NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:483
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18: Ketenangan yang Menyesatkan - Penjaga Surga Terakhir

...--- Keheningan yang Mencekik ---...

Keheningan global mencekik Raka dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Pendengaran supernya, yang dulunya terganggu oleh hiruk-pikuk tujuh miliar jiwa, kini hanya menangkap bunyi lembut angin melalui dedaunan dan bisikan ombak yang berirama. Namun, di balik ketenangan ini, ada sesuatu yang salah—sebuah kekosongan yang bergema seperti ruang hampa di dalam jiwa Bumi itu sendiri.

Raka merasakan planet ini bernapas dengan irama yang berbeda. Dahulu, Bumi bernafas dengan kemarahan, setiap detaknya dipenuhi penderitaan dan protes. Kini, Bumi seperti tertidur lelap, tenang namun tidak sepenuhnya damai. Ada jeda di antara setiap napas, seolah planet ini menahan sesuatu yang berat.

Setiap malam, Raka terjaga dengan keringat dingin. Mimpi-mimpinya dipenuhi oleh wajah-wajah yang ia hancurkan—tidak hanya para koruptor dan penindas, tetapi juga mereka yang mungkin tidak bersalah. Anak-anak yang tak sempat tumbuh, orang tua yang kehilangan cucu, keluarga yang terpisah oleh kehancuran yang ia ciptakan. Kilasan memori ini datang seperti gelombang, menghantam dinding pertahanan mentalnya yang ia bangun dengan susah payah.

Sakit kepala yang menusuk sering menyerangnya, seolah otaknya memberontak terhadap narasi kebaikan yang coba ia terima. Ia mencoba mengingat kata-kata Eva, bisikan Bumi, dan kedamaian Arib, namun kontradiksi dalam dirinya semakin menguat setelah pertemuannya dengan dia. Bagaimana mungkin kehancuran total bisa menghasilkan kebaikan yang begitu murni? Bagaimana mungkin jutaan kematian bisa dibenarkan oleh kebahagiaan segelintir orang?

Pada malam-malam terburuk, Raka duduk di tepi pantai, menatap langit yang kini bersih dari polusi cahaya. Bintang-bintang berkilauan dengan terang yang hampir menyilaukan, namun keindahan itu terasa hampa. Ia mengingat adiknya, Sari, yang dulunya suka melihat bintang dari jendela kamar rumah sakit. Sari yang meninggal karena sistem korup menolak memberikan perawatan yang ia butuhkan. Apakah Sari akan bangga dengan apa yang telah ia lakukan? Ataukah ia akan terkejut melihat kakaknya menjadi pembantai massal?

...--- Kehidupan yang Terlalu Sempurna ---...

Rutinitas di Arib mengalir dengan irama yang hampir hipnotis. Raka terbangun setiap pagi sebelum fajar, berjalan di sepanjang pantai yang berpasir putih, mengamati matahari terbit dengan warna-warna yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Warna jingga dan merah muda memantul di permukaan air, menciptakan lukisan alam yang seharusnya menenangkan, namun justru memperparah kegelisahannya.

Ia mengamati penduduk Arib dengan mata yang semakin kritis. Mereka hidup dalam harmoni yang terlalu sempurna. Tidak ada pertengkaran, tidak ada kesalahpahaman, tidak ada konflik kecil yang biasa terjadi dalam komunitas manusia normal. Anak-anak bermain dengan tawa yang murni, orang dewasa bekerja dengan senyuman yang tulus, dan orang tua berbagi kebijaksanaan dengan mata yang bersinar-sinar.

Namun, ada yang aneh. Raka tidak pernah melihat ada yang sakit parah, tidak ada yang mati karena usia tua, tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda kelemahan fisik yang normal. Luka-luka sembuh dengan kecepatan yang mencurigakan. Anak-anak tumbuh dengan kecerdasan dan kekuatan fisik yang di atas rata-rata. Seolah-olah mereka bukan sepenuhnya manusia.

Keraguan ini membuatnya semakin terisolasi. Ia menjadi pengamat yang menjaga jarak, membantu ketika diminta, namun selalu merasa seperti alien di tengah komunitas yang seharusnya ia lindungi.

...--- Kiko: Cermin Masa Lalu ---...

Pertemuan pertama Raka dengan Kiko terjadi pada suatu sore yang tenang. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedang bermain sendirian di tepi pantai, membangun istana pasir dengan konsentrasi yang luar biasa. Raka mengamatinya dari kejauhan, terpesona oleh keseriusan dan ketulusan gerakan anak itu.

"Paman besar yang misterius," Kiko berkata tanpa menoleh, suaranya ceria dan tanpa rasa takut. "Mama bilang Paman adalah pelindung kita. Tapi kenapa Paman selalu sendirian?"

Raka terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Anak-anak di sini selalu takut padanya, merasakan aura kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Namun Kiko berbeda. Anak ini menatapnya dengan mata yang jernih, seolah melihat sesuatu yang bahkan Raka sendiri tidak mengerti.

"Paman mau lihat istana pasir saya?" Kiko bangkit dan menarik tangan Raka dengan kepolosan yang mengejutkan. "Saya buat istana untuk semua orang yang hilang. Mama bilang banyak orang hilang di dunia sana."

Kata-kata itu menohok Raka seperti pisau. Kiko tidak tahu bahwa "orang yang hilang" itu dibunuh oleh tangan yang sedang ia genggam. Raka hampir menarik tangannya, namun kehangatan tangan kecil itu membuatnya terpaku. Sudah berapa lama ia tidak merasakan sentuhan manusia yang tulus?

"Paman, kenapa matanya sedih?" Kiko menoleh, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang polos. "Mama bilang orang dewasa kadang sedih karena ingat hal-hal yang menyakitkan. Tapi di sini, tidak ada yang menyakitkan."

Raka berlutut di hadapan Kiko, melihat wajah yang begitu mirip dengan adiknya. Pipi yang bulat, mata yang besar dan berbinar, senyuman yang tulus tanpa ada kepura-puraan. Sari dulu juga seperti ini, selalu mencoba menghibur Raka ketika ia pulang dengan wajah lelah setelah seharian bekerja keras untuk biaya pengobatan.

"Paman dulu punya adik seperti kamu," Raka berbisik, suaranya hampir pecah. "Dia sangat baik, seperti kamu."

"Adik Paman hilang juga?" Kiko bertanya dengan ketulusan yang meremukkan hati.

"Ya," Raka mengangguk. "Dia hilang karena... karena dunia tidak adil padanya."

Kiko memeluk Raka dengan spontan, pelukannya hangat dan menenangkan. "Sekarang saya bisa jadi adik Paman di sini. Mama bilang keluarga tidak selalu dari darah, tapi dari cinta."

Raka merasakan sesuatu retak di dalam dadanya. Es yang telah membekukan hatinya selama bertahun-tahun mulai mencair, dan rasa sakit yang mengalir hampir tak tertahankan. Ia memeluk Kiko dengan hati-hati, takut kekuatannya akan menyakiti anak yang begitu rapuh namun begitu kuat.

...--- Lina: Kebijaksanaan yang Menggugah ---...

Lina, seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai penenun, menjadi sosok kedua yang menyentuh hati Raka. Pertemuan mereka dimulai ketika Raka melihat Lina kesulitan mengangkat gulungan benang yang berat. Tanpa berkata apa-apa, Raka membantu mengangkat beban itu, kekuatan supernya membuat pekerjaan yang berat menjadi mudah.

"Terima kasih," Lina berkata dengan senyuman yang tulus. "Paman sangat kuat. Tapi kekuatan yang sesungguhnya bukan dari otot, tapi dari hati yang mau membantu."

Raka terdiam, tidak terbiasa dengan pujian yang tidak berfokus pada kekuatan destruktifnya. Lina memandangnya dengan mata yang bijaksana, seolah melihat lebih dalam dari sekadar penampilan luar.

"Paman terlihat berat," Lina berkata sambil melanjutkan pekerjaannya. "Seperti membawa beban yang sangat berat. Tapi di sini, tidak ada yang perlu dipikul sendirian."

Hari-hari berikutnya, Raka sering membantu Lina dengan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik. Mereka bekerja dalam keheningan yang nyaman, namun sesekali Lina berbagi cerita tentang kehidupan di Arib, tentang filosofi mereka yang sederhana namun mendalam.

"Kami percaya bahwa setiap benang dalam kain memiliki tujuan," Lina berkata suatu hari, tangannya bergerak dengan gerakan yang halus dan berirama. "Bahkan benang yang terlihat kusut atau keluar jalur, pada akhirnya akan menciptakan pola yang indah. Kehidupan juga seperti itu."

"Bagaimana jika benang itu... merusak seluruh kain?" Raka bertanya, suaranya hampir berbisik.

Lina menghentikan pekerjaannya dan menatap Raka dengan mata yang penuh pengertian. "Benang yang rusak bisa diperbaiki. Kain yang robek bisa dijahit. Yang penting adalah niat untuk memperbaiki, bukan menyerah pada kerusakan."

Kata-kata itu menohok Raka lebih dalam dari yang ia sangka. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak ia memperoleh kekuatan super. Lina tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan tangannya di bahu Raka dengan sentuhan yang lembut namun kuat.

"Paman adalah orang baik," Lina berkata dengan kepastian yang mengejutkan. "Saya bisa merasakannya. Apa pun yang terjadi di masa lalu, Paman ada di sini sekarang. Itu yang penting."

 

Eva mengamati setiap interaksi Raka dengan mata yang tidak pernah berkedip. Ia selalu muncul pada saat yang tepat, seolah mengetahui dengan pasti kapan pertahanan mental Raka mulai runtuh.

"Kau mulai merasakan kehangatan itu, bukan?" Eva berkata pada suatu malam, ketika Raka duduk termenung di tepi pantai setelah menghabiskan hari dengan Kiko dan Lina. "Ini adalah hadiah dari Bumi. Perasaan yang kau rasakan sekarang adalah bukti bahwa kau telah berhasil membersihkan jalan bagi mereka."

Raka menoleh, matanya penuh kebingungan. "Tapi mengapa rasanya menyakitkan? Mengapa aku merasa seperti... seperti aku tidak pantas merasakan kebahagiaan ini?"

Eva duduk di sampingnya, gerakan tubuhnya mengalir seperti air. "Karena kau adalah penjaga yang sejati. Kau merasakan beban tanggung jawab untuk melindungi kemurnian ini. Rasa sakit yang kau rasakan adalah rasa sakit dari cinta yang tulus, cinta untuk melindungi yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri."

"Tapi semua orang yang mati..." Raka memulai, suaranya bergetar.

"Adalah korban yang diperlukan," Eva memotong dengan lembut namun tegas. "Kau melihat sendiri bagaimana dunia akan berakhir jika tidak ada yang bertindak. Kiko tidak akan pernah lahir dalam dunia yang korup. Lina tidak akan pernah merasakan kedamaian untuk berkarya. Mereka hidup karena keberanian dan pengorbananmu."

Eva mengelus rambut Raka dengan gerakan yang sangat lembut, hampir seperti ibu yang menenangkan anaknya. "Kau bukan pembunuh, Raka. Kau adalah penjaga. Dan sekarang, tugasmu adalah memastikan bahwa kebaikan ini tetap terlindungi."

Bisikan Bumi mengalir melalui suara Eva, menciptakan resonansi yang menenangkan. Raka merasakan keraguan-keraguannya mulai meredup, digantikan oleh rasa tujuan yang baru. Ia adalah penjaga surga terakhir di Bumi. Ia adalah pelindung masa depan.

Namun, di sudut yang paling dalam dari kesadarannya, ada suara kecil yang terus berbisik: ada yang salah dengan semua ini. Suara itu semakin lemah setiap hari, tertutupi oleh narasi yang semakin kuat, namun tidak pernah benar-benar hilang.

...--- Misi Baru: Penjaga ---...

"Ada satu tugas terakhir yang harus kau lakukan," Eva berkata pada suatu malam, ketika mereka berdua menyaksikan langit yang penuh bintang. "Kau harus memastikan bahwa Arib tetap terisolasi. Tidak ada yang boleh mengganggu kedamaian ini."

Raka mengangguk, siap menerima tugas baru. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Penduduk Arib tidak boleh tahu tentang kehancuran di dunia luar," Eva menjelaskan dengan suara yang tenang namun tegas. "Mereka hidup dalam kedamaian karena tidak tahu tentang penderitaan yang pernah ada. Jika mereka tahu, kedamaian mereka akan hancur."

"Tapi bukankah kebenaran itu penting?" Raka bertanya, mengingat nilai-nilai yang diajarkan ayahnya dulu.

Eva tersenyum tipis. "Kebenaran yang merusak kedamaian bukanlah kebenaran yang berguna. Kadang-kadang, ilusi yang indah lebih berharga daripada kenyataan yang menyakitkan. Kau melindungi mereka bukan hanya dari bahaya fisik, tetapi juga dari bahaya pengetahuan yang bisa menghancurkan jiwa mereka."

Raka merenungkan kata-kata itu. Ada logika di dalamnya, meskipun ada sesuatu yang terasa tidak nyaman. Namun, melihat kebahagiaan Kiko dan kedamaian Lina, ia mulai memahami pentingnya menjaga ilusi yang indah ini.

"Kau memiliki kemampuan untuk memanipulasi persepsi jika diperlukan," Eva melanjutkan. "Jika ada yang mulai bertanya terlalu banyak tentang dunia luar, kau bisa... menyesuaikan memori mereka. Bukan untuk menyakiti, tetapi untuk melindungi."

Raka merasa ada yang mengganjal, namun bisikan Bumi mengalir lebih kuat, meyakinkannya bahwa ini adalah jalan yang benar. Ia adalah penjaga surga terakhir, pelindung dari kebenaran yang bisa menghancurkan kebahagiaan.

...--- Bayangan Keraguan ---...

Meski narasi Eva semakin menguat, Raka tidak bisa sepenuhnya mengabaikan keraguan yang terus menggerogoti. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang aneh. Eva sering menghilang untuk waktu yang lama, kemudian kembali dengan pengetahuan yang seharusnya tidak bisa ia akses. Ia selalu memiliki persediaan yang tak terbatas—alat-alat canggih yang tersembunyi, pakaian bersih yang muncul begitu saja, obat-obatan yang sangat efektif.

"Kau ke mana saja?" Raka bertanya suatu kali, ketika Eva kembali dari salah satu perjalanan misteriusnya.

"Bumi memanggilku," Eva menjawab dengan senyuman yang tidak mencapai matanya. "Ada hal-hal yang perlu diatur untuk masa depan. Pemurnian ini belum sepenuhnya selesai di tingkat yang lebih halus."

Jawaban itu tidak memuaskan Raka, namun ia menerima karena tidak ada pilihan lain. Ia terjebak dalam labirin yang ia sendiri tidak mengerti, menjadi penjaga surga yang mungkin adalah penjara terindah yang pernah ada.

Setiap malam, ketika ia melayang tinggi di atas Arib, Raka kadang-kadang melihat siluet-siluet aneh di kejauhan. Objek yang bergerak terlalu cepat untuk kapal, terlalu tersembunyi untuk pesawat. Ketika ia mencoba mendekat, siluet-siluet itu menghilang seperti fatamorgana.

"Hanya bayangan," Eva selalu berkata ketika Raka menceritakan penglihatannya. "Efek dari trauma yang pernah kau alami. Dunia luar sudah tidak ada lagi. Hanya ada Arib. Hanya ada kita."

Namun, perasaan diawasi semakin kuat. Raka mulai merasakan bahwa ia bukan hanya penjaga Arib, tetapi juga tahanan dalam surga yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Ia telah menghancurkan dunia untuk menciptakan kedamaian ini, namun apakah ia benar-benar bebas? Ataukah ia hanya mengganti satu penjara dengan yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan Jenderal Vargas kembali bergema lebih kuat: "Mengapa kehancuran total? Jika kebaikan seperti ini ada, mengapa tidak diberi kesempatan?"

Raka menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia telah menjadi pahlawan bagi mereka yang tersisa, pelindung surga terakhir di Bumi. Namun, di kedalaman hatinya, ia mulai merasakan bahwa kebenaran yang sebenarnya jauh lebih gelap dan kompleks daripada yang ia pahami. Fajar baru memang telah tiba, namun bagi Raka, fajar itu diselimuti oleh bayangan keraguan yang semakin panjang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!