Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dingin
[KEESOKAN PAGI – RUMAH DAMIAN]
Matahari sudah meninggi ketika Damian membuka pintu rumahnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya merah akibat begadang semalaman di rumah sakit menemani Bella. Ia berharap bisa langsung menemui Aletha untuk menjelaskan segalanya.
Ia tak mau membuat situasi memburuk hanya karena terlambat menjelaskan. Ia juga tahu, Aletha baru saja mendapatkan saat-saat bahagia bersamanya, kejadian semalam tentu akan membuatnya sedih lagi. Dan Damian, harus bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Damian melangkah cepat menuju tangga. Ia setengah berlari menapaki setiap anak tangga, hingga lebih cepat sampai di kamarnya.
Namun, begitu ia membuka pintu kamar… langkahnya terhenti. Ia berdiri mematung di ambang pintu.
Kamar itu kosong.
Tak ada Aletha.
Suasana kamar sangat sunyi.
Damian mengernyit, melangkah masuk dan menatap ranjang yang sudah rapi, seolah penghuninya memang sudah lama pergi. Perasaannya tiba-tiba tidak enak.
Ia segera turun ke lantai bawah, dan mendapati si Mbak sedang membersihkan meja makan.
"Mbak, Aletha kemana?" tanyanya cepat.
Si Mbak menoleh, tampak sedikit ragu sebelum menjawab. "Non Aletha sudah pergi ke kantor sejak pagi tadi, Tuan."
"Apa dia baik-baik saja?"
Si Mbak hanya mengangguk sebagai jawaban.
Damian menarik napas lega sebentar, setelah tahu Aletha baik-baik saja, tapi rasa bersalahnya kembali menghantam. "Dia sempat bilang sesuatu?"
Si Mbak menggeleng. "Tidak, Tuan. Tapi… semalam waktu pulang, Non Aletha kelihatan sedih sekali. Saya sempat tanya kenapa pulang sendirian, Tuan kemana… tapi dia nggak jawab. Hanya diam dan langsung masuk ke kamar."
Kening Damian berkerut, rasa bersalah itu kini bercampur panik. Ia memejamkan mata sejenak, menyesali keputusannya semalam. "Astaga… Aletha."
Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung menuju kamarnya, mandi kilat, dan berganti pakaian. Tak sampai setengah jam, Damian sudah rapi dengan setelan kerjanya. Ia mengambil kunci mobil di meja dan berjalan cepat keluar rumah.
Pikirannya hanya satu: menemui Aletha.
Ia yakin Aletha marah padanya. Sangat marah. Dan satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah menjelaskan semuanya… walaupun ia sendiri tidak tahu apakah Aletha mau mendengar atau tidak.
*****
[KANTOR]
Langkah Damian terdengar tergesa melewati lorong kantor, begitu ia tiba dan keluar dari lift. Beberapa karyawan yang menyapa pun tidak ia hiraukan. Ia fokus berjalan dengan satu tujuan, ruang kerja Aletha.
Begitu sampai di depan ruangan kerja Aletha, ia langsung memutar kenop pintu dan masuk tanpa mengetuk.
Pandangan pertamanya jatuh pada sosok Aletha yang tengah duduk di balik meja, matanya fokus pada tumpukan berkas. Wajahnya tenang, ekspresinya netral, sama sekali tidak menunjukkan gejolak hati.
Damian menghela napas, sedikit lega melihat wanita itu baik-baik saja secara fisik. Ia melangkah mendekat hingga berdiri tepat di depan meja kerjanya.
Namun… Aletha tetap tak menoleh. Seolah tak peduli meskipun Damian kini berada di hadapannya.
"Al, aku minta maaf…" Damian memulai, suaranya rendah. "Aku minta maaf karena mengabaikan kamu. Semalam aku mencoba menghubungi kamu, tapi kamu mengabaikan aku."
"Aku juga minta maaf, karena menginap di rumah sakit dan membiarkan kamu pulang sendirian," tambahnya.
Perlahan, Aletha menurunkan berkas yang ia pegang, mengalihkan pandangannya pada Damian. Tatapannya tenang, bahkan terlalu tenang. Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya lalu menghilang lagi.
"Bagaimana kondisi Bella?" tanyanya datar.
Pertanyaan itu membuat Damian terdiam sejenak. Ia tak menyangka Aletha justru menanyakan Bella di saat seperti ini. Bukan marah atau sedih dengan banyak drama.
"Dia baik-baik saja, cuma luka ringan. Makanya, aku memutuskan untuk pulang," jawabnya akhirnya.
"Syukurlah," balas Aletha singkat. Hanya itu. Lalu ia kembali menunduk, fokus pada berkasnya lagi, seolah percakapan tadi hanyalah basa-basi biasa.
Damian mengerutkan dahi. Aletha tidak marah. Tapi justru sikap datar itulah yang membuat dadanya terasa semakin berat.
"Al… semalam aku terpaksa menjaga Bella, karena nggak ada siapapun yang datang untuk menjaganya. Aku… kasihan," ucapnya, mencoba menjelaskan.
"Ya, aku paham," jawab Aletha sambil membuka laptop dan mulai mengetik.
"Kamu marah?" tanya Damian hati-hati.
Aletha menggeleng tanpa menoleh. "Tidak."
"Kenapa?"
Jemari Aletha berhenti di atas keyboard. Ia menghela napas, lalu berkata pelan tapi jelas, tanpa menoleh pada Damian.
"Itu hak kamu. Aku nggak berhak marah atau melarang. Kamu masih mencintainya, dan aku nggak perlu berharap kamu akan lebih memilih aku daripada dia."
Suasana langsung terasa hening. Damian terpaku, matanya menatap Aletha lekat-lekat, mencoba membaca isi hatinya. Tapi yang ia temukan hanyalah tembok yang kini berdiri di antara mereka.
"Al... Aku gak bermaksud lebih memilih dia, tapi semalam itu..."
"Ya, kamu sudah jelaskan kalau dia gak ada yang menemani dan kamu kasihan. Jadi, untuk apa kamu jelaskan lagi?" potong Aletha.
"Ya, memang. Tapi... aku gak mau kamu dingin seperti ini. Gak biasa lihat kamu begini, Al. Aku merasa bersalah."
"Gak perlu merasa bersalah. Kamu hanya melakukan kebaikan, dan aku harus mendukung kamu."
Damian masih menatap Aletha. Sikap dingin Aletha tak bisa ia terima. Ia ingin Aletha seperti biasa, sikap centil dan lincahnya yang ia mau.
Damian perlahan mendekat dan berjongkok di samping Aletha yang duduk di kursi kerjanya.
"Al... aku minta maaf," ucapnya setengah memohon. "jangan dingin seperti ini. Please..."
Aletha tak menghiraukan, masih sibuk dengan laptopnya. Matanya bahkan tak sedikitpun melirik suaminya itu.
"Aletha... Aku akan lakukan apapun, supaya bisa menebus kesalahanku semalam. Katakan, apa yang kamu inginkan?"
"Tolong... jangan seperti ini."
Aletha awalnya ingin tak menanggapi suaminya, tapi karena Damian terus bicara dengan nada yang memelas, ia tak bisa terus mengabaikannya. Ia menoleh dan menatap Damian dengan tatapan dinginnya.
"Dam, aku gak ingin apapun dari kamu. Kamu gak perlu sampai begini," ucap Aletha. "Sudahlah... pergi saja ke ruangan kamu. Kita ada banyak kerjaan hari ini."
Damian tidak pergi. Dia justru lebih mendekat, duduk di lantai dan menyandarkan kepalanya di paha Aletha, seperti seorang anak pada ibunya.
"Aku gak akan pergi sebelum kamu memaafkan aku."
Aletha terbelalak. Mengapa Damian seperti ini?
Pria yang selalu terlihat tegas dan dingin itu, kini justru terkesan manja. Itu bukan sesuatu yang biasa bagi seorang Damian.
"D-dam..." Aletha gugup. "Jangan seperti ini. Celana kamu bisa kotor."
"Kenapa? Apa aku gak boleh bermanja ke istri sendiri?"
"Tapi celana kamu... nanti kotor, Dam. Baju kamu bisa kusut juga."
"Aku gak peduli."
Aletha mendengus. Tangannya bergerak, ingin mengelus kepala Damian, tapi ia tarik kembali. Aletha tak mau memberikan perhatian pada Damian yang sudah membuatnya kecewa semalam.
"Damian... aku sibuk. Sebaiknya kamu keluar," usir Aletha, dengan suara pelan, seolah ragu.
Damian perlahan mendongak, menatap Aletha dengan tatapan yang sulit diartikan, antara memohon dan manja.
"Kita nonton yuk! Siang ini kita ke bioskop, film romantis baru tayang. Aku janji nggak akan bikin kamu bete lagi."
Damian tidak merespon pengusiran istrinya tadi. Dia malah mengajak Aletha nonton.
Aletha mengerjap, lalu menghela napas. "Aku nggak mau. Lagi nggak enak badan karena haid. Mau pulang aja."
"Ya udah, kita pulang. Aku jagain kamu di rumah," Damian menanggapi cepat.
"Gak perlu. Aku bukan anak kecil. Kamu urus aja kesibukan kamu… atau jenguk Bella lagi. Dia pasti butuh teman."
Damian mendengus pelan, lalu berdiri. Tanpa peringatan, ia memutar kursi Aletha hingga menghadap dirinya. Tatapannya menusuk, jarak wajah mereka nyaris tak ada. Aletha terbelalak.
"Jangan mempersulit seseorang untuk memperbaiki keadaan, Aletha," ucap Damian dengan nada rendah tapi tegas.
"Aku ingin memperbaiki hubungan kita, tapi kamu mempersulit aku... Atau aku... perlu sedikit melakukan pemaksaan?"
Ia semakin mendekat, memiringkan kepala, hendak mengecup bibir Aletha. Aletha refleks menahan napas, jantungnya berdetak kencang. Tepat sebelum bibir itu menyentuhnya, Aletha buru-buru bangkit.
"Aku mau ke toilet. Jangan ngikut!" katanya cepat, lalu berjalan pergi.
Damian memandangi punggung Aletha yang menjauh, dan senyum tipis penuh kemenangan muncul di bibirnya.
Gugupnya Aletha barusan cukup menjadi bukti, dinding yang wanita itu bangun tidak setebal yang ia kira.
*****
Siang harinya...
Damian terlihat sedang beristirahat di ruang kerjanya. Ia menyandarkan tubuhnya kesadaran kursi dan memejamkan mata, Damian tertidur.
Pria itu sangat mengantuk, hingga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertidur di tempat kerja. Semalam, ia tak tidur sama sekali, terlalu sibuk menjaga Bella.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangannya terbuka. Aletha masuk untuk meminta izin pulang. Ia merasa badannya tak nyaman, apalagi di hari ketiga menstruasi. Wajahnya sedikit pucat, dan ia terlihat agak lemas.
Saat melihat Damian tertidur, Aletha menatapnya beberapa lama. Ia tahu, Damian pasti kelelahan dan juga mengantuk setelah menjaga Bella semalaman. Hal itu terlihat dari tidurnya yang nyenyak dan dengkuran halus dari pria itu.
Aletha tak tega mengganggu suaminya. Ia pun keluar dari ruangan itu dengan memegangi perutnya yang terasa sakit. Aletha menghampiri ruang kerja salah satu staf dan berkata, "Tolong, nanti kalau Pak Damian bangun, katakan saya izin pulang. Saya merasa tidak enak badan. Tadi saya sempat ke ruangannya untuk izin, tapi beliau tidur."
Setelah itu, Aletha pergi. Masuk ke dalam lift menuju lantai satu sambil sesekali menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, untuk sedikit meringankan rasa sakitnya.
Sesampainya di lantai satu, Aletha melangkah keluar dari gedung kantor dengan langkah pelan, satu tangannya memegangi perut, satu lagi menggenggam tas. Udara siang yang panas langsung menyambutnya, membuat tubuhnya terasa semakin lemas. Ia memesan taksi online lewat ponsel, lalu berdiri menunggu di tepi trotoar.
"Aku harus mampir ke apotik dan membeli obat pereda," gumamnya. "Sakitnya menyiksa banget."
Saat taksi yang dipesan datang, Aletha segera masuk dan meminta si sopir untuk pergi dari tempat itu. Mobil pun melesat pergi, membawa Aletha menuju tempat tujuannya.
Sementara itu, di ruangannya, Damian masih terlelap. Ia tak tahu jika istrinya pulang dalam keadaan tak baik-baik saja. Tidurnya terlalu nyenyak.
*****
Jam kerja sudah kembali normal, suara aktivitas kantor terdengar dari luar ruangan. Seorang staf yang tadi mendapat pesan dari Aletha mengetuk pintu ruang kerja Damian pelan.
"Pak Damian?" panggilnya.
Damian bergeming, masih terlelap di kursi dengan kepala sedikit menunduk. Akhirnya staf itu memberanikan diri masuk, lalu menaruh map laporan di meja.
"Pak… maaf, saya terpaksa membangunkan Bapak. Laporan ini harus saya sampaikan sekarang," ucapnya pelan, sembari sedikit mengeraskan suaranya.
Damian mengerjap, matanya terasa berat. Ia mengucek wajahnya, mencoba mengusir sisa kantuk. "Hmm… iya… ada apa?"
Setelah menyerahkan laporan, staf itu teringat pesan dari Aletha.
"Oh iya, tadi Bu Aletha katanya masuk ke ruangan Bapak. Beliau mau izin pulang, tapi Bapak sedang tidur. Jadi beliau titip pesan lewat saya."
Damian langsung menatapnya penuh perhatian. "Pulang? Kenapa?"
"Beliau bilang tidak enak badan, Pak. Wajahnya agak pucat… dan kelihatannya lemas," jawab staf itu hati-hati.
Alis Damian langsung berkerut. "Sejak kapan dia pulang?"
"Tadi… sekitar sejam yang lalu, Pak."
Damian menegakkan tubuhnya, rasa kantuknya hilang seketika. "Kenapa kamu nggak langsung bangunkan saya saat itu?"
Staf itu terlihat canggung. "Beliau minta saya jangan membangunkan Bapak. Katanya Bapak sedang lelah dan butuh istirahat."
Damian terdiam. Ada rasa hangat bercampur khawatir yang menggelayut di dadanya. Hangat, karena Aletha masih memikirkan dirinya… khawatir, karena Aletha ternyata pulang dalam keadaan sakit.
"Baik. Terima kasih, kamu boleh keluar," ucapnya cepat.
"Baik, Pak."
Begitu stafnya keluar dan pintu tertutup kembali, Damian segera meraih ponselnya, mencoba menelpon Aletha. Namun panggilannya tak diangkat. Ia menghembuskan napas keras, lalu berdiri, mengambil jasnya, dan melangkah cepat keluar ruangan.
Satu hal jelas di pikirannya: ia harus pulang sekarang. Aletha sedang tidak baik-baik saja… dan kali ini, ia tidak akan terlambat menemaninya.
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu