NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: Putri Harrison

Kedua orang dewasa itu sedang asyik mengobrol sambil tertawa-tawa. Suara mereka yang bersahutan membentuk suasana hangat di ruang keluarga yang luas, dindingnya dihiasi lukisan klasik dan pencahayaan lembut dari lampu gantung kristal yang menggantung megah di tengah ruangan. Namun di tengah tawa itu, Nayara hanya duduk diam. Posisi tubuhnya tegak namun anggun, tangan bertaut rapi di pangkuan, tatapannya tertuju pada dua sosok dewasa di hadapannya. Ia menyimak dengan baik apa yang sedang diucapkan oleh calon mertuanya dan sahabat dari ayah mertuanya tersebut. Ia tahu batas—tidak ingin terlihat lancang dengan menyela pembicaraan para orang tua.

Senyumnya tipis, lebih sebagai respons sopan dibandingkan keterlibatan aktif. Matanya sesekali melirik ke arah Vince yang masih berbincang serius dengan Zevian. Suaranya tak terdengar jelas, hanya gerakan bibir dan anggukan kecil yang menunjukkan bahwa topik mereka sangat penting.

Leonardo, akhirnya menyadari kehadiran Nayara yang sejak tadi hanya diam tanpa bersuara. Ia melirik ke arah gadis itu, matanya menyipit sedikit seolah sedang membaca isi pikirannya. Lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman hangat, mengusir kesan dingin yang sempat tergambar di wajahnya.

“Rupanya kamu sangat pendiam,” ucap Leonardo, suaranya rendah namun jelas, penuh nada ramah yang tidak mengintimidasi.

Nayara menoleh pelan ke arahnya dan membalas senyum itu dengan anggukan kecil. Ada rona lembut yang muncul di pipinya, entah karena malu atau memang canggung menjadi pusat perhatian.

“Mungkin masih canggung saja. Dia memang tidak banyak bicara sejak semalam datang bersama Zevian,” ujar Dira menengahi, suara dan sorot matanya penuh pengertian.

“Ya, sepertimu dahulu—sangat pendiam dan pemalu. Namun ketika waktu terus berjalan, kamu berubah menjadi singa betina yang sangat ganas, sehingga Vince sangat tunduk kepadamu,” ucapnya sambil mengangkat alis dan tertawa pelan, menepuk tangan Dira dengan geli.

“Ah, kamu ingat saja! Tapi jujur saja, dia tunduk karena mencintaiku, bukan karena dia takut. Kalau soal takut, aku lebih takut padanya.” ujarnya dengan tawa yang sedikit menggema. Lalu, ia menghela napas singkat sebelum kembali berbicara.

Ia mengucapkannya dengan senyum kecil, namun di matanya terpantul perasaan yang tulus—sebuah pengakuan yang lahir dari pengalaman panjang bersama seorang pria keras kepala bernama Vince.

“Ayo bergabung dengan mereka,” ucap Leonardo, sembari berdiri dari kursi dan berjalan lebih dulu menuju ruang tamu. Langkahnya tenang namun tegas, menunjukkan posisi alaminya sebagai kepala keluarga.

Zevian, yang sedari tadi berbincang dengan ayahnya, menoleh ketika menyadari gerakan dari sisi ruangan. Tatapannya langsung jatuh pada Nayara yang duduk tak jauh darinya. Sekilas, ia menyapu wajah calon istrinya dengan pandangan dalam, lalu mengangguk kecil—isyarat sederhana bahwa ia ingin Nayara ikut bergabung.

Semua orang mulai berkumpul di ruang tamu yang kini terasa lebih hidup. Ruangan itu dipenuhi aroma teh hangat dan kudapan sore yang telah disiapkan oleh pelayan rumah. Mereka duduk melingkar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan acara pernikahan Zevian—pewaris tunggal keluarga Steel. Raut wajah mereka serius, namun tetap diselingi canda hangat khas keluarga.

“Apa semuanya sudah selesai?” tanya Dira pada sang suami.

Raut wajahnya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia melirik ke arah Vince yang sejak tadi hanya duduk santai di ujung sofa, menyender dengan satu tangan mengusap lembut rambut Valen yang tertidur di pangkuannya. Begitu mendengar pertanyaan itu, Vince mengangkat tubuhnya, duduk dengan tegak, lalu menatap istrinya sambil mengulas senyum tipis yang khas—tenang dan penuh kendali.

“Kami tidak membahas apa pun, hanya tentang pekerjaan,” jawabnya sambil menatap mata Dira, seolah ingin meyakinkan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dira mengangguk pelan, meskipun sorot matanya masih menyimpan pertanyaan lain. Ia menolehkan kepala ke arah sang suami, lalu bertanya lagi dengan nada serius.

“Jadi, soal urusan pernikahan itu… sudah berapa persen persiapannya?” Tatapannya kini tak main-main. Ia ingin memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.

“Sudah sembilan puluh persen, kita hanya perlu datang ke rumah keluarga Nayara untuk meminta restu mereka dalam memberikan putrinya kepada keluarga kita.” jawab Vince mantap.

Nada bicaranya tenang, namun tegas. Seperti biasa, Vince tampak penuh perhitungan dalam setiap kalimat yang ia keluarkan. Dira mengangguk sekali lagi, lalu pandangannya beralih pada Zevian yang duduk di samping Nayara.

“Zevian, perlu mengurus hal lain?” tanyanya kemudian, kali ini langsung kepada putranya.

Zevian, yang sedari tadi mendengarkan dengan tenang, kini mengangguk pelan. Ia merapikan posisi duduknya, bersandar sedikit ke depan dengan kedua tangan disatukan di pangkuan. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menyiratkan bahwa ia tengah memikirkan banyak hal.

“Ya, sedikit. Ada beberapa hal yang harus aku urus bersama Nayara, tapi semuanya tidak akan memengaruhi persiapan ini. Karena ini lebih ke… urusan pribadi kami,” jawab Zevian, suaranya tenang namun terdengar jujur.

Begitu kalimat itu keluar, seisi ruangan langsung menoleh padanya dengan pandangan penasaran. Dira mengerutkan kening tipis, sementara Vince melirik putranya sekilas. Bahkan Leonardo yang tadi tampak tenang, kini memperhatikan dengan lebih seksama. Zevian menghela napas singkat, lalu menambahkan dengan suara sedikit lebih pelan

“Kami harus mengurus banyak hal seperti tempat tinggal dan bagaimana kehidupan kami setelah menikah, Mom.” Nada suaranya terdengar dewasa. Ia tahu, pernikahan bukan hanya soal pesta mewah, tapi juga tentang kesiapan hidup bersama—yang tak semua orang bisa lihat dari luar.

Dira mengangguk kecil, kali ini dengan ekspresi lebih tenang. Ia bisa melihat keseriusan dalam sikap putranya, dan hal itu cukup meyakinkan dirinya bahwa Zevian memang siap mengambil peran sebagai kepala keluarga.

“Kalau begitu… sudah selesai. Tinggal persiapan kedua mempelai saja,” ucap Vince menyimpulkan dengan nada santai namun jelas. Ia kembali menyandarkan tubuh, lalu mengelus pelan kepala Valen.

“Semuanya sudah aku atur. Zevian dan Nayara tinggal mengikuti alurnya saja. Kita akan pergi ke kediaman keluarga Harrison sore ini.” Ujar Dira yang membuat suasana seketika terasa lebih ringan. Semua orang tampak lega mendengar bahwa urusan pernikahan hampir rampung. Namun di balik keseriusan itu, ada rasa haru yang perlahan menyusup di hati masing-masing. Pernikahan anak pertama adalah momen yang tak hanya tentang persiapan, tapi juga tentang melepaskan, dan menyambut babak baru kehidupan.

“The Harrisons? Are you Mr. Anthony and Mrs. Maria Harrison’s daughter? (Keluarga Harrison? Apa kamu anak dari Tuan Anthony dan Nyonya Maria Harrison?)" tanya Leonardo dengan nada penasaran. Nayara mengangguk mengiyakan ucapan sahabat dsri calon ayah mertua nya itu.

“Iya… itu aku,” ucap Nayara, tersenyum tipis. Sorot matanya tenang, seolah hal itu bukan sesuatu yang istimewa baginya—padahal, menyandang nama Harrison jelas bukan hal yang bisa dianggap remeh. Namun Nayara menanggapinya dengan sikap merendah dan datar, nyaris tak menunjukkan emosi.

“Kamu… putri tunggal keluarga Harrison? Sungguh?” tanya Leonardo lagi masih tak percaya, menatap Nayara dengan sorot mata penuh rasa tak percaya. Alisnya terangkat, suaranya meninggi sedikit, menunjukkan keterkejutannya.

“Ya, begitu,” sahut Nayara lagi. Suaranya terdengar lembut, namun tetap tak berubah nada. Wajahnya tetap datar—ada batas tipis antara kerendahan hati dan rasa enggan membahas masa lalu.

Leonardo sontak menoleh, menatap Vince dan Dira secara bergantian, seolah mencari kepastian. Kedua sahabatnya itu hanya mengangguk pelan tanpa berkata-kata. Tatapan mereka menunjukkan bahwa informasi itu memang sudah mereka ketahui sejak awal—dan tidak menjadi masalah. Leonardo kembali menatap Nayara, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut.

“Apa kabar dengan orang tuamu, sayang?” tanyanya perlahan, suaranya terdengar hangat namun penuh kehati-hatian.

“Papa baik-baik saja, Uncle,” jawab Nayara cepat, namun nadanya datar. Tatapannya sedikit menunduk, tak lagi menatap mata lelaki tua di hadapannya. Leonardo mengangguk kecil, lalu bertanya lagi dengan suara yang lebih pelan.

“Lalu… ibumu?”tanya nya yang membuat Nayara terdiam. Matanya mengerjap pelan, lalu bibirnya bergetar saat mencoba menjawab.

“Ibuku…” katanya pelan, namun suaranya tersendat. “Ibuku… sudah meninggal. Dan itu sudah lama…” lanjut nya yang mana ucapan itu nyaris tak terdengar, namun cukup membuat suasana ruangan tiba-tiba menjadi sunyi. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh tanpa suara. Setetes… dua tetes… membasahi pipinya yang pucat. Nayara cepat-cepat mengusapnya, tapi Zevian sudah lebih dulu bergerak.

Tanpa ragu, lelaki itu merangkul tubuh kecil Nayara, menariknya lembut ke dalam pelukannya. Satu tangannya mengusap punggung calon istrinya, menenangkan getaran halus yang terasa. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh kasih dan pengertian.

“Sudah… tidak apa-apa,” bisiknya lirih ke telinga Nayara.

Semua orang di ruangan itu tampak terdiam. Tidak ada yang menyangka bahwa Maria—istri dari Anthony Harrison—telah lama tiada. Anthony sendiri memang dikenal sebagai pria yang sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Tidak pernah sekalipun ia menyinggung tentang istrinya di hadapan publik, apalagi memperlihatkan sosoknya.

Vince dan Dira pun hanya bisa saling pandang. Biasanya, mereka berdua cukup aktif dalam percakapan semacam ini, tetapi kali ini mereka hanya membisu. Mereka sempat mengira bahwa Maria masih hidup, hanya saja memang sengaja tidak ditampilkan ke publik. Namun nyatanya, semuanya jauh lebih menyedihkan dari dugaan mereka.

Kenyataan itu menyelinap pelan, menampar kesadaran bahwa tak semua keluarga besar menampilkan apa yang sebenarnya terjadi di balik nama dan kekuasaan. Leonardo menatap Nayara dengan sorot mata penuh simpati.

“Maafkan, Uncle... Uncle tidak tahu kalau ibumu sudah pergi,” ucapnya pelan, nada suaranya terselip kesedihan yang tulus.

Nayara mengusap air matanya perlahan, membiarkan Zevian tetap merangkulnya dengan hangat. Ia sadar betul, jika sampai menolak pelukan itu, hubungan mereka yang selama ini hanya didasari balas budi dan rasa tanggung jawab bisa saja menjadi bahan perbincangan semua orang di ruangan ini. Nayara tak ingin menghancurkan kepercayaan Dira dan Vince yang sudah tulus menerima dirinya sebagai calon menantu. Jadi, dia memilih diam dan membiarkan Zevian mengusap punggungnya dengan lembut, menjadi sandaran di tengah kerentanan hatinya.

Dengan tatapan yang teduh dan menenangkan, Nayara mencoba menguatkan diri dan berkata pelan untuk menjawab ucapan Leonardo.

“Ah, tidak apa, uncle. Aku hanya terbawa suasana saja maafkan aku juga, kadang aku memang sensitif kalau membahas Mama. Aku juga tidak menyangka akan menikah secepat ini, jadi rasanya makin sensitif saja.” katanya, suara bergetar sedikit tapi berusaha tersenyum.

Di balik senyumnya yang berusaha terukir, hati Nayara terasa begitu pedih. Kenangan kelam beberapa tahun lalu muncul kembali—betapa ibunya didorong oleh ayah kandungnya sendiri. Luka itu meninggalkan trauma yang dalam, membuatnya takut menikah dengan siapa pun. Ia pernah berpikir, semua pria di dunia ini pasti kejam dan tak punya hati. Namun takdir berkata lain. Zevian hadir dalam hidupnya, membawanya pada pilihan yang tak bisa ia tolak, jalan yang sudah dituliskan Tuhan sejak lama.

Leonardo mengulas senyum tipis di wajahnya, menenangkan suasana yang sempat canggung itu. Namun, sebelum suasana bisa terlalu larut dalam keheningan, suara seorang pria memecah kesedihan Nayara yang hampir saja meliputi seluruh ruang. Semua mata pun menoleh ke arah suara tersebut, penasaran akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Hey, the handsome guy’s here!” seru Aditya lantang sambil membuka pintu utama, langkahnya ringan dan senyumnya lebar. Aura percaya diri terpancar jelas dari raut wajahnya, seolah dirinya benar-benar bintang utama dalam rumah megah milik keluarga Steel malam itu.

Pria yang sedang dibicarakan sebelumnya itu datang dengan membawa setumpuk tas belanja dan satu boks besar di tangannya. Ia nyaris menabrak vas porselen mahal di samping pintu masuk.

"Jangan teriak-teriak di rumahku. Sudah membawa masalah, datang tanpa rasa bersalah," ucap Zevian dingin, nadanya penuh kejengkelan.

Aditya hanya tertawa kecil, senyumnya miring. Ia melenggang santai ke sofa besar di dekat ayahnya, lalu menjatuhkan diri ke dudukan empuk itu dengan ekspresi puas, seolah sedang duduk di atas takhta kerajaan.

"Apa sih anak ini? Baru juga datang sudah marah-marah. Tidak ada sopan santunnya pada tamu. Sekolah di Oxford, tapi sikapnya nol besar," ucap Aditya dengan nada menggoda, meskipun ada sedikit kesal dalam ujung suaranya.

"Tamu sepertimu tidak perlu dihargai," balas Zevian tajam sambil melangkah mendekat, berdiri di hadapan Aditya dengan tangan yang kini masuk ke dalam saku celananya. "Lebih baik aku kuliah di Oxford tapi tidak menghargai tamu, daripada kau yang sekolah di Harvard tapi pekerjaannya hanya mengadu pada orang tua." Lanjut nya yang membuat Aditya mendengus keras. Ia menegakkan punggung, membusungkan dada dengan gaya dramatis, lalu menunjuk Zevian seolah sedang berdebat di ruang sidang kampus.

"Dengar, Tuan Muda Steel. Biaya pendidikan di Harvard itu hanya $48.008 USD—per tahun!" serunya bangga. "Sedangkan kau menempuh pendidikan di Oxford, universitas terbaik... Sia-sia uang Om Vince selama ini!" Ucapannya disusul tawa lebar dan keras, menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa pelayan yang lewat melirik heran.

"Dasar gila... Itu hanya selisih beberapa juta!" balasnya sengit.

Mereka saling menatap tajam selama beberapa detik, sebelum akhirnya Aditya tertawa lagi, dan Zevian, dengan enggan, ikut menyeringai tipis. Seperti biasa—ribut, sindir-sindiran, tapi tetap saling ada. Seperti dua sisi mata uang: tak bisa bersatu, tapi tak bisa terpisah juga.

“Kalian ini ada apa? Setiap kali bertemu, pasti saja berakhir dengan pertengkaran. Aneh sekali. Aku yang kuliah di Strasbourg saja bisa diam, kalian malah ribut tak karuan,” ujar Vallen seraya memutar bola matanya, jelas menunjukkan rasa malas mendengar perdebatan antara dua kakaknya yang tidak kunjung usai.

“Apa hubungannya dengan Strasbourg? Kami sedang membicarakan Harvard dan Oxford,” balas Zevian dengan sorot mata tajam ke arah adiknya itu, ekspresinya jelas tak menyukai interupsi konyol Vallen. Aditya pun ikut melirik Vallen dengan tatapan tak kalah sengit.

“Jelas ada perbedaannya! Aku kuliah di kota yang futuristik dan elegan, tapi tetap bisa menjaga sikap. Lihat diri kalian sendiri,” sahut Vallen tak mau kalah, kedua alisnya terangkat tinggi seakan ingin menekankan pernyataannya. Ucapannya itu sukses membuat Vince, Dira, dan Leonardo terkekeh mendengar gaya bicara Vallen yang terlihat seperti kehabisan argumen, namun tetap bersikeras untuk mengemukakan pendapat.

“Ish… mau kau kuberi pukulan, hah?” gerutu Zevian sambil bangkit dari duduknya, lalu tanpa ragu menjepit lengan Vallen dengan cubitan kecil yang membuat gadis itu berteriak pelan. Meski terlihat kesal, di balik itu terselip rasa sayang yang tak pernah padam. Zevian memang mudah tersulut oleh sikap adiknya, tapi justru itulah hal yang paling dia rindukan saat mereka berpisah.

Bagi Vallen sendiri, Zevian bukan hanya sekadar kakak sulung—ia adalah sosok pelindung, sekaligus teman berbagi yang selalu hadir dalam kondisi apa pun. Meskipun ia sering takut akan aturan-aturan tegas sang kakak yang tidak berbeda jauh dengan peraturan sang ayah, namun kasih sayang yang mereka miliki tak pernah berkurang sedikit pun.

“Daddy, sakit… Kak Zevian kasar sekali,” rengek Vallen dengan manja, menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah, mencoba mencari perlindungan dari Zevian yang masih terlihat kesal. Vince menghela napas panjang, lalu meneguk minuman kesukaannya sebelum akhirnya membuka suara.

“Sudahlah… kalian ini kenapa? Setiap kali Daddy di rumah, pasti saja ribut. Tidak pernah membuat suasana tenang. Dan kamu, Zevian, berhentilah main tangan. Lihatlah calon istrimu, dari tadi ia hanya memperhatikan kalian dalam diam.” Ucapan itu membuat Zevian spontan menoleh sekilas ke arah Nayara yang memang sedari tadi memperhatikan dinamika keluarga itu dengan sorot mata penuh makna. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi jelas sekali bahwa pikirannya sedang merekam segalanya.

Sementara itu, Leonardo tampak sibuk menatap layar ponselnya, seolah tidak terusik oleh keributan kecil tersebut. Dira pun demikian, jemarinya terus menggulir layar tablet yang dibawa oleh suaminya tadi. Entah sedang membaca laporan atau hanya sekadar mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk yang mendadak seperti ruang kelas tanpa guru.

Zevian melirik sekilas ke arah Nayara, dan benar saja—gadis itu tengah menyimak perdebatan antara dirinya dan Aditya. Tatapannya tenang, tidak banyak bicara, hanya diam sembari memperhatikan dengan saksama.

"Apa sangat sakit?" tanya Aditya tiba-tiba. Sambil berkata demikian, Aditya melirik singkat ke arah Vallen—memberi isyarat tak langsung agar gadis itu membantu mencairkan suasana yang mulai terasa janggal di antara Zevian dan Nayara.

Vallen menangkap maksud itu dengan cepat. Ia tersenyum kecil, senyuman yang tidak hanya manis, tetapi juga penuh pemahaman. Melihatnya, Vince dan Leonardo saling pandang sejenak, lalu keduanya tersenyum bersamaan—seakan mengerti betul pola tingkah anak-anak mereka yang kadang sulit ditebak, namun tetap menggemaskan.

"Ya, sakit sekali. Dia memang tidak berperikemanusiaan," ucap Vallen dengan suara dibuat-buat seolah tengah mengeluh, namun nadanya jelas menyindir Zevian. "Andai saja kakak yang menjadi kakakku," tambahnya, mengangkat kedua alis dan memutar bola mata sambil menoleh singkat ke arah Aditya.

Ucapannya itu berhasil memancing tawa kecil dari beberapa orang di sekitar mereka, termasuk Vince dan Leonardo. Namun berbeda dengan yang lainnya, Nayara tetap diam, Zevian hanya mendesah pelan tanpa menanggapi, dan Dira masih saja asyik menatap layar tablet-nya, seolah tidak mendengar apapun.

"Ya... terkadang dunia tidak berjalan seperti yang kita inginkan," ujar Aditya sambil menatap Vallen dengan tatapan yang lembut namun mengandung makna. Vallen hanya mengangguk, lalu menambahkan dengan suara yang terdengar ringan, meski jelas sedang menggoda.

"Sebenarnya, aku bisa saja kalau mau jadi adik kakak... tinggal menikah saja, kan, dengan Reno? Selesai." Ucapannya itu disampaikan dengan santai, seolah pernikahan adalah hal sepele yang bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Namun ucapan itu cukup membuat Aditya menautkan kedua alisnya, tanda heran sekaligus tak percaya.

"So you still like my little brother? (Jadi kamu masih menyukai adikku?)" tanya nya, nada suaranya datar namun matanya menyipit sedikit, memperlihatkan keterkejutan yang berusaha ia sembunyikan.

"Of course! I always have. (Tentu saja! Aku memang selalu menyukainya.)" jawab Vallen mantap, tanpa sedikit pun keraguan. Matanya berbinar saat menyebut nama Reno, menunjukkan bahwa perasaannya tidak main-main. Ia tidak malu mengakuinya, bahkan di hadapan keluarganya sendiri.

“Anak ini... masih kecil tapi sudah membicarakan hal seperti itu,” ucap Dira dengan nada kesal. Meski matanya tetap terpaku pada tablet di tangannya, telinganya tak luput menyimak percakapan putrinya.

“Aku hanya ingin belajar menjadi wanita dewasa, Mommy,” jawab Vallen dengan suara lembut, pandangannya menatap sang ibu penuh harap.

“Belum saatnya kamu menjadi dewasa, jadi jangan sok-sokan bersikap seperti orang dewasa,” sahut Dira tegas, masih bersikeras tidak ingin kalah dalam perdebatan kecil itu.

“Apa salahnya belajar? Lagipula usiaku sudah cukup dewasa,” ujar Vallen sambil memutar bola matanya, menunjukkan kekesalan yang mulai muncul karena sang ibu terus saja menyebutnya ‘anak kecil’.

“Siapa yang bilang?” tanya Dira tajam.

“Daddy, Kak Ze... bahkan Rocky pun bilang aku sudah dewasa,” jawab Vallen cepat, menyebut satu per satu orang yang menganggap dirinya bukan anak-anak lagi.

“Bagi Mommy, kamu tetap anak kecil,” tukas Dira sambil akhirnya meletakkan tablet-nya di pangkuan. Tatapannya kini lurus mengarah ke wajah sang putri.

“Tapi aku bukan anak kecil, Mommy,” tegas Vallen. Kali ini, kekesalan di wajahnya tak bisa lagi ia sembunyikan. Nada suaranya meninggi, mencerminkan bahwa ia benar-benar tidak suka terus dianggap kecil. Vallen menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Matanya mulai berair karena kesal yang tertahan, lalu tanpa sadar suaranya meninggi, meluncur begitu saja tanpa sempat ia tahan.

“Mommy selalu saja seperti itu! Selalu menganggapku anak kecil! Bahkan ketika aku bicara serius pun Mommy tetap meremehkan—kenapa sih Mommy selalu sesuka hati sendiri?!” Nada suaranya terdengar getir. Kalimatnya kasar, dan seketika membuat ruang keluarga itu terasa hening.

Dira mematung. Tatapannya berubah dingin, sementara tablet yang semula berada di pangkuannya kini perlahan ia letakkan ke meja kaca di depannya. Sementara itu, Vince yang sejak tadi hanya menyimak percakapan anak dan istrinya dari sisi sofa, akhirnya membuka suara dengan nada rendah namun tegas dan menusuk.

“Vallen! Jaga ucapanmu. Kau bicara pada ibumu, bukan teman sebaya.” panggilnya pelan, namun tajam, nada suaranya seolah menghentikan detak jantung Vallen. Tubuhnya refleks menegak. Mata yang semula berkaca-kaca kini membulat panik. Tak biasanya sang ayah berbicara sekeras itu, dan kini tatapan tajam pria yang selalu ia hormati itu membuat nyalinya menciut.

“A...aku tidak bermaksud begitu, Daddy...” Vallen berusaha berkata, suaranya bergetar.

“Tidak ada alasan kalau kau sudah merasa dewasa, mulailah bersikap seperti orang dewasa. Dewasa itu tahu cara bicara yang layak, bukan sekadar bisa jatuh cinta atau mengambil keputusan sesuka hati.” potong Vince dingin.

Vallen sontak menunduk, bahunya menegang. Dan seperti anak kecil yang baru saja dimarahi guru di depan kelas, ia pun perlahan mendekat ke sisi ibunya dan merapat, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Dira, bersembunyi di sana.

Dira menghela napas pelan, namun tangannya tetap mengusap lembut kepala putrinya, seolah memberi isyarat bahwa meskipun Vallen bersalah, ia tetap sang ibu yang akan menjadi tempat berlindung.

Sementara itu, Zevian yang duduk bersandar santai di sandaran sofa hanya tersenyum miring melihat adegan itu. Aditya yang duduk di sampingnya menyikut pelan lengan sahabatnya, lalu menggeleng dengan tawa kecil tertahan.

“Padahal baru semenit lalu dia ngotot mau jadi dewasa,” gumam Aditya lirih. Leonardo yang duduk tak jauh dari mereka ikut terkekeh tapi tidak ikut bicara.

“Coba Daddy marah sedikit, langsung berubah jadi anak tiga tahun,” celetuknya pelan.

Meski semua orang di ruangan itu berusaha menahan tawa, hanya satu orang yang tetap tak menunjukkan perubahan ekspresi. Nayara duduk tenang, pandangannya lurus, tanpa reaksi berarti, seolah sengaja membiarkan seluruh percakapan mengalir begitu saja. Sementara itu, Vince—dengan elegan dan wibawa yang tak pernah luntur—menyesap kembali minuman kesukaannya dengan tenang, seolah seluruh kekacauan tadi tidak pernah terjadi.

Namun Vallen tahu betul, ayahnya bukan pria biasa. Bukan sosok yang bisa ditaklukkan dengan rengekan manja atau pembelaan emosional. Sekali dia membuka suara, seluruh ruangan akan tertunduk—dan diam.

“Walaupun kamu sudah dewasa, kamu tetap masih kecil untuk kami, Sayang,” ujar Dira lembut. Tangannya perlahan mengusap punggung Vallen yang kini bersandar pada dirinya, mencari perlindungan dari nada tegas sang ayah.

"Aku hanya ingin dianggap dewasa, Mom... Mommy bisa menyebut Kak Ze dewasa, tapi tidak padaku. Mereka semua bilang aku sudah dewasa, tapi kenapa setiap kali aku bicara, ucapan aku tidak pernah dianggap?" ucap Vallen nyaris bergetar.

Dira menatap putrinya dengan penuh pengertian, meski ia tetap mempertahankan pendiriannya sebagai ibu yang ingin melindungi kepolosan anaknya. Sementara itu, di sisi lain sofa, Aditya menyikut pelan bahu Zevian.

"Drama Queen mulai beraksi," bisik Aditya pelan.

Zevian yang sedari tadi hanya menyimak, menahan tawa yang hampir meledak. Ia melirik ke arah Vallen lalu membalas.

"Dia cocok sekali jadi aktris. Harusnya disekolah kan ke LA, bukan Strasbourg." Ujar zevian yang membuat keduanya menahan geli, menggibah sang adik seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan teatrikal yang sengaja disusun untuk menghibur.

Dira mengusap rambut Vallen dengan lembut, lalu mengembuskan napas panjang, menatap dalam ke mata putrinya yang mulai berkaca-kaca.

“Sayang, menjadi dewasa itu bukan hanya soal usia, bukan pula tentang seberapa sering kamu mendengar orang lain memanggilmu ‘dewasa’. Tapi tentang bagaimana kamu bersikap, berpikir, dan menyikapi sesuatu dengan bijaksana. Mommy tahu kamu tumbuh cepat, bahkan terlalu cepat… tapi kadang, Mommy ingin kamu tetap jadi anak kecil Mommy. Yang bisa Mommy peluk, yang bisa Mommy tegur tanpa kamu membalas,” tutur Dira lembut, namun tegas.

Vallen menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak emosi dalam dadanya. Ia tak menjawab, hanya menunduk sembari menggenggam ujung bajunya sendiri. Ada rasa tidak terima, tapi juga ada rasa bersalah karena telah menjawab sang ibu dengan nada tinggi sebelumnya.

Vince akhirnya meletakkan gelasnya ke meja kaca dengan suara ‘tak’ yang pelan namun cukup membuat seluruh ruangan kembali hening. Tatapannya mengarah lurus ke Vallen, tajam namun tidak meledak.

“Dengarkan ibumu, Vallen menjadi dewasa bukan berarti kamu bisa membantah orang tuamu seenaknya. Kamu ingin kami mendengarkanmu? Maka belajarlah untuk bicara dengan cara yang pantas. Kamu tidak sedang bicara dengan teman seumuranmu, kamu sedang bicara dengan ibumu—perempuan yang mengandung dan membesarkanmu.” ujar Vince pelan, namun penuh wibawa.

Vallen meneguk ludahnya perlahan. Suara ayahnya memang tidak tinggi, tapi ada tekanan besar yang mengintimidasi. Ia tak sanggup menatap wajah Vince, bahkan ia semakin merapat ke sisi Dira dan memeluk lengan ibunya erat-erat. Sementara itu, Aditya dan Zevian masih saja berbisik-bisik di sudut sofa.

Suasana perlahan mereda. Hanya terdengar suara napas berat Vallen yang sesenggukan pelan, disertai air matanya yang mengalir diam-diam. Dira masih mengelus punggung putri bungsunya itu, memberikan kenyamanan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

“Naya, kenapa diam saja, sayang?” tanya Dira lembut, berusaha mengalihkan ketegangan yang masih menggantung di udara. Meski pelukannya belum terlepas dari tubuh Vallen, perhatian Dira sepenuhnya teralih pada Nayara yang duduk tenang di seberang ruangan, seolah tak peduli pada apa pun yang baru saja terjadi.

Namun Dira tahu—atau paling tidak menebak—bahwa Nayara menyimpan sesuatu. Diamnya bukan tanpa sebab. Ia masih tersinggung atas ucapan Leonardo sebelumnya tentang sang ibu yang telah tiada. Walau Nayara tak menunjukkannya secara langsung, Dira cukup peka untuk menyadari perubahan sikapnya.

“Tidak ada apa-apa, Mom. Oh, ya... kapan kita akan pergi ke butiknya? Apa masih lama?” tanya Nayara pelan, suaranya terdengar ragu.

“Ayo, kita pergi sekarang saja, sayang. Kamu ada acara, kan, di kampus?” sahut Dira penuh pengertian. Ia tahu betul betapa sibuknya calon menantunya itu, terutama sekarang, ketika Nayara sedang bersiap memasuki masa koas.

“Ya, Mom. Terima kasih,” ucap Nayara, lalu menatap Zevian sekilas.

“Kami pergi dulu. Mungkin sebaiknya kita mulai bersiap untuk kunjungan ke kediaman keluarga Harrison nanti sore,” ucap Dira sambil berdiri dan melepas pelukannya dari tubuh Vallen. Ia merapikan tas tangannya sejenak.

“Itu bisa diatur,” jawab Vince, singkat namun mantap. Dira mengangguk menyetujui.

“Kamu cepat mandi, jangan keluar rumah kalau tidak perlu. Kalau mendesak, izin dulu pada Mommy atau Daddy, paham?” ujar Dira pada Vallen dengan nada tegas. Tapi Vallen tidak menjawab. Ia hanya bangkit tanpa suara dan mulai melangkah pelan menuju kamarnya.

“Vallentina Clarissa,” panggil Vince yang membuat langkah gadis itu terhenti. Ia menoleh sekilas, lalu menjawab dengan nada setengah kesal.

“Iya, paham,” dan kembali melanjutkan jalannya.

“Hati-hati di jalan, honey,” ujar Vince, lalu mengecup singkat bibir istrinya sebelum Dira benar-benar melangkah pergi. Dira hanya mengangguk, membalas dengan senyum singkat, dan tak lupa berpamitan pada Aditya dan Leonardo—yang masih sibuk dengan ponselnya, nyaris tidak terusik oleh segala peristiwa yang terjadi di ruang tamu itu.

Dengan langkah mantap, Dira dan Nayara pun keluar dari rumah, bersiap menuju butik untuk memilih gaun pengantin yang akan dikenakan Nayara dalam pernikahannya bersama Zevian kelak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!