengirim pesan pada suaminya, yakin pria itu akan datang dan menyelamatkannya.
Tak lama kemudian, sebuah motor berhenti dengan suara kasar. Pak Bahri turun dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah.
Ia langsung berteriak, “Siapa berani penjarakan istriku hah? Mau saya tembak!”
Zahra menoleh dingin. “Saya! Kenapa?”
Pak Bahri hendak membela kerumunan, tetapi kalimatnya terhenti ketika matanya bertemu dengan sosok Erlangga. Wajahnya seketika memucat. Kesombongan yang tadi menggelegar runtuh seketika.
Ia melangkah mendekat dengan senyum kaku. “Eh, Dan, ternyata kita ada di sini juga?”
Erlangga menatapnya datar. “Ada apa pak Bahri? Tadi anda bilang ingin menembak orang?”
Wajah Pak Bahri semakin pucat. Saat itu Bu Raodah menyela dengan panik, “Pa', kenapa Ki diam? Itu sama Zahra ee.”
Pak Bahri langsung membentak, “Diam ko!”
Bu Raodah terdiam, wajahnya memerah menahan malu.
Pak Bahri lalu kembali tersenyum, kali ini penuh kepalsuan. “Silahkan pak, saya tidak akan halangi lagi. Tadi itu cuma bercanda.”
Jelas terlihat ketakutan di matanya. Ia tahu betul, jabatannya jauh di bawah Erlangga.
Para warga semakin ciut. Kini benar-benar tak ada lagi yang bisa mereka andalkan.
Erlangga berkata tegas, “Sekarang ikut kami ke kantor polisi!”
Suasana langsung ricuh oleh kepanikan.
Bu Jaenab maju dengan wajah panik. “Pak, kita semua tidak salah pak. Ini juga karena Bu Mirna yang hasutki semua. Jadi kalau ada yang mau dipenjara, tangkap Ki saja Bu Mirna.”
Nama Bu Mirna disebut, tubuhnya langsung gemetar.
Zahra menatapnya tajam. “Wah ternyata kamu ya pelopor yang menjadi provokatornya. Hukumanmu akan semakin berat.”
Bu Mirna panik dan membela diri. “Saya tidak salah pak. Mereka saja yang beleng (bodoh) mau percaya-percaya saja.”
Ia lalu menunjuk Zahra. “Lagiaan juga mereka juga salah pak. Kenapa tidak mengundang Ki semua pas pesta pernikahannya. Makanya kami bilang begitu.”
Zahra mendengus kesal. “Udah tahu salah masih saja menyalahkan orang. Sudah pak! Tangkap mereka semua. Oh iya pak, sekalian selidiki kenapa lumbung padi yang menjadi penyebab kami difitnah bisa diusut supaya semuanya jelas dan gak ada fitnah lagi.”
Erlangga menatap Zahra sejenak lalu mengangguk. “Baik.”
Saat polisi bergerak untuk menangkap Bu Mirna, tiba-tiba perempuan itu berteriak keras. Tubuhnya menggelinjang, matanya melotot, suaranya berubah parau.
Aarrgghh!
Ia mengamuk, berpura-pura kesurupan, berteriak-teriak seolah kemasukan setan, bahkan mengaum seperti macan.
Groaaarr!
Warga langsung mundur ketakutan. “Baca ayat kursi!”
Mereka serempak membaca ayat kursi. Melihat itu, Bu Mirna semakin berteriak seolah kepanasan.
Zahra mendengus sinis. “Oh mau main kesurupan kan?”
Ia melangkah pergi ke samping rumah. Teringat sesuatu yang ia lihat pagi tadi, Zahra menyalakan senter ponselnya. Dengan kantong plastik yang ia jadikan sarung tangan dadakan, ia mengambil kotoran kucing.
Zahra kembali ke kerumunan. Bu Mirna masih berteriak-teriak.
Zahra maju tanpa ragu. “Nih makan tuh kesurupan!”
Ia mengusap kotoran kucing itu ke wajah Bu Mirna.
Oeekk!
Oeeek!
Sontak Bu Mirna muntah-muntah hebat. Tubuhnya melemas, dan ia menatap Zahra dengan penuh kebencian. “Kurang ajar kau Zahra.”
Zahra tersenyum dingin. “Nah selesai kan pura-pura kesurupannya.”
Bu Mirna langsung sadar sepenuhnya, namun ia masih terus muntah akibat bau dan rasa jijik kotoran kucing yang menempel di wajahnya.
*
Kini Erlangga bersama para polisi dan warga bergerak menuju tempat kejadian perkara, lokasi di mana lumbung padi itu terbakar. Malam semakin larut, namun suasana justru semakin panas. Cahaya senter dan lampu mobil polisi menyapu area lumbung yang masih menyisakan bau gosong.
Erlangga berdiri di tengah lokasi, lalu memberi perintah tegas. “Sisir area ini. Cari apa pun yang mencurigakan.”
Para polisi langsung berpencar. Beberapa warga berdiri tak jauh, berbisik-bisik dengan wajah tegang. Di antara mereka, Pak Samsul terlihat paling gelisah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tangannya gemetar, sesekali ia meremas saku celananya.
Tak lama kemudian, seorang polisi mendekat sambil mengangkat sesuatu. “Lapor, Dan. Kami menemukan puntung rokok dekat lumbung padi itu.”
Erlangga menerima puntung rokok tersebut. Ia memperhatikan dengan saksama, terutama mereknya. Lalu, dengan langkah tenang,
Erlangga mengedarkan pandangan ke seluruh warga. Satu per satu wajah mereka tertangkap matanya.
Hingga akhirnya, tatapannya berhenti pada Pak Samsul.
Tanpa berkata apa-apa, Erlangga menatap saku celana Pak Samsul yang sedikit mengembung. Tempat rokok itu terlihat jelas dari sela kainnya.
Erlangga mengangkat dagunya sedikit. “Ini punya bapak toh?”
Pak Samsul tersentak. Wajahnya semakin pucat. Ia menelan ludah berkali-kali sebelum akhirnya mengangguk lemah. “Iye, pak. Saya sebenarnya yang tidak sengaja merokok di sana. Jadinya terbakar.”
Ucapan itu seperti bom.
Para warga langsung bersorak geram. Suara kecewa, marah, dan umpatan bercampur menjadi satu. Beberapa orang menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
Bu Jaenab yang sejak tadi menahan emosi langsung maju. Tangannya menghantam dada dan lengan suaminya berkali-kali. “Ya Allah pak, kau pale pelakunya baru mu tuduh-tuduh orang. Bikin malu ko pak.”
Pak Samsul hanya tertunduk. Ia tidak membalas, tidak membela diri, seolah semua tenaganya telah habis.
Zahra berdiri sedikit di belakang, menatap kejadian itu dengan sorot mata kesal. Ia menggeleng pelan, tak percaya pada apa yang baru saja terungkap.
Fitnah, keributan, dan hampir menghancurkan nama baik mereka ternyata semua bermula dari kelalaian satu orang yang tak mau mengakui kesalahan. Tapi jika Zahra tahu, apa penyebab pak Samsul melakukan hal itu, mungkin ia akan mengamuk karena fotonya dijadikan menjijikan.
jadi garda terdepan untuk keluarga nya...
Zahra gitu lho no kaleng kaleng....
istri solehot mo di lawan.....😁💪🔥🔥🔥🔥🔥