Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpaksa menikah
Sebelum Syima bisa menenangkan diri, pintu suite terbuka. Devanka masuk dengan wajah cemas, diikuti Ahmad, Rama, Dewi, dan Sinta.
"Syama udah sadar, Syi?" tanya Devanka, matanya mencari ke seluruh ruangan. "Syama-nya ke mana?"
Syima berdiri dengan wajah pucat, menatap orang-orang yang menunggu jawaban. "Syama kabur, Pak," ucap Syima pelan, tapi cukup membuat semua orang terkejut. Dia menyerahkan surat itu pada Devanka dengan tangan yang masih gemetar.
Devanka membaca surat itu dengan cepat. Wajahnya yang tadi penuh harapan perlahan berubah menjadi pucat, lalu memerah karena marah dan kecewa.
"Tidak mungkin..." bisiknya dengan suara bergetar. "Dia tidak mungkin melakukan ini."
Ahmad membaca surat itu dari belakang bahu Devanka, wajahnya berubah merah padam. "Syama..." Suara Ahmad terdengar berat dan bergetar. Ada berbagai luapan emosi tersimpan di sana. "Bagaimana dia bisa melakukan ini pada kita."
Di samping Ahmad, tubuh Dewi gemetar, air mata mengalir deras. "Ya Tuhan… kenapa jadi begini?" Ahmad hanya bisa menepuk bahunya, berusaha tegar meski wajahnya jelas hancur.
"Tadi bukannya kamu nunggu Syama di sini?" tanya Sinta terdengar bingung.
Syima mengangguk kaku. "Iya, Tan. Tapi aku tadi jemput dokter ke bawah. Aku titip jagain Syama ke Mba yang merias. Pas aku ke sini, Syama udah gak ada."
Mendengar penjelasan Syima, Devanka langsung mencari orang yang merias Syama. Wanita bernama Ayu itu berdiri di depan pintu, wajahnya ketakutan bercampur bingung.
"Kemana istri saya?" tanya Devanka penuh ancaman dan amarah yang ditahan.
"Maaf... maaf, Pak, Bu... Saya tadi dimintai tolong sama Mba Syama. Katanya Mba Syama masih belum siap. Dia minta tolong saya untuk membantunya pergi, tadi saya tolak. Cuma Mba Syama malah ambil gunting dari meja, mengancam mau bunuh diri kalau gak diturutin," jawab Ayu dengan tergesa.
"Bunuh diri? Saking gak mau menikahnya dia sampai mengancam untuk bunuh diri?" tanya Devanka tidak menutupi kekecewaannya.
"Kamu hanya perlu memintaku membatalkan ini, aku pasti batalin buat kamu kok, Sya," gumam Devanka pada diri sendiri.
Devanka berjalan menuju ranjang, duduk di sana, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, diikuti Sinta yang sudah basah oleh air mata. Tangannya mengusap punggung anak sulungnya, berusaha memberikan ketenangan bagi pria itu.
Belum reda keterkejutan mereka, suara Rama terdengar tegas dan geram. "Pak Ahmad, kita harus ambil keputusan cepat. Kita tidak mungkin tiba-tiba menyuruh tamu bubar karena pengantin wanita kabur."
"Terus kita harus bagaimana? Kenyataan memang begitu," Ahmad memijat keningnya yang berdenyut.
"Kita tidak bisa seenaknya. Ini akan jadi skandal besar, reputasi keluarga kita akan hancur," kata Rama dengan wajah panik. "Belum lagi resepsi malam ini. Saya sudah mengundang para pejabat, beberapa menteri, bahkan presiden pun sudah konfirmasi akan datang!"
"Pa.. jangan dulu mikirin soal tamu. Kenapa kita gak cari dulu Syama," pinta Sinta di sela isakan.
"Memang kita harus memikirkan itu, yang kita undang bukan orang sembarangan. Lagian mau cari di mana?! Syama pergi dengan keinginan sendiri, tidak mudah mencarinya," jawab Rama sangat marah.
Devanka yang masih memegang surat Syama menatap kosong lantai. Hubungan mereka yang sudah tiga tahun, persiapan pernikahan selama berbulan-bulan, semuanya hancur dalam sekejap.
"Bu, duduk dulu. Ibu gak apa-apa kan??" tanya Syima pelan, sambil menyentuh lengan Dewi yang menangis di pelukan Ahmad.
Sinta menoleh menatap Syima yang tengah membimbing ibunya duduk di kursi, tiba-tiba angkat bicara dengan suara pelan namun tegas. "Kita masih bisa melanjutkan pernikahan."
"Dilanjutkan gimana? Pengantinnya kabur," kata Rama frustasi.
"Dengan Syima," jawab Sinta, membuat semua mata tertuju padanya. "Izinkan Devanka menikahi Syima, Pak Ahmad."
Keheningan total menyelimuti ruangan. Semua orang menatap Sinta dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Devanka yang masih terkejut pun dibuat tidak percaya dengan saran ibunya.
"Apa maksud Ibu?" tanya Dewi dengan suara bergetar.
"Maksud saya, mereka kan kembar identik. Secara fisik hampir tidak ada bedanya. Para tamu di bawah tidak akan tahu kalau yang menikah adalah Syima, bukan Syama," jelas Sinta dengan nada yang semakin yakin.
"APA?!" teriak Syima dengan mata menyala marah. "Itu ide paling gila yang pernah aku dengar! Aku nggak akan nikah sama suami kembaranku sendiri!"
"Syima, jangan dulu menyela, dengar dulu—" Ahmad mencoba bicara dengan suara lelah.
"Nggak ada yang perlu didengar!" Syima berdiri dengan emosi yang meluap. "Aku nggak akan nikah sama orang yang nggak aku kenal! Tidak mungkin. Maaf, Tante, aku nggak bisa ikuti maunya, Tante."
Rama yang mendengar perdebatan itu langsung angkat bicara dengan nada yang lebih tegas. "Sebentar, Syima." Rama meminta Syima untuk diam terlebih dahulu sebelum melanjutkan ucapannya.
Rama berjalan mendekati Ahmad. "Pak Ahmad, kalau memang tidak ada solusi lain, saran istri saya masuk akal. Semua ini untuk menjaga nama baik keluarga kita. Kasus kaburnya pengantin ini mungkin akan menjadi perbincangan terus-menerus di lingkungan Bapak. Belum lagi reputasi saya sebagai anggota dewan juga akan tercoreng. Kalau pernikahan ini gagal, kita semua akan rugi besar. Semua headline akan mencatat skandal ini."
Ahmad terdiam, belum berani memutuskan. Kesalahan ini berasal dari pihaknya, tapi dia pun tidak bisa seenaknya memutuskan dan menyerahkan Syima untuk menikah dengan Devanka. "Jadi maksud Anda, Syima akan berpura-pura duduk di pelaminan sebagai Syama?" Ahmad menatap Rama dengan mata menyala.
"Bukan. Devan akan menikahi Syima secara resmi. Mereka akan menikah secara sah, sebagai Devan dan Syima, bukan Syama," kata Rama dengan suara tenang sedikit membujuk.
"Jadi maksud Om, aku harus mengorbankan hidupku buat menutupi kesalahan Syama?" timpal Syima, lalu dia menatap ayahnya dengan tatapan memohon. "Pak, aku gak mau. Ini hidupku yang dipertaruhkan!"
Mendengar ucapan Syima, Ahmad pun menghela napas. "Pak Rama... benar apa yang dikatakan putri saya. Saya tidak bisa mengorbankan hidup putri saya menjalani pernikahan yang dipaksakan."
"Bukan begitu maksud saya. Tapi kita harus realistis. Situasi sudah terlanjur seperti ini. Syima dan Devanka bisa mencoba terlebih dahulu, kalau ke depannya ada ketidakcocokan, mereka bisa mengambil keputusannya nanti, akan diteruskan atau tidak," jawab Rama seenaknya.
"Nggak bisa!" teriak Syima sambil berdiri menghadap semua orang. "Aku bukan barang yang bisa seenaknya dinikahi terus kalau tidak cocok diceraikan! Aku punya hidup sendiri, mimpi sendiri, masa depan sendiri! Aku nggak kenal Pak Devan secara personal! Jangan libatkan saya dengan permasalahan ini!"
Di tengah perdebatan yang semakin memanas, Devanka yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Stop," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Cukup."
Semua orang menoleh ke arahnya.
"Saya setuju dengan Syima. Ini ide yang gila," kata Devanka sambil menatap mata Syima. "Saya tidak bisa dan tidak akan memaksa Syima untuk menggantikan posisi kembarannya."
"Devan—" Rama mulai protes.
"Papa, dengarkan aku," Devanka mengangkat tangan. "Aku masih bingung karena Syama pergi. Tapi aku tidak akan menambah masalah lain dengan memaksakan pernikahan yang tidak diinginkan."
"Tapi Van, pikirkan konsekuensinya. Uang yang sudah dikeluarkan, reputasi keluarga—"
"Papa, aku lebih memilih rugi materi daripada menghancurkan hidup orang yang tidak bersalah," potong Devanka dengan tegas.
Syima menatap Devanka dengan mata berkaca-kaca, merasa lega ada yang membelanya.
"Pak Rama," Ahmad maju selangkah agar bisa menatap mata Rama secara langsung. "Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas perilaku Syama. Dia sudah merugikan banyak orang, termasuk mempermalukan kita semua." Suara Ahmad begitu tenang dan dalam.
"Masalah biaya yang sudah dikeluarkan bapak untuk acara ini, saya akan menggantinya nanti. Dan tamu kehormatan yang nanti datang, biar saya yang menjelaskan, karena ini kesalahan putri saya. Jadi biar saya yang menanggung itu semua, hingga keluarga bapak tidak perlu merasa malu," lanjut Ahmad mengakui kesalahan berada di pihaknya.
Melihat ayahnya menundukkan kepala, dan memohon maaf atas kesalahan yang bukan dibuat oleh Ahmad, membuat hati Syima terluka. Dalam hati dia mengutuk perbuatan Syama yang seenaknya tanpa memikirkan orang tua mereka. Lalu Syima pun melirik ibunya yang terlihat semakin pucat dan kesulitan bernapas. Dewi yang menyadari anaknya menatapnya, mencoba tersenyum lemah sambil mengulurkan tangan.
Dia pun membayangkan bagaimana nanti kedua orang tuanya dijadikan bulan-bulanan orang-orang yang tidak dikenalnya. Hati Syima semakin perih, khawatir membuat penyakit Dewi semakin parah.
"Pak Devan..." Panggil Syima sambil melangkah mendekati Devanka yang hanya menatap kosong tulisan Syama. Devanka langsung mendongak melihat Syima yang berdiri di depannya. "Ayo kita menikah. Saya siap menikah dengan Bapak."
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/