NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:488
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kembali Sakit

Keesokan paginya, aku sudah berangkat pagi-pagi sekali menuju kota karena memang sedang ada urusan lebih dulu. Aku akan pergi ke toko buku lebih dulu sebelum menemui Hanif untuk makan siang.

Di tengah perjalanan menuju tempat makan yang dijanjikan untuknya, Hanif tiba-tiba membatalkan janjinya. Padahal aku juga sudah mau sampai sekarang.

Aku menghela napas lalu memakluminya, mungkin memang ada kerjaan mendadak atau ada urusan penting.

Langkahku baru saja akan masuk ke tempat makan yang dituju kita berdua tadinya, tapi langkahku terhenti. Dari luar saja sudah terlihat jika laki-laki yang membatalkan janji makan siang bersamaku sedang bersama dengan wanita lain—duduk dengan senyuman dan makanan yang cukup banyak.

Jadi dia batalin janjinya karena ketemu pacarnya?

Terus kenapa dia seperhatian itu sama aku?

Dia emang cuman mau akrab aja ya?

Salah banget aku.

Lagian ngapain sih Ri pake ngarep sama dia.

Dari pekerjaannya aja, harusnya kamu udah minder dan gak harus berharap lebih.

Aku memilih untuk mencari makan di tempat yang lain—pergi ke tempat makan yang sedang ramai jadi perbincangan. Lalu memesan mie yang cukup pedas dengan level yang cukup tinggi, ditambah dengan minuman yang segar dan asam.

Awalnya tidak terjadi apa-apa, ketika aku memakannya dengan lahap karena rasa lapar. Bahkan sama sekali tidak membuatku perih pada perut. Setelahnya pun aku pulang dengan santai sampai kembali ke rumah.

Tapi semakin waktu berlalu, aku mulai merasakannya. Perutku kembali kembung dengan sedikit rasa perih dan mual yang mulai menyeruak kembali naik ke mulut.

Ini pasti gara-gara mie tadi.

Tapi mamah sama bapak gak boleh tau, apalagi kalau masih ada abang.

Bisa kacau nanti.

Aku segera memakan beberapa biskuit lalu meminum obatnya dan segera beristirahat. Ku matikan ponsel agar tidak ada yang mengganggu.

Mamah dan Bapak juga beberapa kali mengetuk kamar dan menanyakan kabar. Tapi aku hanya menjawab dengan sekuat tenaga agar mereka tidak curiga.

Makan malam pun aku melewatkannya, aku hanya memakan biskuit yang masih ada di kamar.

Ketukan pintu kamar mulai terdengar kembali, tapi kali ini suara abang yang terdengar. Setelah seharian ini tidak bertemu dengannya, apa yang akan dilakukan laki-laki itu sekarang.

"Kenapa Abang?" tanyaku dengan suara yang mulai lemas karena perut yang kembali terasa perih.

"Buka dulu pintunya neng, gak sopan bicara kayak begini. Abang mau bicara sesuatu sama kamu," ucapnya.

"Bicaranya gak bisa gini aja bang?" tanyaku.

"Gak bisa, soalnya ini serius," jawabnya membuatku perlahan membuka pintunya dengan langkah yang sudah lunglai.

Brughhhh....

Sontak abang terkejut mendengarnya. Ia langsung mendobrak pintu kamarku, disusul dengan bapak dan juga mamah yang datang. Sedangkan Teh lia sudah kembali ke rumahnya karena akan masuk bekerja malam ini.

"Astaghfirullah neng!!" ucap abang terkejut.

Laki-laki itu langsung membawaku ke tempat tidur, melihat biskuit yang berantakan di tempat tidur dengan obat lambung yang masih cukup banyak.

"Kayaknya dia abis makan obat deh pak," ucap abang.

Bapak mengangguk, "kayaknya dia makan sesuatu waktu keluar tadi."

"Emang dia keluar sama siapa?" tanya abang.

Bapak menggelengkan kepalanya, "bilangnya sama temen tapi kayaknya dia pergi sendirian."

"Kita bawa ke rumah sakit aja yuk pak? abang khawatir," ajak abang diangguki bapak dengan cepat.

Pria paruh baya itu langsung menyiapkan mobil dan pergi bersama dengan abang. Sedangkan mamah ditemani oleh kakak sepupu yang diminta untuk datang sebentar dan menemani mamah selama bapak dan juga abang membawaku ke rumah sakit.

Singkat cerita, setelah perjalanan yang cukup panjang—aku dibawa ke ruang pemeriksaan. Tidak butuh waktu lama, dokter jaga kembali menemui bapak yang menunggu dengan rasa khawatir bersama dengan anak sulungnya.

"Maaf pak! apa sebelumnya si teteh makan yang pedes atau asam?" tanya dokter jaga.

Bapak menoleh pada abang lalu menggelengkan kepalanya menjawab dokter, "saya juga kurang tau dok. Tadi dia pergi seharian soalnya."

Dokter jaga mengangguk, "oh begitu ya pak. Ini mungkin dari makanan atau pikiran juga, makanya sakit di lambung si tetehnya kembali kambuh. Si teteh ini yang dirawat beberapa waktu lalu karena muntah darah kan?"

Bapak mengangguk, "terus sekarang gimana? Apa balik dirawat lagi?" tanyanya.

"Dirawat inap lagi ya pak. Biar ada pengawasan juga, terus usahain tetehnya jangan bandel, kasian lambungnya," ucap dokternya membuat bapak dan juga abang mengangguk paham.

Abang yang menungguku sadar di ruang perawatan setelah dipindahkan tadi. Sedangkan bapak kembali pulang untuk mengambil pakaian dan juga meminta kakak sepupu untuk menungguku kembali selama dirawat.

Malam sudah semakin larut, aku menghela napas lalu membuka mata perlahan.

"Neng, kamu udah sadar?"

Aku mengangguk, "ini dimana bang?"

"Di rumah sakit neng. Kamu harus dirawat lagi, lagian tadi siang makan apa sih sampe kambuh lagi sakit kamu," ucap abang.

Aku hanya tersenyum mendengarnya.

"Malah senyum-senyum begitu,"

"Neng seneng banget kalau abang khawatir lagi kayak begini. Berarti kita akur lagi kan bang?" tanyaku.

Laki-laki itu mengangguk, "abang juga tadi sebenernya mau bilang minta maaf sama kamu karena udah keterlaluan dari pas telepon kamu sama kemarin malem."

Aku mengangguk mengiyakan, "gak apa-apa bang. Tapi lain kali jangan gitu lagi ya bang?" Abang mengangguk mengiyakan dengan senyumannya.

Tidak lama setelahnya, kakak sepupu datang dengan bapak. Pria paruh baya itu menatapku dengan diam, "makan apa sih kamu?"

"Pak, udah pak. Biarin aja dulu," ucap abang.

"Bapak sama abang mau pulang dulu ya! Kamu hati-hati! Jaga kesehatan coba, lebih perhatian sama tubuhnya," ucap abang lalu mengajak bapak untuk pergi.

Teteh sepupu mendekat padaku—ia duduk pada tepian ranjang pasien, "patah hati ya?"

"Enggak teh,"

"Gak usah bohong neng. Teteh juga pernah ada diposisi kamu," timpalnya.

"Makan apa kamu tadi?" tanya teteh.

"Makan gacoan level 7," jawabku langsung membuat teteh menggaruk kepalanya.

"Neng, patah hati sih patah hati. Tapi jangan ngelukain tubuh kamu kayak gini," ucapnya.

"Dibilang bukan patah hati," protesku. Kakak sepupu hanya manggut-manggut tidak percaya.

Setelahnya, berhubung malam juga sudah mulai larut. Aku mengajaknya untuk beristirahat.

Keesokan paginya, karena aku sedang datang tamu bulanan juga—aku masih tertidur hingga jam 10 pagi setelah mengganti pembalut tadi pagi dan tidur kembali.

Tok.. Tok... Tok...

Aku terbangun karena suara ketukan itu terus menerus terdengar. Padahal di ruang perawatan ada 2 pasien sekarang. Tapi ketukan itu terus terdengar.

Siapa sih yang ketuk?

Tidak lama setelahnya, gorden sekat ranjangku dibuka seseorang.

"Kok bisa di sini lagi? Seharian kemarin kemana gak ada hubungi aku? Aku telepon juga gak bisa sampe tadi pagi, kenapa?" tanyanya beruntun.

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!