"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Urus Keluarga Ahli Surgamu!
"Enggak usah kotorin tangan kamu, Mas. Kalau kita melakukan hal seperti itu, apa bedanya kita sama mereka." Luna tersenyum lembut pada suaminya. "Mas terlalu berharga untuk melakukan hal yang sia-sia. Mereka tidak pantas mendapatkan usahamu."
Dalam posisi seperti ini, Arsen terdiam. Sebetulnya dia sudah memprediksi kalau Luna akan menjawab tidak perlu, tapi kalimatnya itu .... Kenapa Arsen merasa kalau Luna perduli padanya?
Kedua tangan Bu Dewi mengepal, begitupun dengan tangan Nayara. Di belakang punggung Nayara, Zea masih saja sembunyi. Dan ketika dia mengintip, tatapannya yang langsung beradu dengan tatapan Arsen sehingga dia buru-buru menghindar.
"Aku ke toilet, dulu," kata Zea.
Di sisi lain, Pak Hendra berusaha untuk mendekati Luna dan Arsen. Kemudian dia meminta maaf untuk kesalahan yang sudah dilakukan istrinya. Dia terus mengatakan kalau istrinya khilaf, mungkin karena terlalu lelah dan lain sebagainya. Mereka bicara seolah-olah Arsen adalah orang bodoh yang tidak tahu apapun.
Tak berselang lama, Safira ikut menghampiri. Karena sejak tadi dia hanya diam, kini dia penasaran karena namanya disenggol.
"Sebetulnya ini ada apa?" tanyanya. Safira kemudian melirik Aluna yang tampak sangat cantik. "Mbak yang waktu itu di rumah Ayah Hendra kan? Mbak ada masalah kah sama keluarga kami?"
Dengan senyum di bibir Aluna menggelengkan kepalanya kemudian mengulurkan tangan.
"Selamat untuk pernikahan Mbak Safira dengan Pak Adit, kami hanya rekan kerja. Dan ... Kalau ada yang memiliki masalah, itu keluarga kalian." Senyum di wajah Luna semakin melebar, lagi-lagi membuat Safira bingung.
"Saya tidak tahu kalian memiliki masalah apa, tapi mumpung udah di sini, makanannya ...."
"Maaf sebelumnya, Mbak." Luna melirik beberapa stan makanan yang ada di tempat itu, kemudian tersenyum agak sedikit meremehkan. "Suami saya sudah memiliki janji di luar, kami ke sini hanya mampir, kebetulan lewat."
Gengsinya .... Padahal persiapan juga sudah sedemikian rupa. Tapi ya begitulah.
Bukan hanya Luna, Arsen juga menarik ujung bibirnya lalu menepuk bahu Aditya dan berbisik di sana.
"Terima kasih karena sudah sadar diri, Pak Aditya. Anda dan keluarga Anda memang tidak akan pantas memiliki Luna. Selamat untuk pernikahanmu."
Kedua tangan Aditya mengepal, pria itu benar-benar ingin menghajar Arsen, tapi tidak bisa melakukan itu karena karirnya akan terancam. Namun, Arsen ini benar-benar sangat menyebalkan. Bagaimana bisa dia menikahi Luna, tanpa resepsi, tanpa apapun. Mereka bohong, kan .... Dia yakin Luna bukan perempuan seperti itu.
** **
Ketika hendak pergi, Arsen malah ditahan oleh seseorang, mungkin kolega atau apa pun itu karena mereka mengobrol. Ketika itu dia masih tidak melepaskan Luna, sampai akhirnya Luna membisikan sesuatu dan Arsen melepaskannya.
Helaan napas keluar dari mulut Luna, perempuan itu bingung saat merasakan hal yang baru dia rasakan saat ini. Sesak dan lega di saat bersamaan. Dia masuk ke toilet, hanya untuk merapikan riasan sambil istirahat dari wajah Arsen dan Aditya.
"Mereka benar-benar Menyebalkan," kata Luna. Kini dia mencuci tangannya di wastafel. "Mereka selalu memikirkan akhirat, tapi kenapa seperti itu pada manusia?"
Selesai merapikan make up, dia pun keluar dari toilet. Hendak kembali pada suaminya saat tiba-tiba tangannya ditarik seseorang sampai menghilang dari lorong.
Pria itu memojokkan Luna ke dinding, menatapnya dengan tatapan dalam penuh kecewa.
"Dek, apa yang kamu lakukan, hah? Kenapa kamu kayak gini. Harus emangnya bohong sama semua orang? Demi balas dendam sama mas?"
"Apa?" kaget Luna. Dia memejamkan mata untuk beberapa saat, lalu kembali mendongak dan menatap Aditya tajam. "Kamu bilang aku bohong? Demi balas dendam sama kamu?"
"Dek ...."
"Udah deh, Pak Adit!" balas Luna sengaja memotong ucapan pria di depannya. "Jangan selalu berpikir kalau bumi berputar mengitari Pak Aditya. Saya mau menikah dengan siapa, itu juga urusan saya, kenapa Bapak yang repot sih. Dan saya mohon, jangan bicara kayak gitu sama saya, kita itu cuma punya hubungan profesional dalam lingkup ruang kerja , enggak lebih dari itu."
Luna hendak pergi, tapi lagi-lagi Aditya menahan pergelangan tangannya sampai Aluna kembali tertarik.
Pria itu menatap mata Luna dengan tatapan sulit diartikan. Luna juga terdiam tat kala melihat mata mantan pacarnya berkaca-kaca.
"Kenapa harus Pak Arsen, Luna? Aku enggak mau dia manfaatin kamu."
"Kenapa dia manfaatin saya? Emangnya saya punya apa?"
"Dek ...."
"Udahlah, Pak. Jangan ganggu saya lagi! Saya bisa lapor polisi kalau Bapak terus kayak gini." Ia menepis tangan Aditya.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku, Dek. Kamu bukan orang yang mudah jatuh cinta, aku tahu. Jadi, menjauh dari pria sembarangan!"
"Apa menurutmu saya pria sembarangan," ujar seseorang.
Seketika Luna dan Aditya menoleh, mereka berdua melihat sosok itu, pria penuh wibawa yang mengulurkan tangannya.
Sontak Luna tersenyum, dengan kesadaran penuh dia berjalan cepat ke arah Arsen dan memeluknya, tanpa menerima uluran tangan sang suami.
"Kakiku sakit, Mas." Luna mendongak dengan mata berkaca-kaca.
Sebetulnya Arsen masih ingin bicara dengan Aditya, pria lancang yang sudah menculik istinya. Namun, dia juga tahu kalau Aluna masih belum nyaman, atau mungkin, kakinya memang benar-benar sakit.
"Kita pulang sekarang, Sayang."
Pria itu menggendong Aluna, sementara sang perempuan memeluk leher suaminya. Ketika sudah berbalik, Arsen menoleh ke belakang, menatap kembali kepada Aditya dengan tatapan sinis.
"Dari sisi manapun, saya lebih layak dan lebih bisa menjaga Aluna, Aditya. Urus saja keluargamu yang ahli surga itu!"
Di tempatnya berdiri, Aditya mematung, jantungnya berdebar lebih kencang. Kepalanya panas dan ada bara merah di dadanya saat ini.
Mata itu terus menatap punggung Arsen yang menggendong Aluna, menjauh meninggalkan dia sendirian dalam kemarahan dan cemburu yang amat sangat besar.
** **
Di tempat lain, Nayara tampak menangis dan marah kepada ibu dan juga ayahnya. Dia terus mengomel lantaran pria yang dia incar ternyata malah direbut Aluna.
"Kita harus gimana, Bu? Kalau kayak gini nanti Aluna besar kepala? Kenapa Pak Arsen harus nikah sama dia sih?"
Bu Dewi menghela napas, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, malah tersenyum saat bertemu tatap dengan besannya.
Dia masih tidak percaya, sama sekali tidak akan percaya kalau Arsen itu ternyata Bossnya Luna juga. Lalu, kenapa bisa pria itu menikahi perempuan yang jelas-jelas tidak setara dengannya.
"Aku punya ide!" ucap Zea.
Bu Dewi dan Nayara menoleh, mereka berdua menatap Zea dengan bingung.
"Apa maksudmu, Zea? Ide apa?"
"Ide buat bikin O-eumm, Pak Arsen pisah sama Mbak Aluna."
"Caranya?"
Zea menarik ujung bibirnya. Setelah itu, dia mendekat dan membisikan sesuatu yang mana hal itu membuat Bu Dewi dan juga Nayara ternganga terkejut.
"Ka-kamu, kamu enggak bohong kan?"
jadi maksudnya apa ya?????