Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
Fly dan Aza duduk di depan mal, dengan sebuah laptop dan beberapa buku referensi di atasnya. Mereka tampak khusyuk menatap layar, dengan Fly yang banyak bertanya perihal skripsi. Ya, ia sedang mencoba untuk memulai mengerjakan skripsi. Sebelumnya, pagi tadi ia telah berdiskusi sedikit dengan Yui. Lalu sore harinya, ia bertanya kepada Aza via HP, dengan begitu Aza menawarkan Fly beberapa buku yang digunakannya ketika mengerjakan skripsi.
Beberapa kali, mereka terlihat tertawa satu salam lain. Tanpa mempedulikan orang-orang yang keluar masuk mal itu. Juga tidak menyadari, ada seseorang yang tengah memantau mereka sedari tadi. Sudah sekitar lima menit yang lalu. Ia seperti sedang menonton pertunjukkan seni. Dengan ia satu-satunya penonton. Fokus, sesekali tersenyum miring.
Sebuah HP dikeluarkan orang itu, lalu memfoto Fly dan Aza.
Kemudian, ia berjalan mendekat. Setelah lelah memantau dari jauh.
“Dibantuin, ya? Atau jasa joki gratis? Sekarang kamu udah malas mikir karena nggak ada orang yang jadi tempat kamu nyari muka,” tembak seseorang, tiba-tiba.
Tampak sosok perempuan dengan rambut coklat sebahu. Ia memakai dress pendek selutut yang seharusnya tampak anggun, tapi justru membuat Fly merasa melihat sosok menyeramkan. Bagaimana tidak, di saat seperti apapun, jika yang ditemuinya Fly ia pasti akan berbuat sesuatu yang menyebalkan. Sekalipun ia dari awal memanglah orang yang menyebalkan.
“Bukan urusanmu, kali,” jawab Fly, malas.
Aza mengangguk pelan ke arah Fly, untuk memintanya tenang. Sekalipun ia tidak mengenal perempuan itu, sudah bisa ditebak bahwa ia berada pada cerita Fly semalam. Ia sudah bisa menebak bahwa inilah sosok Cua yang telah mengacaukan hari-hari bahagia Fly.
Seketika mood Fly langsung buruk, sangat buruk. Senyumannya sirna. Begitupun dengan ide-ide cemerlang yang ada di otaknya, raib seketika. Jika Aza perempuan, ingin rasanya ia menarik lengan Aza untuk segera pergi dari tempat itu dan mencari tempat yang tidak terjangkau oleh Cua.
Sudah dua kali ia menemukan hal menyebalkan di mal ini. Mungkin sebaiknya, di lain hari tidak usah lagi pergi ke mal.
“Fly pemikir yang keras. Ia ingin menyelesaikan skripsi tepat waktu. Aku tak ada andil apapun dalam tugasnya. Sungguh!” tegas Aza, membela Fly.
Ekspresi Cua tampak berubah. Ia menyipitkan mata dan memandang Aza dari atas ke bawah. Dilihatnya sosok laki-laki yang tidak jauh berbeda dengan Gen. Walaupun wajahnya sama sekali tidak mirip.
“Baiklah, aku paham. Inikah pelampiasanmu? Mendekati seseorang yang seperti Gen? Aduh, kamu harus hati-hati sama dia. Dia itu perempuan berbahaya. Lagi patah hati, malah nyari pelampiasan sama orang yang mirip sama orang yang udah nolak dia,” ketus Cua.
Dua orang duduk di seberang Fly. Walaupun tidak kenal, tapi ia tahu bahwa dua orang itu merupakan mahasiswa dari kampus yang sama dengannya. Ditambah dua-duanya perempuan. Mereka sudah berada di belakang Cua, saat Cua mengatakan hal demikian. Fly mulai resah, takut ada kabar tak enak terjadi jika dua orang itu mendengar ucapan Cua.
“Nggak perlu mikir sejauh itu. Fly bukan orang yang kayak gitu,” Aza masih membela, kini wajahnya tampak agak geram.
Sesaat, Cua mulai menyadari bahwa dua orang yang duduk di belakangnya itu satu kampus dengannya. Maka muncullah niat buruknya itu.
“Tapi dia selama ini emang cari muka mulu loh, sama Gentala,” mulai Cua.
Dua orang perempuan itu langsung menoleh, namun langsung fokus pada makanan masing-masing.
Sedangkan hati Fly terasa membara. Ternyata Cua juga menyadari tempat di mana dua perempuan itu berkuliah.
“Ayo kita pergi,” bisik Fly.
Buku-buku langsung dimasukkan ke ransel, beserta laptop dengan buru-buru.
“Kenapa? Takut ketahuan ya kalau kamu itu sebenarnya cuma cewek yang suka cari muka sama Gen.” Cua menoleh ke belakang, “Kalian satu kampus sama aku, ‘kan. Denger, ya. Cewek ini namanya Fly lalat, dia yang udah nentuin kelompok KKN kita. Dan dia yang memilih kelompok sesuai keinginannya—,”
“Tolong, bisa diem nggak? Mohon maaf jika kamu muslim. Di antara kebaikan seorang muslim ialah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Apa yang kamu katakana itu sama sekali tidak ada manfaatnya, dan tidak mendatangkan kebaikan apapun daripadanya,” tegas Aza, dengan wajah membara.
“Ini bermanfaat bagiku. Melihat perempuan itu panik dan ketakutan adalah hal yang bermanfaat untuk kesenanganku. Lihatlah, bahkan kemampuannya ceramah juga seperti Gen. pantas saja dia menggunakan orang kayak kamu buat nutupin patah hatinya.”
___ ___ ___
Sunyi di tengah malam berlabuh. Lantai penuh dengan buku-buku milik Aza yang dipinjamkan. Fly terlentang lemas di atas kasur. Dengan sebelah tangannya yang dibiarkan terayun. Suara gerimis mulai terdengar di luar. Sejenak, membenam sunyi. Ia menatap kosong. Semangatnya yang tadi pagi hilang, terbawa paksa sebab kemunculan Cua sore tadi.
Biarlah semua berhenti dulu. Biarlah jangan ada yang mengusiknya. Sebuah kamar yang kini ditinggalinya sendiri. Ternyata tanpa Vio terasa berat juga. Selama ini, ia memang sering sekali bergantung kepada Vio. Semua masalah ini membuatnya merindukan Vio.
Buku berukuran A7 yang sudah melahap harapannya itu tergeletak di antara buku-buku Aza. Lamat-lamat ia menatap buku itu, hingga tiba-tiba ia berpikir untuk melenyapkannya. Di dapur ada sebuah korek yang sering digunakan Vio untuk membakar obat nyamuk. Fly mengingat tempat terakhir ia melihat benda itu.
“Selamat tinggal, Gen. Berbahagialah dengan perempuan pilihanmu,” ucap Fly lirih pada kesendiriannya.
Ia bangkit dari tempat tidurnya, lalu memungut buku harian itu. Lantas berjalan menuju dapur untuk mengambil korek. Ketemu!
“AAAA!” tepat di saat Fly hendak mengambil korek api itu, tiba-tiba lampu mati. Seisi ruangan gelap. Bahkan cahaya lampu yang terlihat dari jendela juga gelap.
Alhasil, Fly menyalakan korek itu untuk kembali ke tempat tidur dan mengambil HP dan menyalakan senternya. Lalu bergegas keluar dari kamarnya. Ia agak takut jika sendirian di tempat yang terlalu gelap.
Kos itu dihuni oleh tujuh orang perempuan. Hanya Fly yang sendirian di satu kamar. Sedangkan pemilik kos-nya tinggal di komplek sebelah. Tiga orang penghuni kos tampak keluar.
“Token habis,” seru salah satunya.
“Bukan, ini kayaknya korsleting. Soalnya ibu udah bayar tadi,” sahut yang lain.
“Kamu nggak apa-apa sendiri, Fly?”
“Nggak apa-apa,” jawab Fly.
“Kalau kamu takut, tidur sama kami aja.”
“Terima kasih. Tapi nggak apa-apa, kok. Aku mau keluar dulu, sebentar.”
“Mau ke mana? Gerimis, loh.”
“Ada payung, kok.”
Sebenarnya, Fly merasa takut tidur sendirian dalam kegelapan. Kos mereka agak jauh dari tetangga. Sehingga jika mati lampu, maka lampu dari rumah tetangga haanya tampak sedikit. Ia menolak tawaran temannya itu karena dua di antaranya adalah teman sekelas Cua. Ia masih terlalu trauma dengan sesuatu yang berkaitan dengan Cua.
Fly berencana untuk pergi ke rumah Yui. Motornya sedang diservis. Sehingga ia akan menggunakan transportasi umum.
Masih ada belasan meter untuk sampai di tempat terang. Fly menelan ludah. Menahan rasa takut.
Ia menarik napas, lalu berlari kencang bersama payung kuningnya.
“Allahu akbar!” ucapnya lantang.
Di sela degup jantungnya yang meronta, akhirnya Fly berhasil naik ke busway. Bersama napasnya yang ngos-ngosan. Ia harus pegal sekali lagi. Sebab tempat duduk sudah penuh.
Sepanjang jalan, ia bersin terus-menerus karena sempat terkena air gerimis. Banyak penumpang yang meliriknya. Membuat Fly malu dan berpura-pura menghadap jendela. Payungnya masih di genggaman.
Sebelum sampai halte tujuan, Fly baru menyadari bahwa apa yang dilakukan sangat konyol. Untuk apa ia tiba-tiba berpikir untuk pergi ke rumah Yui di malam yang sudah matang. Sedangkan ia bisa meminta lilin atau jika tidak ada, ia bisa membeli lilin di warung yang tidak terlalu jauh dari kos.
Saat hujan deras mengguyur, Fly telah turun dari bus. Lantas melanjutkan perjalanan konyolnya. Ia benar-benar tidak dapat berpikir jernih tadi.
Sampai saat beberapa langkah di jalanan cadas, ia mengalami hal menyebalkan. Bahkan sangat menyebalkan.
Sebuah mobil box melintasi kubangan dengan kecepatan tinggi. Alhasil pakaiannya basah kuyup, beserta kotor oleh lumpurnya.
“KURANG AJAR!” jerit Fly, sambil menangis.
Toko-toko di tempat itu sudah tutup semua. Orang-orang juga tidak sebanyak di jalanan utama. Namun mereka tampak menyaksikan apa yang dialami Fly.
“Siapa yang akan menghiburku sekarang?” bisik Fly pada dirinya sendiri.
Payung kuning itu ditutupnya, membiarkan basah berkuasa. Sekalipun hidung terasa panas.