Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Menghargai
“Kamu ini, kenapa bisa luka begini? Udah tau luka, malah didiemin, bukannya langsung dibawa ke rumah sakit.”
Neo cengengesan mendengar kalimat Lukman yang sedang membersihkan luka di lututnya. Luka pemuda itu memang tak terlalu parah, tetapi karena tadi malam tak langsung dibersihkan dan diberi obat, akhirnya sekarang kakinya sakit dibawa melangkah.
“Bandel, udah dibilangin, bawa motor itu hati-hati. Pas jatuh bukannya kasih tau, malah diem-diem di kamar. Sekarang tau rasa ‘kan sudah diajak jalan. Sekalian saja amputasi kakinya, Luk,” celoteh Ketina, ibu Neo.
“Mami mah gitu, yang bener aja, kaki aku diamputasi? Gak ganteng lagi nanti anak Mami,” balas Neo.
Ketina mendengkus mendengar kalimat putranya. “Ganteng tapi nakal, mana ada nanti gadis yang mau pacaran sama laki-laki nakal kayak kamu?”
“Ih, Mami mah gak tau gimana populernya aku di sekolah. Mami sesekali ke sekolah, deh, liat gimana para cewek tergila-gila sama aku. Mereka itu ngantri mau jadi pacar aku, Mami harusnya bangga,” ujar Neo membanggakan dirinya sndiri.
Senja tersenyum mengejek, sedangkan Rance tenang di tempatnya. Mereka berdua juga ikut ke rumah sakit untuk melihat kaki Neo diobati. Hanya Langit yang berada di luar ruangan karena tak ingin bertatap muka dengan sang ayah.
“Neo di sekolah emang banyak penggemar, Mi. Tapi dia sok jual mahal, sok cool, gak murah senyum, padahal senyum itu ‘kan ibadah,” tutur Rance ikut bersuara.
Senja terkekeh kecil mendengar itu. “Emang sih senyum itu ibadah, tapi gak kayak lo juga. Semua orang disenyumin, sampe-sampe disangka playboy,” ucapnya diangguki Neo.
“Bener, tuh. Apa pun itu senyum, disapa orang senyum, gak gitu juga konsepnya. Semuanya lo senyumin, sampe baliho caleg pun lo senyumin,” celoteh Neo membuat orang di dalam ruangan itu tertawa.
Bukan mengada-ngada, tetapi kalimat Neo tadi benar adanya. Pernah kejadian di mana Rance
ketika itu tersenyum kepada baliho caleg di tepian jalanan. Jawabannya singkat, Rance tersenyum karena foto di baliho itu pun sedang tersenyum kepadanya. Sudahlah.
“Udah, ini resep obat yang harus ditebus ke apotek. Udah ada obat untuk ganti perban juga. Harusnya nanti malam udah ganti perban, nanti biar Ayah yang ke rumah kamu buat gantinya. Jangan diajak main bola dulu,” ucap Lukman.
“Ya, kali, Yah? Minggu depan malah mau ada turnamen basket ini, gimana, dong?” ujar Neo.
“Minggu depan? Hari apa?”
“Hari Rabu, bisa sehat gak hari Rabu, Yah?”
“Bisa kering lebih cepat, asal makan obat yang rutin, jangan banyak gerak dulu biar lukanya gak terlalu berair, tapi jangan baringan juga. Intinya jalan santai dan jangan dipaksa, jangan dibiarin ditekuk terus, karna ini lutut, kalau gak diajak jalan, nanti jadi tegang.”
“Aduh, ribet amat ini lutut. Kenapa juga lukanya gak di betis aja?” celoteh Neo membuat yang lain mendengkus.
“Sudah, ayo kita keluar sekarang. Makasih ya, Luk, kalau nanti tidak susah, ke rumah bantu ganti perbannya,” tutur Ketina diangguki Lukman.
“Hari ini pulang lebih cepat, sih. Jadi nanti malam aku bisa ke sana, siap makan malam kita ganti. Hari ini jangan banyak tingkah dulu,” peringat Lukman.
“Denger, tuh, jangan banyak tingkah dulu. Jadi hari ini lo gak bisa ikutin kami manjat jambu Pak RT,” celetuk Rance membuat semua orang di sana melotot ke arahnya.
Neo sudah mengumpat kesal di dalam hati. Senja dan Ketina menatap Rance dengan mata menajam, seakan siap untuk melahap pemuda kelewat jujur itu.
“Kamu bilang apa tadi? Mau manjat jambu Pak RT? Maksudnya mau nyuri jambu Pak RT lagi?” tanya Ketina membuat Rance mengangguk.
“Baru rencana aja, Mi,” balas Rance jujur.
Lukman tertawa, sedangkan Neo menepuk keningnya gemas. Senja mengusap wajah lelah, Ketina malah mengurut kening lebih frustasi.
“Capek sekali ngurus kalian, Nak, Nak. Dari umur empat tahun kalian bertiga ada aja tingkahnya yang bikin kami pusing. Lempar pos satpam komplek sampe dikejar anjing, berbagai hal semuanya ada. Utung masih ada Senja yang waras,” celoteh Ketina membuat Lukman kembali terkekeh.
Lukman pun menghembuskan napas pelan ketika mengingat masa kecil putranya dengan dua sahabat nakalnya ini. Senyum penuh rasa bersalah itu kembali hadir, bayang-bayang wajah Langit yang tengah tersenyum kepadanya membuat Lukman merasa sakit. Pasalnya kini ia tak akan pernah mendapatkan senyum sayang dari putranya itu.
“Eh, kamu ada pasien rupanya, Mas. Aku bawa makan siang.”
Suara seseorang mengalihkan perhatian mereka semua. Semua pasang mata menoleh ke arah pintu ruangan yang baru saja dibuka oleh seorang perempuan. Lukmat terkejut, wajahnya pias melihat wanita itu tersenyum sembari menenteng sebuah tempat nasi.
“Ah, maaf, lanjutkan saja pemeriksaannya. Saya hanya ingin mengantarkan nasi untuk calon suami saya.”
Mata Lukman semakin membulat mendengar itu. Wajahnya kaku ketika empat pasang mata menatapnya dengan ekspresi berbeda kali ini. Apalagi seorang pria berdiri di daun pintu kini tengah tersenyum pahit kepadanya.
“Calon suami?”
Lukman menelan ludahnya mendengar suara berat Langit di daun pintu. Senja langsung mendekat ke arah Langit, waspada jika nanti sang tunangan mengamuk.
“Waaw, sungguh hal yang menggembirakan, ya? Kalian akan segera menikah di saat surat putusan perceraian pun belum ditentukan? Bagus bagus!” Langit bertepuk tangan sembari tersenyum miris menatap ayahnya.
“Langit, ini—”
“Kira-kira nanti lont* ini akan datang lagi tidak ke tempat Bunda? Datang untuk antar undangan pesta pernikahan kalian?” sela Langit menatap tajam Heni, selingkuhan Lukman.
“Kamu bilang aku apa?” balas Heni seakan tak terima.
“Lont*\, bukankah seorang wanita yang mengganggu suami orang\, bisa disebut lont*? Murahan?” Langit tersenyum miring kepada Heni yang sudah menggeram dengan tangan terkepal.
“Kami saling mencintai, kam—”
“Heni!” bentak Lukman menahan kalimat perempuan itu.
Langit mendongak dan tertawa keras. Ia menatap sang ayah dengan mata memerah menahan amarah. Detik berikutnya pandangan matanya beralih kepada Heni di samping Lukman.
Tiba-tiba Langit berjalan cepat sembari membukan penutup jus di tangannya. Tanpa berkata-kata, Langit langsung menumpahkan jus mangga tersebut ke kepala Heni, sampai wanita itu memekik.
“Apa-apaan ini!” teriak Heni.
“Itu belum seberapa. Makanya jangan sampai kita bertemu lagi, atau hal lebih dari ini akan terjadi padamu,” desis Langit menatap tajam Heni.
“Anak tidak sopan!” pekik Heni.
“Maaf, Mbak. Saya rasa, manusia yang suka merebut suami orang, itu lebih tidak sopan dan tidak punya adab. Putra saya lebih dari sopan, harusnya dia tidak hanya menumpahkan satu cup jus, tapi dua. Langit, punya Mami masih ada, mungkin kamu masih mau.” Tiba-tiba Ketina mengulurkan jus di tangannya kepada Langit.
“Ketina, sudahlah,” ucap Lukman menghembuskan napas pelan.
Ketina menatap Lukman dengan wajah geram. “Aku masih menghormatimu karena kamu adalah sahabat Jefry, Luk. Kita juga sudah bertahun-tahun dekat, tapi kamu mungkin lupa, jika Lusi adalah sahabatku sedari kuliah, aku lebih dulu mengenalnya dari pada kamu. Sakit hati Lusi ikut aku rasakan dan aku juga tidak terima kamu memperlakukan sahabatku sepeti ini, Lukman! Jujur aku masih berharap semua isu ini tidak benar, tetapi saat melihat wanita kurang ajar ini, semua respect-ku rasanya habis sudah untukmu! Tak aku sangka seleramu sekarang turun drastis, Luk. Bayangkan, dari level Lusi, seorang primadona kampus, kamu malah selingkuh dengan wanita modelan ondel-ondel got ini? Cih, aku harap setelah ini kamu jangan pernah temui Lusi lagi. Ayo anak-anak, kita pergi dari sini!”
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh