Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Segel Luka di Meja Kekuasaan
Pagi itu, langit Jakarta masih dibalut kabut tipis ketika Gavin Alvareza berdiri di balik jendela ruang kerjanya. Tangannya menggenggam ponsel, matanya menatap nanar gedung-gedung tinggi yang mengelilingi Mahesa Group cabang dua. Sebuah perusahaan tekstil besar yang kini ia pimpin langsung.
Nada dering ponsel menghilang begitu Vanesa mengangkatnya.
"Kamu tidak datang tadi malam. Aku menunggumu di apartemenmu."Suara Vanesa terdengar pelan, nyaris segan.
Gavin tak menoleh sedikit pun, suaranya datar. “Aku tidak perlu memberi izin padamu di mana aku tidur. Sekarang juga, aku minta kamu datang ke kantorku.”
Tanpa bantahan, Vanesa menuruti. Ia tahu, ketika Gavin bicara seperti itu, tak ada gunanya melawan. Bahkan jika hatinya sendiri tengah berontak.
**
Mahesa Group cabang dua masih sepi saat Vanesa tiba. Udara pagi yang dingin tak mampu mengalahkan kegelisahan di dadanya. Hari itu ia mengenakan blazer abu-abu dan celana formal yang menegaskan wibawa seorang wanita karier, tapi di balik tatapannya tersimpan keraguan.
Felix, asisten pribadi Gavin yang juga berperan sebagai pengawal, menyambutnya di lobi.
“Non, masuk saja. Pak Gavin sudah menunggu.”
Vanesa menatap pintu ruangan di ujung koridor. Rasanya seperti berjalan ke medan perang. Pintu ruangan Gavin terbuka perlahan, menampakkan sosok pria itu duduk santai di kursinya, seolah malam sebelumnya tidak terjadi apa-apa.
“Masuklah. Kunci pintunya dan lakukan tugasmu di sini,” ucap Gavin tanpa menoleh.
Mendengar itu, wanita cantik itu menelan ludah dengan susah payah. Vanesa melakukan perintahnya. “Apa kamu yakin ini tempat yang tepat? Kalau orang tahu pernikahan kita, akan jadi masalah untukku.”
Gavin menoleh tajam. “Masalah untukmu?” tanyanya sinis.
“Kita bisa bicara di apartemenmu. Di sana tak ada yang tahu kita.”
Tangan Gavin mengepal. “Lalu kemarin kamu bebas bertemu Damian?”
“Kami hanya bicara sebentar,” jawab Vanesa.
“Dengan memegang tanganmu?” Gavin berdiri, matanya seperti bara api yang menyala. “Kamu pikir aku buta? Ada kamera di parkiran rumah sakit. Apa kamu senang membuatku marah?”
“Hanya pegang tangan, Gavin. Lagipula... dia masih suamiku secara hukum.”
Sejenak ruangan itu hening. Gavin menarik napas panjang, tapi dadanya masih bergemuruh. Kata-kata Vanesa menusuk seperti duri.
“Oh, kamu puas membuatku terlihat bodoh? Apa kamu juga melayaninya semalam? Hah? Apa kamu menjual tubuhmu ke mantan suamimu itu?”
Vanesa menatap Gavin, muak dan terluka. Ia terlalu lelah dengan semua tuduhan.
“Iya,” jawabnya pelan tapi tajam. “Aku memuaskannya.”
Detik itu juga, Gavin kehilangan kendali. Ia menyeret Vanesa mendekat, mencengkeram dagunya kasar, lalu melumat bibir wanita itu dalam kemarahan dan cemburu yang meluap. Vanesa mencoba menolak, tapi Gavin lebih kuat, dan hatinya juga lemah oleh cinta yang menyakitkan.
“Kalau dia bisa, aku juga harus bisa. Kamu milikku, Vanesa. Aku suamimu sekarang!”
“Gavin, hentikan! Ini pemaksaan!” Vanesa mendorong, tapi pria itu tak bergeming.
“Aku tidak memaksa. Aku hanya mengambil hakku.”
Dengan tubuh penuh amarah dan gairah yang terbakar cemburu, Gavin melemparkan Vanesa ke meja besar di ruangannya. Segala hal yang rapi di meja itu berhamburan. Ia menyatukan tubuh mereka dalam gelombang hasrat gelap—tak ada cinta di sana, hanya rasa sakit, kepemilikan, dan dendam.
Ruangan itu kedap suara, namun bukan berarti kedap perasaan. Jerit lirih Vanesa, erangannya yang tertahan, dan suara kasar Gavin tak terdengar siapa-siapa, tapi bergema di dada mereka masing-masing.
“Apa aku memuaskanmu, Danita?” bisik Gavin penuh gairah, menyebut nama Danita, nama yang sering ia pakai saat mereka pacaran dulu..
Vanesa menggigit bibir bawahnya, matanya berair. “Sakit…”
“Nikmati saja, sayang. Ingat baik-baik… hanya aku yang bisa membuatmu seperti ini.”
Beberapa menit kemudian, Gavin menarik tubuhnya menjauh. Ia terengah, memandangi Vanesa yang masih tergeletak, tubuhnya lemas, wajahnya hampa.
Tanpa rasa bersalah yang tampak, Gavin menyeka tubuhnya dengan handuk kecil. Lalu ia melirik jam tangannya.
“Cepat kenakan bajumu dan pergi. Istriku akan datang.”
Vanesa membeku.
Istriku? Ucapan itu seperti belati yang menusuk ulu hatinya. Tubuhnya menggigil, tapi bukan karena dingin. Ia bangkit, membersihkan diri dengan tisu basah. Dalam diam yang menyayat, ia mengancingkan blazer dan merapikan celana panjangnya.
“Aku pulang,” ucapnya pelan.
“Tunggu.”
Gavin menunjuk ke arah meja. Ada bercak kemerahan yang tertinggal di permukaannya. “Bersihkan itu. Jangan sampai Karin melihat.”
Vanesa menoleh ke meja, lalu ke arah Gavin. Ia mengeluarkan saputangan dari tas dan mengusap noda itu perlahan. Matanya berkaca-kaca. Ia tak menjawab apa pun, hanya mengangguk dan pergi.
Namun Gavin tetap berdiri mematung. Ada sesuatu yang mengganggunya.
Segel. Itu darah.
Matanya menyipit.
‘Bukankah dia sudah menikah? Kenapa seperti... pertama kalinya?’
Pertanyaan itu menghantam keras kepalanya. Ia ingin percaya bahwa Vanesa berbohong. Tapi nalurinya sebagai pria dan pengalaman menyatakan sebaliknya.
Gavin membalikkan badan, menatap pintu yang tertutup. Tangan kirinya mengepal, tangan kanan menyentuh dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.
‘Apa aku terlalu kasar? Tapi dia juga... terlalu menyakitiku.’
Di luar ruangan, Vanesa berjalan tertatih, rasa sakit di bawa sana tidak kalah sakit dari hatinya yang terasa tercabik-cabik ia berjalan cepat menuju lift. Tapi langkahnya terhenti. Sosok wanita elegan berdiri di depan pintu lift, Karin. Istri sah Gavin yang masih menjadi simbol statusnya sebagai pasangan suami istri.
Jantung Vanesa mencelos. Ia segera berbalik, menyelinap ke toilet wanita. Di sana, ia mengunci diri dalam bilik kloset, duduk, dan mengusap wajahnya yang penuh keringat dan air mata.
Bagian tubuhnya masih berdenyut perih. Tapi hatinya lebih parah. Terkoyak oleh cinta yang salah, oleh lelaki yang tak bisa ia lupakan—dan tak bisa ia miliki.
“Hidupku selanjutnya… akan seperti neraka,” bisiknya.
**
Sementara itu, Gavin berdiri lagi di balik jendela. Karin sudah ada di lantai bawah, menuju ruangannya. Tapi pikirannya tidak fokus pada istri sahnya.
Bayangan Vanesa memenuhi kepalanya. Wajahnya yang terluka. Tubuhnya yang bergetar. Jawaban “iya” tadi terus berputar dalam kepala.
Tapi... kenapa ada darah?
Gavin menutup mata. Dalam dinginnya dunia mafia, ia bisa menghukum siapa pun, membunuh tanpa ragu. Tapi terhadap Vanesa, satu-satunya wanita yang berhasil menembus dinding es di hatinya, ia hanya bisa diam.
Diam, dan kalah.
"Aku harus tahu kebenarannya, Vanesa. Sebelum semuanya terlambat…
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini