NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Pengganti / Bercocok tanam / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Keesokan paginya, ruang perawatan terasa lebih hangat meski sinar matahari menembus jendela dengan lembut.

Husna sudah bangun, duduk sedikit tegak dengan bantal yang menopang punggungnya.

Jovan duduk di samping ranjang, matanya masih merah karena menangis semalam, namun menahan diri agar tidak mengganggu istrinya.

Pintu ruang perawatan perlahan dibuka, dan Arkan masuk dengan membawa gitar akustik di punggungnya.

Ia menatap Husna sejenak sebelum tersenyum hangat.

“Husna, aku sudah siapkan lagu yang kemarin kamu minta,” ucap Arkan pelan, suaranya lembut.

Husna menatapnya dengan mata berbinar, setengah tersenyum meski tubuhnya masih lemah.

“Arkan, kamu benar-benar datang.”

Arkan meletakkan gitar di depan Husna dan mulai menyanyikan lagu yang ia ciptakan khusus untuknya.

Suara gitarnya mengalun lembut, menyentuh hati Husna.

Nada-nada yang ia mainkan seperti menenangkan setiap luka yang masih terasa sakit di tubuhnya.

Jovan duduk di kursi samping, matanya menatap Arkan dengan campuran emosi, kagum, cemburu, tapi juga lega melihat Husna tersenyum mendengar lagu itu.

Ia menahan diri untuk tidak mengganggu momen itu, meski dada terasa panas setiap kali Husna menatap Arkan dengan penuh rasa syukur.

Saat lagu selesai, Arkan tersenyum pada Husna.

“Itu untukmu, Na. Semoga bisa membuatmu sedikit lebih kuat hari ini.”

Husna menunduk, menatap gitarnya, lalu menatap Arkan dengan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih, Arkan. Aku sangat menghargainya. Kamu luar biasa.”

Arkan menatap Jovan sejenak, memberi isyarat sopan bahwa ia akan pergi.

“Aku harus mulai persiapan tur keliling dunia, Husna. Tapi janji, aku akan selalu menyimpan kenangan hari ini di hatiku.”

Husna tersenyum tipis, mengangguk perlahan.

“Selamat jalan, Arkan. Semoga sukses dengan tur musikmu. Aku bahagia kamu ada di sini untukku, setidaknya hari ini.”

Arkan tersenyum hangat, menepuk bahu Husna dengan lembut, lalu berjalan keluar dari ruang perawatan, meninggalkan Husna yang kini menatap pintu dengan perasaan campur aduk.

Jovan menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak, lalu menatap Husna.

“Na, aku tahu hatimu masih ada untuk Arkan, tapi aku tetap ingin berada di sini, menjaga dan mencintaimu. Aku tidak akan pergi kemana-mana.”

Husna menatapnya, setengah tersenyum lemah.

“Van, aku menghargai semua yang kamu lakukan. Terima kasih sudah ada di sini, dan menjaga Ava serta aku.”

Jovan menggenggam tangan Husna dengan lembut, menatap matanya penuh ketulusan.

“Aku akan selalu ada, Na. Bukan karena kasihan… tapi karena cinta.”

Tiba-tiba terdengar tangisan Ava yang lirih dari kamar anak di samping ruang perawatan.

Jovan langsung bangkit dari kursinya, wajahnya langsung berubah serius.

“Anak ayah, jangan menangis,” gumamnya pelan sambil bergegas ke kamar anak.

Ia membuka pintu perlahan dan melihat Ava yang matanya masih berkaca-kaca, menggeliat di tempat tidur kecilnya.

Tanpa ragu, Jovan menggendong putrinya dengan lembut, menenangkan tubuh mungil itu yang bergetar karena tangisan.

“Shhh… nggak apa-apa, Nak. Ayah di sini,” ucap Jovan sambil menepuk punggung Ava pelan.

Ia mengayun-ayunkan putrinya dengan lembut, membelai rambutnya, dan menenangkan napasnya yang tersengal.

Ava menatap wajah ayahnya dengan mata basah, lalu perlahan mereda tangisannya.

“Anak ayah kuat, Mama juga kuat. Jadi nggak perlu takut.”

Ava menempelkan kepala ke dada Jovan, terasa hangat dan aman. Jovan mengayuninya sebentar, memastikan putrinya tenang sebelum kembali menatap pintu ruang perawatan, tempat

Husna sedang menunggu dengan senyum tipis di wajahnya.

“Papa sudah di sini, Nak. Sekarang kita bisa tenang sebentar,” bisik Jovan sambil menatap Husna, menegaskan bahwa mereka akan selalu bersama, saling menjaga.

Sementara itu, di kediaman Ibu Ayu, suasana mendadak tegang ketika terdengar ketukan pintu keras.

Ibu Ayu dan Liliana terkejut saat melihat dua petugas polisi berdiri di depan rumah.

“Kami dari kepolisian. Kami perlu berbicara dengan Liliana Ayu terkait insiden kebakaran rumah Jovan,” ujar salah satu petugas dengan nada tegas.

Liliana, yang semula mencoba bersikap santai, tiba-tiba pucat dan menatap Ibu Ayu dengan panik.

“Apa maksud kalian?” ucap Liliana sambil menggeleng, mencoba mengelak.

“Aku tidak tahu apa-apa!”

“Kami memiliki bukti dan saksi yang mengarahkan penyelidikan kepada Anda. Liliana Ayu, Anda wajib ikut kami ke kantor polisi untuk proses lebih lanjut.”

Liliana menatap sekeliling rumahnya dengan panik, berusaha mencari celah, tapi sia-sia.

Dengan terpaksa, kedua petugas itu menahan tangannya dan membawanya keluar.

Ibu Ayu berdiri terpaku, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, sementara Liliana terus menjerit dan mencoba melepaskan diri.

“Tidak! Ini salah paham! Aku nggak melakukan apa-apa!” teriak Liliana, tapi polisi tetap membawa Liliana pergi, meninggalkan Ibu Ayu yang hanya bisa menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan.

Suasana rumah itu mendadak sunyi, hanya tinggal gema langkah kaki polisi dan suara pintu yang tertutup keras.

Di kantor polisi, Liliana digiring ke ruang interogasi.

Begitu masuk, matanya menangkap sosok salah satu orang suruhannya yang sebelumnya sudah ditangkap, duduk di kursi besi dengan tangan terborgol.

“Kenapa kalian menangkap mereka duluan?” lirih Liliana, suaranya bergetar antara marah dan panik.

Hatinya mulai berpacu, rasa takut dan amarah bercampur. Liliana menyadari posisinya semakin terpojok.

Tanpa menunggu lama, saat perwira polisi keluar sebentar untuk mengambil berkas, Liliana mencoba memanfaatkan kesempatan itu.

Ia menendang kursi dan menabrak meja, lalu berlari ke arah pintu dengan cepat, mencoba kabur.

“Berhenti! Jangan bergerak!” terdengar teriak seorang polisi dari luar ruangan.

Namun Liliana terus berlari, meraba-raba pintu darurat di samping.

Polisi segera mengejar, menembus lorong kantor dengan langkah tergesa-gesa.

Meski berusaha sekuat tenaga, Liliana merasa panik dan kelelahan.

Satu perwira berhasil menangkap lengannya dari belakang, menariknya ke lantai, dan memborgol tangannya.

“Berhenti sekarang! Ini sudah berakhir, Liliana!” tegas polisi.

Liliana berusaha melawan, menendang dan menjerit, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan beberapa polisi sekaligus.

Ia akhirnya terjatuh ke lantai dingin, nafasnya tersengal-sengal, sementara matanya menatap orang suruhannya yang juga terborgol dengan penuh ketakutan.

Di ruang interogasi, Liliana duduk di kursi besi dengan borgol di pergelangan tangannya.

Polisi menatapnya tajam, bersiap untuk mendengar pengakuan yang selama ini mereka curigai.

“Liliana, kami punya bukti cukup untuk menahanmu. Mulai dari perusakan rumah sampai keterlibatanmu dalam rencana pembakaran. Sekarang, ceritakan yang sebenarnya,” tegas polisi.

Liliana menunduk sejenak, napasnya berat. Dengan suara serak, ia akhirnya membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan.

“A-ku yang membunuh Aisyah setelah dia melahirkan Ava…” ucap Liliana dengan lirih, matanya menatap kosong.

Polisi di ruangan itu saling berpandangan kaget.

Mereka selama ini mengira kematian Aisyah adalah akibat komplikasi atau kecelakaan medis biasa.

“Maaf? Kamu mengatakan kalau kamu membunuhnya?” tanya seorang polisi dengan nada tercengang.

Liliana hanya mengangguk pelan, seolah menegaskan kengerian kata-katanya sendiri.

Segera, petugas polisi menghubungi Burak. Suara di ujung telepon terdengar tegang.

“Pak Burak, kami perlu Anda datang ke kantor polisi segera. Ada hal penting terkait kasus kematian Aisyah,” ucap polisi di telepon.

Burak yang sedang di rumah, tidak menyangka akan mendengar kabar yang menghancurkan itu. Wajahnya berubah pucat, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.

“A-pa maksudmu? Bagaimana bisa Aisyah dibunuh oleh Liliana?” gumam Burak, suaranya bergetar penuh ketidakpercayaan.

Ia segera memutuskan untuk bergegas ke kantor polisi, merasa seperti dunia di sekelilingnya runtuh.

Orang yang ia percayai, adik dari Liliana sendiri, ternyata memiliki dendam yang begitu mengerikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!