Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 21
Cinta Setelah Hujan
Malam itu, hujan turun dengan tenang, tidak selebat hujan yang pernah menyatukan Nayla dan Arka beberapa waktu lalu. Bunyi rintiknya seperti musik pengantar tidur, menenangkan, namun juga mengingatkan Nayla akan perjalanan panjang yang telah ia lalui bersama lelaki itu. Duduk di beranda rumah kecilnya, Nayla menatap jalanan basah sambil memeluk secangkir teh hangat. Sejak peristiwa besar yang nyaris memisahkan mereka, hubungannya dengan Arka terasa berbeda—lebih dalam, lebih hangat, namun juga memunculkan rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.
Arka datang sore tadi, membawa seikat bunga mawar putih yang membuat Nayla tersenyum malu. “Untuk lembaran baru,” katanya, menatap dengan tatapan yang dulu membuat hati Nayla bergetar. Kini, setelah semua badai yang mereka lalui, tatapan itu justru terasa menenangkan, seperti rumah tempat ia pulang. Nayla membalas dengan ucapan sederhana, tapi penuh makna: “Kali ini, jangan lepaskan tanganku, apa pun yang terjadi.”
Hari-hari pertama setelah mereka berdamai di bawah hujan benar-benar terasa seperti mimpi indah. Arka lebih sering menemaninya ke sanggar, bahkan ikut membantu menata properti meskipun jelas bukan bidangnya. Anak-anak di sanggar senang dengan kehadirannya, mereka memanggilnya “Kak Arka” sambil tertawa. Ada momen lucu ketika Arka berusaha menempelkan kain dekorasi tapi justru terjatuh, membuat seluruh ruangan dipenuhi tawa. Nayla menyadari betapa berharganya kebersamaan kecil itu.
Namun, di balik semua kehangatan itu, Nayla tetap merasa ada ruang kosong yang sulit diisi. Ia sering mendapati dirinya memikirkan masa depan—apakah mereka benar-benar bisa bertahan melewati segalanya? Bukan karena ia meragukan cinta Arka, tetapi karena hidup selalu menyimpan kejutan yang tidak terduga. Nayla tahu, cinta bukan hanya tentang perasaan, melainkan juga keberanian menghadapi perubahan.
Suatu pagi, saat mereka sarapan sederhana dengan roti panggang dan kopi, Arka menatapnya lama. “Nayla, aku bahagia. Tapi aku juga takut,” katanya pelan. Nayla meletakkan rotinya, terkejut. “Takut apa?” tanyanya. Arka menghela napas, lalu menatap matanya lurus. “Takut kehilanganmu, entah karena waktumu tersita, atau karena aku nggak bisa jadi yang terbaik buatmu.”
Ucapan itu membuat Nayla terdiam. Selama ini, ia yang sering merasa takut ditinggalkan, ternyata Arka pun memiliki rasa cemas yang sama. Nayla meraih tangannya, menggenggam erat. “Arka, aku juga takut. Tapi bukankah cinta itu justru tentang saling menjaga rasa takut kita? Kita mungkin nggak sempurna, tapi kalau kita terus saling genggam, aku yakin kita bisa lewati semuanya.”
Arka tersenyum, lalu mencium punggung tangannya. “Kalau begitu, jangan biarkan aku berjalan sendirian lagi, ya.”
Hari berganti, kesibukan mulai datang menghampiri. Nayla mendapat tawaran untuk membuat pertunjukan seni yang lebih besar di kota. Sanggar kecilnya perlahan mendapat perhatian, dan nama Nayla mulai disebut-sebut di kalangan seniman muda. Ia senang, tentu saja, tetapi juga sadar bahwa tanggung jawabnya semakin besar. Arka mendukung penuh, meskipun sesekali terlihat lelah setelah bekerja seharian lalu masih menemani Nayla di sanggar.
Malam-malam mereka kini lebih sering dihabiskan dengan obrolan singkat, sekadar bertanya kabar sambil terlelap karena kelelahan. Meski sederhana, momen itu tetap berarti. Namun, gesekan kecil mulai muncul—Nayla yang terlalu fokus pada pekerjaannya kadang lupa memberi kabar, sementara Arka yang kelelahan kadang merasa diabaikan.
Pernah suatu malam, Arka pulang terlambat karena lembur. Nayla sudah tertidur di sofa, naskah pertunjukan masih terbuka di pangkuannya. Arka menatapnya lama, lalu berbisik lirih, “Aku takut kamu terlalu sibuk sampai nggak ada ruang buat aku lagi.” Ia menyelimuti Nayla, lalu duduk di sampingnya hingga tertidur.
Nayla terbangun dan mendapati Arka di sana. Hatinya perih, menyadari bahwa lelaki itu juga berjuang keras untuk menjaga kebersamaan mereka. Ia menyentuh wajah Arka yang tertidur, lalu berjanji dalam hati: Aku tidak akan membiarkan kesibukan menjauhkan kita. Cinta ini harus tetap hidup, meski badai apa pun menghadang.
Hujan kembali turun malam itu, seakan mengingatkan mereka bahwa kisah cinta sejati bukan tentang mencari kesempurnaan, melainkan bertahan bersama meski basah oleh derasnya kehidupan.