Squel Cinta Setelah Pernikahan
21+
“Gimana mau move on kalau sering berhadapan dengan dia?”
Cinta lama terpendam bertahun-tahun, tak pernah Dira bayangkan akan bertemu lagi dengan Rafkha. Laki-laki yang membuatnya tergila-gila kini menjadi boss di perusahaan tempat ia bekerja.
“Tolong aku Ra, nikah sama aku bisa?” ucap lelaki itu. Dira bingung, ini lamaran kah? Tak ada kata romantis, tak ada cincin, tiba-tiba lelaki itu memintanya menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Cara
Sirna, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Dira saat ini, bukan sirna terhadap rasa cintanya terhadap Rafkha. Tapi, Sirna semua rencananya untuk menjauh. Lelaki itu bagai memiliki sihir yang luar biasa, tiap Dira berada didekatnya. Selalu merasa aman dan nyaman. Buyar rencana Dira untuk menjauh, justru semakin ingin dekat dan ingin memiliki. Tapi, kalimat Rafkha tentang perempuan pilihannya saat makam malam tadi, masih terngiang-ngiang di pikiran gadis itu.
“Ra, aku mau nanya.” Rafkha menyadarkan lamunannya.
“Um, iya... nanya apa Bang?” Dira menoleh.
“Sorry kalau lancang, aku pernah lihat, foto aku dari kejauhan, di dalam flashdisk kamu—“
“Ah itu, nggak sengaja tercopy kayaknya, belum sempat seleksi lagi sih, yang mau di hapus.” Dira langsung menyangkal, perihal foto itu, susah payah ia dapatkan. Dengan bermodalkan kamera ponsel seadanya, tujuh tahun silam ia memberanikan diri untuk memotret lelaki pujaannya itu dari kejauhan.
“Jangan dihapus, biarin aja. Tapi, aku jelek banget ya disitu? kurus kayak nggak keurus.” Rafkha terkekeh geli mengingat wujud dirinya beberapa tahun silam.
“kalau kamu yang minta jangan dihapus, nggak akan aku hapus.” Dira menjawab dengan senang hati.
“Iya, jelek banget. Sampe sekrang juga masih jelek.” lanjut Dira.
“Kamu serius dengan ucapan kamu?” Ia menoleh ke arah Dira. Mencuri kesempatan menatap pada gadis itu karena saat ini mereka harus berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah.
“Iya,” mana mungkin Dira jujur, sejak dulu lelaki itu selalu tampan dan sempurna di matanya.
“Oke, aku yakin sebentar lagi hidung kamu bakalan makin memanjang.” Rafkha berdecak kesal, tak terima dikatakan jelek oleh Dira. Baru kali ini ada perempuan yang tidak memujinya sama sekali.
“Kamu, nganggap aku bohong gitu Bang, kayak pinokio?”
“Yap, kamu nggak jujur.”
Dira memilih diam, tak mau lagi membahas. Mengakui ketampanan lelaki itu? biarlah cukup di dalam hati saja.
🌸🌸🌸
“Makasih ya Bang,” sekali lagi Dira mengucapkan terimakasih, atas kesediaan lelaki itu meluangkan waktunya untuk membantunya.
“Sama-sama. Jangan lupa, lain kali kamu wajib bantuin aku juga.”
Rafkha mengantarnya tepat di depan pintu apartemennya. Berulang kali Dira menolak, tapi lelaki itu tetap memaksa dengan alasan harus menjaminnya tiba sampai di dalam apartemen. Berlebihan memang, tapi Dira suka.
Dira mengangguk sebagai jawaban atas pernyataan Rafkha barusan. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam, dan kembali lagi ke pintu utama dimana Rafkha berada.
“Aku nggak di ajak masuk?” Rafkha menaikkan alisnya saat mengatakan itu. Lalu menyapu penglihatannya ke dalam apartemen mini yang akan ditempati Dira untuk enam bulan ke depan.
“Ehm,” Dira kebingungan, enggan sekali rasanya mengajak cowok masuk ke dalam rumah apalagi hanya berdua saja, dengan Rafkha? tidak, Dira tidak sekuat itu.
“Bercanda, jangan panik. Lagian, aku yakin kalau aku masuk, kamu nggak bakal kasih aku apa-apa. Kulkas kamu masih kosong ‘kan?”
“Ya iyalah, ‘kan aku baru pindah hari ini.” Dira menampilkan cengirnya.
Rafkha menggaruk pelipisnya, “Ya udah, aku balik ya.” sambil merogoh saku jeansnya mencari remote mobilnya.
Dira mengangguk, “Hati-hati, Bang.”
“Oh iya, ini suasana baru buat kamu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat hubungi aku,” Rafkha yang baru beberapa detik kemudian berbalik arah, kini kembali manatap Dira.
Dira tertawa kecil, “Ada hantu misalnya?”
“Bisa jadi, ‘kan?” Rafkha mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum miring.
“Mungkin, sampai ketemu lagi Bang.” Dira melambaikan tangannya. Dibalas dengan satu senyum memabukkan dari Rafkha.
Menutup pintu setelah kepergian Rafkha, Dira mulai merapikan barang-barangnya. Tak banyak, karena yang lainnya masih tertinggal di rumah tante Sophie. Suatu saat nanti jika mentalnya sudah siap untuk kembali lagi kesana, Dira akan mengambil barang yang tersisa.
Ia membuka kopernya, mulai menata pakaiannya didalam lemari tiga pintu yang sudah tersedia disana. Beberapa buku penting kesayangannya pun sudah tertata rapi pada rak buku minimalis yang tepat berada di samping lemari pakaian.
Dira merasa lega, kenapa tidak dari dulu ia hidup sendiri dan mandiri seperti ini? Bebas, sudah pasti tidak ada yang mengatur-ngatur kehidupannya.
Usai membereskan semua barangnya, Dira menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dikamarnya yang tidak terlalu besar. Empuk, dan terasa nyaman.
Baru sekitar sepuluh menit, ia memejamkan matanya. Dira kembali tersadar, ia lupa melepaskan softlens nya. Hari ini, ia pergi tanpa mengenakan kacamatanya. Ia hanya ingin terlihat berbeda dari biasanya. Walau belum terbiasa, tapi Dira harus membiasakannya. Karena ternyata dirinya terlihat lebih cantik tanpa kacamata.
“Ya ampun, untung ingat. Kalau nggak bahaya banget ketiduran dengan softlens.” Dira berbicara sendiri sambil bercermin melepaskan benda halus yang dapat membantu penglihatannya itu.
🌸🌸🌸
Minggu, suasana pagi saat sarapan di rumah Panji, terlihat berbeda pagi ini. Jika biasanya Rafkha yang cenderung banyak bicara. Kini terlihat diam, Fiqa yang biasa selalu menjadi korban keisengannya pun heran, ada apa dengan Abangnya itu?
Suasana hatinya agak sedikit memburuk, saat mengingat perjodohan yang dibicarakan kedua orang tuanya malam tadi, saat mereka makan malam di apartemen.
“Abang, kamu kenapa?” sekilas, Fiqa menatap Rafkha yang duduk tepat dihadapannya.
“Nggak apa-apa, Mama Papa belum balik?”
“Belum, palingan bentar lagi.”
Rafkha tak merespon lagi jawaban Fiqa, selesai makan, ia langsung meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya. Tak pernah Fiqa melihat saudara satu-satunya itu bersikap seperti ini.
Ditemani secangkir kopi jenis favoritnya, Rafkha memilih duduk dibelakang meja kerjanya didalam kamar. Membuka laptop dan melanjutkan beberapa pekerjaan yang tertunda. Mengalihkan pikiran dan rasa kesalnya terhadap rencana yang akan di lakukan orang tuanya padanya.
Ting.
Dari layar laptop, Rafkha mengalihkan pandangannya ke layar ponsel di atas meja.
Nama ‘Mama’ tertulis disana.
Rizka mengirimkan sebuah foto beserta pesan singkat.
Ini orangnya, cantik kan? Malam ini luangkan waktu ya.
Tidak membalas apapun, Rafkha meletakkan kembali ponselnya seperti semula. Bahkan, ia tak benar-benar melihat seperti apa wujud perempuan yang akan dijodohkan padanya itu. Tak terlalu penting, baginya.
Tak pernah Rafkha merasa se-kesal ini pada orang tuanya, khususnya pada Mamanya. Ini adalah pertama kalinya, ia dengan sengaja mengabaikan pesan dari orang yang telah melahirkannya ke dunia.
Mengusap kasar rambutnya sendiri, ia tengah memikirkan cara bagaimana menolak rencana gila ini.
🌸🌸🌸
Baru sempat up. Maafkan author juga cuma manusia biasa, punya kehidupan normal, sama seperti para pembaca. Jangan tanya kenapa lama up, semakin ditanya semakin lama upnya. Dah gitu aja. Hehe.
Binatang saja ga segitu kejamnya kok Sama anak sendiri...
Ga Ada roman2 nya Blas..