Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Altar yang Terbelah
Di tengah puing kuil yang hampir runtuh, suasana menjadi hening. Gerhana matahari masih bergelayut di langit, menebarkan kegelapan yang menelan warna-warna alam. Tiba-tiba Kate berdiri di atas altar batu, tubuhnya membeku seolah raganya dikuasai kekuatan asing. Matanya tidak lagi bersinar lembut, melainkan merah padam dengan tatapan tajam tak berperasaan.
Orion perlahan melangkah maju, meski tubuhnya masih terasa berat oleh benturan dari ritual sebelumnya. “Kate?” panggilnya pelan.
Kate tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke langit, sebelum menurunkan pandangannya ke tanah dengan senyum tipis, senyum yang tidak pernah diperlihatkan Kate sebelumnya. Senyum yang terlalu tenang, terlalu berbahaya.
Di dalam pikirannya, Kate berteriak mencoba melawan. Namun ia seperti terperangkap di balik kaca gelap, menyaksikan tubuhnya bergerak bukan atas kehendaknya sendiri.
“Damian, apa yang kau lakukan!?”
Suara Damian menggema di dalam kepalanya, tenang dan mengisyaratkan ancaman.
“Kau terlalu lembut untuk menyelesaikan ini. Biarkan aku menyelesaikannya untukmu.”
Lalu tubuh Kate yang telah dikuasai Damian mengangkat tangannya perlahan ke udara, dan segel ritual yang melingkari altar langsung retak dan pecah dalam kilatan cahaya gelap yang menyapu segala penjuru. Akar-akar sihir yang sebelumnya menjalar ke tanah, kini hangus terbakar. Bersamaan dengan menutupnya gerbang antar dimensi dan menyembunyikan lagi sosok yang mengawasi di balik gerbang itu.
Pria tua yang merupakan penyihir itu yang berdiri tak jauh langsung membelalakkan mata. “Kau... kau bukan gadis itu!” teriaknya marah, sekaligus takut.
Damian yang menggunakan tubuh Kate melangkah turun dari altar. Setiap langkahnya meninggalkan jejak membara di tanah. Rambut Kate yang biasanya tenang, kini berkibar liar tertiup pusaran angin gelap. Aura kekuatan yang menyelimuti tubuhnya begitu kuat hingga menyesakkan napas siapa pun yang berada di sekitarnya.
“Siapa kau sebenarnya!?” pekik penyihir itu.
Kate atau lebih tepatnya Damian menatapnya dengan mata menyala merah darah, lalu perlahan membentuk senyuman licik yang membuat darah membeku.
“Kau ingin tahu, siapa yang kau usik?” bisiknya pelan.
Dalam sekejap, kabut hitam menyelimuti tubuh Kate, menebal dan menggulung seperti badai, hingga akhirnya membentuk sosok sejati Damian.
Sayap hitam yang membentang bagai gerbang neraka, dua tanduk melingkar dari pelipis, dan api merah yang menjilat-jilat dari telapak kaki hingga ke ujung sayap. Mata merahnya seperti lubang tak berdasar, tempat segala harapan lenyap.
Orion, Jasper, dan Danzzle di pinggir altar terhenyak, wajah mereka dipenuhi ketegangan. Bahkan Lyra yang semula ingin maju, kini berdiri kaku mencoba memahami apa yang ia lihat.
Mereka tidak melihat Damian. Mereka hanya melihat Kate, tetapi kini diselimuti kabut hitam mengerikan, dan aura mengancam yang nyaris membuat mereka tercekik.
“Kate tidak seperti itu,” gumam Danzzle, menggenggam liontin sihirnya erat. “Ini... ini bukan sihir biasa, bahkan bukan dari Nether. Ini sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap.”
Orion melangkah maju lagi, suara hatinya menjerit. “Kate! Jika kau bisa mendengarku, lawan dia!”
Damian menoleh perlahan ke arahnya. Mata merah Kate menatap Orion lalu tersenyum. Bukan senyum Kate, tapi senyum Damian.
Kembali ke hadapan si penyihir, pria tua itu kini berlutut, tubuhnya gemetar seperti tikus di hadapan kucing.
“Ma... Maafkan aku... Tuanku. Aku tidak tahu... Aku tak tahu dia milik Anda…”
Damian mengangkat satu tangan, menciptakan sebilah pedang dari api dan kegelapan. “Kau menyentuh milikku,” suaranya berat, dalam, dan bergema. “Kau mengutuk tubuh yang jadi milik istriku. Kau bahkan mencoba mempersembahkannya ke gerbang dimensi.”
Penyihir itu menunduk makin dalam, wajahnya basah oleh keringat dan air mata. “Hukum aku seperti layaknya hamba! Jangan hancurkan jiwaku!”
Damian menunduk pelan, wajah iblisnya mendekat dengan senyum tenang. “Bukan jiwamu yang kuinginkan, tetapi contoh bagi semua makhluk yang menyentuh istriku tanpa izinku.”
Dalam satu gerakan cepat, Damian mengayunkan pedang dan memenggal kepala penyihir itu.
Tubuhnya jatuh membentur tanah, darah hitam meletup di udara dan segera terserap oleh pusaran kabut yang menyelimuti altar. Gerhana di langit seolah berdenyut satu kali. Sebelum mendadak perlahan mulai bergeser kembali, seakan waktu terhenti selama kemarahan Damian berlangsung.
Di pinggir altar Orion jatuh berlutut, dadanya sesak tidak percaya apa yang dilihatnya. “Itu bukan Kate, itu sesuatu yang lain...”
Jasper menatap sekeliling dengan gugup. “Aura itu, jauh dari sihir Nether biasa. Bahkan mimics pun membubarkan diri. Mereka takut.”
Danzzle memeluk ramuan penyeimbangnya erat. “Kita... kita mungkin sedang melihat roh iblis kelas atas.”
Sementara itu, Lyra menggertakkan gigi. Matanya tak lepas dari sosok Kate. “Jadi ini sebabnya semua perhatian selalu mengarah padamu. Bahkan kegelapan pun memilihmu...”
Cahaya gerhana mulai surut perlahan. Damian, yang masih dalam wujud aslinya, memutar pedangnya satu kali sebelum kembali menatap langit. Namun matanya melirik ke arah tubuh Kate yang mulai menggigil.
“Waktuku habis di tubuh ini, kau akan kembali, Sayang. Tapi jangan lupa, sejak malam ini semua mata akan melihatmu sebagai milikku.” Kemudian ia menghilang ke dalam bayangan.
Tubuh Kate jatuh berlutut, napasnya kembali. Aura gelap memudar, menyisakan tubuhnya yang lelah dan dingin. Orion segera berlari mendekat dan menangkap tubuhnya sebelum menyentuh tanah.
“Kate… kau kembali?”
Kate membuka matanya perlahan, air mata menetes dari sudut matanya. Ia tidak menjawab. Hanya menatap cincin di jarinya yang masih menyala merah, meski perlahan mulai padam. Kemudian semuanya terasa gelap.
Langit kembali merekah tipis-tipis, sinar mentari menyusup perlahan melewati celah-celah dahan hutan yang menjulang. Gerhana telah berlalu, tetapi bayangannya masih menyelimuti hati setiap orang yang menyaksikan apa yang terjadi di atas altar itu.
Di tengah reruntuhan kuil tua dan altar batu yang kini ternoda oleh darah serta sihir gelap, Kate terbaring tak sadarkan diri dalam pelukan Orion. Wajahnya pucat, tubuhnya dingin seperti habis kehilangan separuh nyawanya. Napasnya terengah, terputus-putus, dan cincin di jarinya masih memancarkan semburat merah tipis yang mengendap seperti bara.
Orion memejamkan mata, mengumpulkan energi arcane dari dalam tubuhnya, bersiap untuk menyembuhkan Kate. Telapak tangannya mulai bersinar keemasan, dan hawa hangat menyelimuti sekitar mereka. Namun sebelum sentuhan itu mendarat, Danzzle berteriak dan meraih tangan Orion.
“Jangan!!”
Orion menoleh kaget, “Apa maksudmu?! Dia butuh bantuan sekarang!”
Danzzle menatapnya serius, tidak seperti biasanya. “Kau tak bisa menyentuh jiwanya dengan kekuatan sebesar itu! Energi arcanemu terlalu murni, terlalu keras! Tubuhnya belum siap!”
Orion tampak tak rela. “Tapi dia akan…”
“Biarkan aku,” potong Danzzle cepat, matanya menajam. “Pernahkah kau melihat seseorang diselimuti kegelapan lalu disiram cahaya terang begitu saja? Itu bukan penyembuhan, itu pembakaran.”
Hening menyelimuti mereka. Akhirnya Orion mengangguk dengan berat hati, lalu menyerahkan tubuh Kate ke pelukan Danzzle. Penyihir muda itu meraba liontin yang tergantung di lehernya, membuka lapisan pelindung, lalu mengusap jari-jarinya ke tanah.
Ia menciptakan lingkaran mantra kecil, lalu menempatkan Kate di tengahnya. Danzzle mulai merapal mantra penyembuhan kuno, dengan suara rendah dan stabil. Energi yang ia keluarkan bukan cahaya terang seperti milik Orion, melainkan sinar lembut berwarna hijau pudar, seperti daun musim semi yang baru tumbuh. Getaran mantranya terasa menenangkan, dan satu demi satu, aura hitam di sekitar tubuh Kate mulai terkelupas seperti malam yang kehilangan cengkeramannya saat fajar menyingsing.
Sementara Danzzle berkonsentrasi, Jasper menyelipkan diri dari kerumunan dan berjalan mendekati altar, kini hanya reruntuhan sunyi yang masih mengandung sisa-sisa aura ritual. Ia berdiri di depan batu persembahan yang masih berlumur darah dan menoleh ke arah Orion yang masih menjaga jarak dekat dari Kate.
“Apa yang akan kita lakukan dengan tempat ini?” tanya Jasper, matanya tajam, bukan main-main.
Orion menatap altar itu lama, sebelum akhirnya menjawab dengan suara berat, “Hancurkan.”
Jasper mengangkat alis. “Kau yakin? Ini altar kuno. Bisa jadi bagian dari warisan sejarah peradaban lama.”
Orion tidak menjawab langsung, hanya berjalan perlahan ke sisi altar yang masih utuh. Ia menekankan telapak tangannya ke permukaan dingin batu itu, merasakan sisa nyawa dan energi yang masih bergentayangan di bawahnya. Ia merasakan penderitaan. Jeritan anak-anak dan tangisan roh-roh yang terperangkap.
“Tak ada yang pantas dikenang dari tempat ini,” kata Orion akhirnya. “Jika kita biarkan berdiri, para penyihir gelap akan datang lagi. Ritual bisa diulang dan korban akan bertambah. Hancurkan semuanya.”
Jasper mengangguk puas. Ia memang menunggu jawaban seperti itu. “Dengan senang hati.”
Ia mundur dua langkah, lalu mengayunkan pedangnya ke udara. Dengan kekuatan penuh dan sihir bawaan dari logam langka pedang itu, Jasper menghujamkan tebasan ke tengah batu altar. Terdengar suara retakan keras, dan cahaya ungu keluar dari dalam celah batu. Namun Jasper tidak berhenti. Ia mengayun lagi dan lagi, sampai seluruh altar terbelah dan runtuh ke tanah dalam reruntuhan batu dan debu. Aura gelap yang sebelumnya membumbung perlahan-lahan memudar.
Di sisi lain. Danzzle yang masih merapal mantra akhirnya menarik napas panjang dan menutup matanya. Lingkaran mantra di sekitarnya perlahan menghilang, dan kilau hijau yang menyelimuti tubuh Kate mulai meresap ke kulitnya. Tubuh Kate menggeliat pelan. Matanya terbuka perlahan.
“Orion…” bisik Kate.
Orion segera berlari ke arahnya, meraih tangannya dan menatapnya dengan lega. “Kau kembali.”
Kate tersenyum samar. “Aku... merasakan gelap itu... masih menatapku...”
Orion menatap matanya lama, lalu memalingkan wajahnya dengan gelisah. Ia tidak ingin mengatakan bahwa ia juga merasakan sesuatu dalam diri Kate yang tidak sepenuhnya kembali seperti semula.
Kate perlahan bangkit duduk, dibantu Orion dan Danzzle. Sebelum ia benar-benar bisa menenangkan pikirannya, ia menatap tangannya. Cincin merah yang dikenakan di jarinya kini tampak gelap dan membeku, dengan sesekali berdenyut seperti jantung hidup.
Orion memperhatikan itu dan bergumam pelan, “Kita perlu bicara soal itu.”
Kate menggenggam cincin itu dengan jari-jari gemetar. Matanya menerawang ke arah reruntuhan altar, ke arah kegelapan yang masih terasa meskipun siang hari telah kembali.
“Ini baru permulaan, bukan?” ucap Kate.
Orion menatapnya lama, lalu menjawab dengan suara pelan, “Ya dan kita belum tahu apa yang telah terbangun bersamamu.”
***
Langkah kaki mereka tertatih menyusuri jalan setapak hutan yang sempat menjadi saksi kekacauan. Kate dipapah oleh Orion, tubuhnya masih lemah meski kesadarannya telah pulih. Lyra pun berjalan perlahan, dibantu oleh Jasper dan Danzzle, yang bergantian menahan lengannya.
Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Semua masih larut dalam pikiran mereka masing-masing. Aroma darah dan sihir hitam masih menempel samar di udara, walau angin mulai membawa harumnya dedaunan basah yang menyapu jejak kegelapan.
Anehnya, perjalanan pulang terasa lebih singkat. Jalan yang tadi begitu sulit dan berliku kini tampak lebih terbuka, seperti hutan sendiri memberi jalan keluar setelah semuanya selesai. Kabut perlahan menghilang, dan sinar mentari mulai mengintip dari balik dahan-dahan tinggi.
Saat mereka menembus batas terakhir hutan, gerbang desa menyambut mereka, dan suara langkah cepat mendekat dari kejauhan. Tetua desa bersama beberapa warga sudah menunggu di pintu masuk desa. Wajah-wajah mereka tampak cemas, tubuh mereka menegang, tetapi dalam mata mereka ada harapan yang baru saja lahir kembali.
“Puji cahaya! Kalian kembali!” seru tetua desa dengan suara parau.
Beberapa warga lainnya langsung menghampiri, berseru, “Kami mendengar suara-suara dari hutan. Teriakan, raungan dan kemudian suara petir yang membelah langit!”
“Langit yang semula gelap, tiba-tiba cerah,” tambah seorang ibu sambil memeluk anaknya erat. “Kami pikir, itu akhir dunia.”
Orion berdiri tegak meskipun tubuhnya sendiri diliputi lelah. Ia menarik napas dalam, lalu berbicara dengan tenang. “Kalian tidak perlu khawatir lagi. Penyihir gelap yang menculik anak-anak dan menodai tempat suci itu sudah mati.”
Ia menatap ke arah mata warga satu per satu. “Altar tempat mereka melakukan ritual juga telah kami hancurkan. Ancaman telah berlalu.”
Seketika terdengar suara isak lega dari beberapa warga. Sebagian menangis, sebagian berpelukan, dan sebagian hanya berdiri mematung tak percaya. Ada keheningan emosional yang menyelimuti seluruh desa, seperti beban berabad-abad telah diangkat dari pundak mereka.
Tetua desa menunduk dalam-dalam. “Atas nama seluruh warga desa Lereng Timur, kami berterima kasih kepada kalian semua ksatria cahaya sejati.”
Warga segera membantu menyiapkan tempat peristirahatan kembali di rumah tetua. Kate dibaringkan di kamar dalam, sementara yang lain menerima ramuan dan perban seadanya dari warga yang tersisa. Danzzle tampak sibuk memeriksa luka Lyra, sementara Jasper duduk di luar, menajamkan pedangnya sambil memandangi langit yang mulai berubah jingga.
Orion duduk di sisi ranjang tempat Kate beristirahat. Matanya menatap wajah tenang gadis itu, tapi pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Cincin itu masih di jarinya. Kini tampak redup, tapi Orion tahu ada sesuatu yang tersimpan di sana. Sesuatu yang belum selesai.
“Apa sebenarnya yang sedang kau bawa, Kate?” bisik Orion pelan.
***
Sore itu, langit benar-benar bersih, tidak ada awan. Bahkan angin pun tenang. Namun di kejauhan, di atas gunung yang membentuk siluet langit barat, sesosok burung hitam raksasa terbang tinggi. Tak satu pun dari mereka melihatnya.
Di sayap burung itu, bergelantungan sesuatu yang menyerupai topeng emas rusak, setengah hancur, tapi masih memantulkan sinar mentari seperti mata yang mengintip. Dan jauh di dasar hutan yang kini sepi, sepotong altar kecil lain tersembunyi di balik akar pohon tua. Cahayanya redup, tapi jelas masih hidup.