ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 : Awal dari Sesuatu yang Lebih Dalam
Malam itu, cahaya lembut dari lampu gantung rotan menerangi meja makan kayu di dalam vila. Di atasnya tersaji hidangan sederhana hasil masakan Elina, pasta creamy dengan potongan salmon asap, dan salad segar yang ditata rapi di mangkuk kaca. Aroma bawang putih dan rempah masih menggantung tipis di udara.
Adrian menarik kursi dan duduk di seberang Elina, membiarkan dirinya disuguhkan. Di hadapan mereka, jendela terbuka mengarah ke laut gelap yang hanya memantulkan bayangan bintang.
"Harum sekali," ucap Adrian sambil mengambil sendoknya. "Sejak kapan kau belajar memasak seperti ini?"
Elina mengangkat bahu, sedikit tersenyum. "Dulu... waktu masih tinggal sendiri. Masak karena harus. Tapi aku baru tahu, ternyata memasak jadi terasa menyenangkan kalau ada yang menunggu makan bersama."
Adrian melirik ke arah wanita itu. "Kalimatmu nyaris terdengar seperti istri yang sesungguhnya."
Elina tidak langsung membalas. Ia hanya menunduk sedikit, menusuk potongan salmon di piringnya.
Mereka makan dalam diam beberapa saat, sampai Elina membuka suara lagi, mencoba mencairkan suasana yang nyaris beku.
"Kau pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?"
"Beberapa kali. Tapi tidak dengan seseorang yang membuatku mempertimbangkan untuk benar-benar menikmati tempatnya."
"Tempat ini... terlalu tenang. Aku takut nanti malah jadi terlalu banyak berpikir," gumamnya pelan.
"Atau justru terlalu banyak merasa?" balas Adrian, tatapannya menusuk, namun nada suaranya tetap lembut.
Elina menggigit bibirnya pelan. Ia merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi emosional. Dan itu jauh lebih berani.
Untuk menyeimbangkan suasana, ia bertanya balik, "Kalau liburan impianmu seperti apa?"
Adrian berpikir sejenak, lalu menjawab dengan santai, "Tempat dingin. Banyak salju. Kabin kayu dengan perapian. Tapi mungkin aku baru sadar... laut dan hangat juga tidak buruk, kalau suasananya tepat."
"Suasananya atau orangnya?" tantang Elina setengah bercanda.
Adrian menyendok potongan terakhir pasta ke mulutnya, mengunyah perlahan sebelum menjawab, "Keduanya. Tapi orangnya yang lebih penting."
Ada jeda setelah itu. Elina merasa bahwa malam ini lebih berat dari sekadar makan malam. Ini adalah awal dari pembicaraan yang lebih besar, lebih jujur, bahkan jika belum diucapkan secara langsung.
Ketika ia berdiri untuk membereskan piring, Adrian menahannya dengan tatapan.
"Aku bantu."
Elina mengangguk. Mereka membereskan meja bersama, dalam diam yang nyaman. Tak ada canggung, hanya dua orang yang perlahan mencoba memahami irama masing-masing.
Selesai semuanya, Elina menatap ke luar, ke laut yang mulai tertelan malam.
"Esok kita akan menjelajah pulau?"
"Jika kau mau," jawab Adrian. "Atau kita bisa hanya duduk di sini, bicara seharian. Tak perlu ada rencana."
Elina menoleh dan menatap Adrian. Kali ini, tatapannya lebih jernih. Lebih tenang.
"Baiklah... kita lihat saja besok."
Dan malam itu, mereka tak bicara banyak lagi. Tapi di antara mereka, ada sesuatu yang perlahan tumbuh: rasa nyaman yang tidak dipaksakan, dan ketertarikan yang perlahan meninggalkan ruang pura-pura.
...****************...
Udara malam membawa aroma laut dan kelembapan yang lembut, menyelinap masuk melalui jendela terbuka kamar vila mereka. Lampu-lampu kecil di sudut ruangan menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dinding. Tempat tidur besar itu kini telah rapi, seprai putihnya mengundang, kelambu tipis menjuntai lembut seperti tirai di mimpi musim panas.
Elina berdiri di depan cermin panjang, menyisir rambutnya perlahan. Ia mengenakan piyama satin lembut warna gading, sederhana tapi tetap manis. Cahaya lampu memantulkan kilau halus dari kain yang membalut tubuhnya. Ada kegugupan kecil di sana, tapi juga ketenangan yang baru tumbuh , seperti seorang wanita yang mulai berdamai dengan keadaan yang awalnya terasa asing.
Adrian keluar dari kamar mandi dengan rambut yang sedikit basah dan t-shirt abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan santai. Ia menatap punggung Elina di depan cermin, dan tanpa banyak kata, berjalan pelan menghampiri.
"Kau selalu terlihat tenang setelah menyisir rambut," gumamnya dari belakang, membuat Elina menoleh sedikit dengan senyum kecil.
"Itu kebiasaan lama. Seperti ritual sebelum tidur."
Adrian menatapnya sejenak. "Kau terlihat damai malam ini."
"Mungkin karena untuk pertama kalinya... aku tidak merasa harus berpura-pura di dekatmu."
Kalimat itu membuat langkah Adrian terhenti sesaat. Pandangannya melembut. "Itu kemajuan besar."
Elina berbalik menghadapnya, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Udara di antara mereka seperti ditarik menjadi lebih pekat, lebih tenang, namun sarat makna.
"Kau... akan tidur di sisi kanan, kan?" tanya Elina, mencoba membuat suaranya ringan, walau pipinya mulai memerah.
Adrian tersenyum tipis. "Hanya kalau kau tidak keberatan."
Elina mengangguk. Mereka naik ke atas tempat tidur bersama, tanpa kecanggungan yang dulu pernah menggantung di antara mereka. Hanya keheningan lembut, seperti sepasang jiwa yang belum tahu arah tapi saling menyadari kehadiran satu sama lain.
Saat lampu dimatikan, kamar itu tenggelam dalam cahaya bulan yang menyusup dari celah kelambu. Elina berbaring menghadap jendela, memeluk bantal kecil, sementara Adrian berbaring di sampingnya, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk merasakan kehangatan di sela jarak mereka.
Tapi yang pasti, malam itu... mereka tidur lebih dekat. Bukan secara fisik semata, tapi secara emosional. Seperti dua orang asing yang perlahan mengizinkan hatinya membuka jendela.
...****************...
Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah kelambu, menyentuh kulit Elina yang masih tertidur. Udara tropis membawa aroma laut yang lembut, bercampur dengan wangi bunga segar yang diletakkan di sudut kamar oleh staf vila semalam. Suara debur ombak mengisi keheningan pagi, seolah mengayun waktu dengan lembut.
Elina perlahan membuka mata. Cahaya itu membuat bulu matanya bergetar sebelum akhirnya ia menoleh, dan mendapati Adrian masih tertidur di sisinya. Lelaki itu tertidur dengan satu lengan menutupi dahi, napasnya teratur, wajahnya jauh lebih lembut dibandingkan saat ia berada di balik layar kehidupan bisnisnya yang dingin.
Dan untuk sesaat, Elina hanya diam, menatap pria itu. Ia tak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Tidur di ranjang yang sama, di pulau terpencil yang begitu indah, dengan seorang pria yang selama ini ia kira hanya akan menjadi nama di atas kontrak.
Ia menggigit bibir pelan. Kemarin terasa seperti mimpi. Tapi pagi ini... terasa nyata.
Adrian perlahan membuka mata, mungkin karena merasa sedang diamati. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang masih hangat oleh sisa mimpi.
"Selamat pagi," gumam Elina lembut, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ombak.
Adrian mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mengangguk kecil. "Pagi."
Mereka diam beberapa detik, seolah masih mencari-cari kata yang tepat. Lalu Adrian menarik napas dalam.
"Aku tidak menyangka bisa tidur sepanjang malam."
Elina tersenyum kecil. "Mungkin udara laut membantumu. Atau mungkin karena kau tidak sendirian."
Mata Adrian mengarah padanya, dan kali ini tak ada ketegangan. Hanya kejujuran yang nyaris asing, namun tak ditolak.
"Apa kau... tidur nyenyak?" tanyanya.
Elina mengangguk. "Untuk pertama kalinya... iya."
Lalu ia duduk pelan, menarik selimut hingga pinggang. Rambutnya terurai, sedikit kusut, tapi justru membuatnya terlihat lebih hidup daripada biasanya.
"Aku akan turun dulu, mungkin melihat-lihat pantai sebentar sebelum sarapan." katanya sambil melangkah turun dari tempat tidur.
Adrian hanya menatap punggungnya yang menjauh menuju kamar mandi, sebelum akhirnya tersenyum tipis sendirian. Pagi itu terasa... damai. Terlalu damai untuk dua orang yang awalnya hanya ditautkan oleh kesepakatan.
Dan mungkin, hari pertama mereka di pulau itu... bukan hanya awal dari liburan, tapi awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam.