Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Permen Apel
Rasa panas di dalam tubuh Lucian semakin terasa. Lucian segera masuk ke dalam toilet yang ada di kamarnya. Dia meninggalkan Andralia yang sudah lelap dalam tidurnya.
"Kenapa aku begini?" Lucian mengujurkan air dari ujung kepalanya.
Dia masih merasa gerah, bahkan itu membuat perutnya terasa mual. "Tidak mungkin kan? Aku mabuk laut?" Lucian semakin banyak menguyurkan dirinya dengan air, hingga dia tidak terlalu merasakan gerah di tubuhnya, dia keluar, bersiap-siap untuk tidur.
Dia mulai naik ke ranjang yang sama dengan Andralia perlahan, berusaha tidak mengeluarkan suara ataupun gerakan yang bisa membangunkannya.
Sayangnya, dia sudah terlalu banyak tidur selama di perjalanan. Dia kembali merasakan panas di dalam pusarnya, itu membuat dia mual. Hingga, "Tep!" Punggung tangan Andralia jatuh di pipinya saat dia meringkuk di atas kasur.
Seperti mint yang terkena lidah. Pedas namun sejuk. Sentuhan Andralia itu, membuat rasa mual dan gerah itu berkurang. Kedua mata Lucian terbelalak, dia sebenarnya sudah menyadari kondisinya saat ini. Dia memegang tangan Andralia yang masih di atas pipi kanannya.
Sensasi mint itu, langsung menusuk di sekujur tubuhnya seolah terkena sengatan listrik yang menenangkan.
Senyum tipis muncul di bibir Lucian. "Erundil, aku sungguh merindukanmu. Aku hanya bisa berharap, jika kamu menjadi milikku dan hanya melihatku saja" Lucian menyentuh pipi dingin Andralia. Begitu halus, begitu empuk.
"Emmmmpp!" Andralia mengigau saat Lucian menyentuh ujung hidungnya.
Lucian masih tersenyum, "Takdir sungguh tak pernah berubah pada kita. Kamu sangat membenciku dan aku sangat mencintaimu" Lucian mendekap Andralia perlahan dan dia mulai tertidur karena suhu tubuh Andralia.
Hingga waktu berlalu cukup lama. Di dalam mimpi, Adralia tengah duduk di ayunan yang terbuat dari rotan dan ditubuhi benalu yang merembet dari pohon inangnya. Angin menyepoi tubuhnya, tidak terasa dingin, melainkan terasa hangat. Begitu nyaman dan tenang.
Dia menoleh ke sisi kanan, seorang pria yang tak asing sedang duduk membelakanginya. Rambutnya hitam legam, dengan bahu lebar yang kokoh.
"Chaiden Agha, apa yang kau lakukan?" Bibirnya berkecap sendiri.
Dia menyadari jika tengah menyebutkan nama yang tak pernah dia sebut, namun nama itu terasa sangat dekat. Bahkan tak asing.
Pria berambut hitam legam itu, menoleh ke belakang. Matanya merah darah, tengah menyipit saat tersenyum padanya, sembari mengulurkan Mahkota dari bunga dadelion.
"Luci- an?" Andralia kembali membuka matanya.
Lagi-lagi, dirinya tertidur sambil memeluk Lucian di sebelahnya.
Andralia cepat-cepat melepaskan diri, lalu mendorong Lucian hingga ke ujung kasur. "Kenapa aku selalu memeluk si bodoh ini?!" Batin Andralia.
...♤♤♤...
Matahari kini telah naik beberapa jengkal dari kepala. Lucian terbangun saat sinar matahari itu masuk dari jendela kapal yang terbuka.
Sekujur tubuh Lucian pegal semua karena kebanyakan tidur. Namun, rasa panas di dalam perutnya benar-benar menghilang. Dia duduk, matanya berkeliling, mencari Andralia. Andralia tidak berada di dalam kamar itu.
Sungguh sunyi, hanya terdengar suara ombak laut.
Lucian berjalan ke arah kamar mandi, dan insiden yang tak pernah terlintas di kepala Lucian terjadi.
Saat Lucian membuka pintu kamar mandi itu, punggung seputih susu dan bersih tak memiliki setitik luka pun, terlihat di hadapannya, tengah duduk, mengosok lengannya dengan sabun.
"BRUAK!"
Lucian tak sengaja membanting pintu itu dengan keras, saat menutupnya. Jantungnya berdebar, begitu kencang hingga membuat napasnya berat. Wajahnya merah padam. Kaki Lucian sungguh lemas "Astaga! Maaf Yang Mulia. Kenapa Anda tidak mengunci pintunya?" Tanya Lucian berjongkok di depan pintu.
Andralia melihat ke arah pintu setelah dia terkejut dengan bantingan keras itu. "Apa kau tidak lihat? Bahkan pintunya tidak memiliki gagang. Bagaimana aku menguncinya?!" Balik tanya Andralia dengan nada kentus dan setengah membentak.
Lucian menoleh ke arah gagang pintu itu. Ternyata memang tidak ada gagangnya. "Maafkan saya" ucap Lucian.
Andralia tidak terlalu merasa malu dengan hal ini, "Apa mungkin, aku sudah terbiasa dengannya sejak kecil?" Batinnya sambil membilas diri.
Saat dia keluar dari kamar mandi, dia menoleh ke sisi kiri. Di sana, Lucian masih berjongkok.
"Kenapa kau di sana?" Tanya Andralia melipat lengannya di depan dada.
Lucian mendonggakkan kepalanya ke atas. "Intropeksi diri, Yang Mulia" jawab Lucian menunjukkan senyuman lebar.
"Orang gila" ucap Andralia meninggalkan Lucian.
Empat jam berlalu dengan cepat. Mereka kini telah sampai di daratan. Lucian membawa dua koper besar yang mereka bawa.
Sinar matahari, terasa lebih panas dari suhu di Kerajaan Erundil. Bahkan, rambut keemasan Andralia semakin bersinar di sini. "Cantik sekali" batin Lucian memanyunkan bibirnya karena tak bisa mengengam tangannya.
Ini pertama kalinya bagi Erundil menginjakkan kakinya di Pulau Amara, destinasi paling indah di Kerajaan Erundil.
"Ayah, aku sudah sampai di sini" banyak jajanan yang di jual di pinggir jalan. "Ini seperti jalan saat festival diselenggarakan" Andralia merasa senang merasakan kegembiraan dalam hatinya. Dia belum pernah sekalipun keluar dari Kerajaan Erundil, selain ke Istana Xerl saat pernikahannya dengan Zael Theodore.
Bahkan, Suaminya yang sebelumnya menolak untuk membawa Andralia berlibur ataupun bulan madu dengan alasan dirinya adalah Pangeran ke-2 Kerajaan Xerl dan tidak bisa sembarangan bertindak ataupun keluar dari wilayahnya.
Zael Theodore, bahkan enggan untuk menyentuh Andralia sebagai suaminya. Mereka menikah karena alasan politik, Zael memiliki sifat baik dan memberlakukan Andralia seperti seorang Ratu saat di depan publik. Namun, dia cukup keberatan jika didesak untuk cepat memiliki keturunan sebelum peresmiannya sebagai Pemimpin Kerajaan Erundil.
"Nona rambut keemasan yang cantik di sana..." panggil seorang pedagang manisan di sisi kiri Andralia.
Andralia dan Lucian langsung menoleh.
"Anda sungguh seperti Matahari Erundil, saya menjual apel gula-gula dan permen kapas, jika Anda membeli 1, saya akan memberikan 1 lainnya sebagai bonus? Apa Anda mau membelinya?"
Mata Andralia tertuju pada permen apel merah yang ada di gerobak penjual itu.
Lucian tersenyum tipis saat melihat wajah Andralia yang berseri itu. "Umurnya masih 19 tahun. Dia harus merasakan bagaimana orang-orang seusianya bersenang-senang"
Lucian maju ke arah penjual itu. "Saya mau satu, permen apel itu, berapa?" Lucian membeli permen apel yang Andralia lihat.
"10 koin perak, Tuan. Em, Anda terlihat tidak asing..." Pedagang itu menatap wajah Lucian cukup lama.
Lucian hanya terkekeh dan memberikan 10 koin perak itu ke pedagang tersebut.
Pedagang itu mengambilkan 2 permen apel untuk Lucian sambil berfikir dia pernah melihat wajah itu dimana.
Saat Lucian memberikan permen apel itu kepada Andralia, pedagang tersebut mengingat dimana dia melihat wajah itu.
"Ah! Anda! Anda putra Tuan Kyle? Astaga..." Dia pedagang permen langganan Kyle saat Lucian masih kecil dulu.
Mendengar nama Ayahnya di sebut, Lucian menoleh dan tersenyum padanya.
"Jika Anda Putra Tuan Kyle maka, di sebelah Anda... Lad-"
Andralia menunjuk bibirnya untuk tidak bicara keras-keras.
Pedagang itu, menutup mulutnya dengan cepat. Dan dia mendatangi Andralia dengan wajah yang sangat senang, penuh dengan senyuman.
"Ah... sungguh kehormatan bagi saya bisa bertemu Anda berdua di sini. Saya mengucapkan selamat atas pernikahan kalian. Dan sungguh duka mendalam atas kepergian Cahaya Erundil, Baginda Raelys" Pedagang itu memberikan bungkukkan hormat kepada Andralia dan Lucian.
"Bibi... terima kasih atas ucapannya" Lucian membantu berdiri pedagang itu kembali. "Tapi, bisakah Bibi rahasiakan jika kami berdua di sini? Istriku ingin liburan dengan tenang" bisik Lucian sambil melihat ke arah Andralia yang memegang permen apel.
Bibi pedagang itu menatap Andralia, seakan butuh konfirmasi atas ucapan Lucian.
Andralia melihat Lucian yang mengedipkan mata dan mengangguk. Dan spontan, Andralia mengangguk meski dia tidak tau apa yang Lucian bisikan.
Bibi pedagang itu tersenyum lebar. "Tentu. Ah, sebelum itu tolong terima beberapa permen dari saya"
Akhirnya, mereka berdua bisa pergi dan membawa kantong kecil penuh permen buatan pedagang itu. Andralia melirik ke arah Lucian yang berjalan dibelakangnya, seperti seorang pengawal.
"Wajahmu, pasaran sekali" celetus Andralia.
"Ha? Apa Yang Mulia?" Tanya bingung Lucian.