Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Lyra duduk di pinggiran tebing batu, memandangi Aedhira dari ketinggian dengan ekspresi datar yang nyaris menyerupai patung. Di bawah sana, tanah merah membentang dengan pohon-pohon aneh berdaun keperakan. Awan menggantung rendah seolah ikut merunduk bersama beban pikirannya.
“Satu minggu lalu gue masih di rumah, ngelawan tuduhan bodoh,” gumamnya sambil memeluk lutut. “Sekarang? Gue malah nginep di dunia fantasi... tanpa Wi-Fi.”
Kaelen, yang berdiri tak jauh di belakang, menghela napas panjang. “Kalau kau tidak serius, dunia ini mungkin akan meledak lebih cepat dari yang kita kira.”
“Tenang, Pak Dosen. Gue serius. Cuma... agak susah fokus kalau kita tidur di goa dingin dan sarapan pake jamur yang bisa nyanyi.”
Arven, seperti biasa, hanya menyilangkan tangan dan menyandarkan diri ke batu besar. Tatapannya tetap tajam, tapi ada sedikit kilatan geli di matanya. “Kau butuh pelatih bertarung, bukan komedian.”
“Gue bisa dua-duanya,” Lyra menyeringai, meski tubuhnya masih terasa nyeri sisa latihan kemarin.
Kaelen memutar matanya. “Sebenarnya, yang kita butuhkan sekarang bukan cuma latihan. Kita harus ke Kota Tersembunyi. Ramalan itu bukan iseng—‘Tiga penjaga bayangan akan bangkit, dan darah pertama harus memilih sisi.’ Itu maksudnya kamu, Lyra.”
Lyra menelan ludah. Lagi-lagi, dia jadi tokoh utama yang nggak pengen jadi tokoh utama. Tipikal.
“Kota Tersembunyi ada di sebelah mana?” tanya Lyra, mencoba terdengar santai.
Kaelen mengeluarkan gulungan peta yang disegel dengan lilin biru. “Di balik Gurun Nivhar. Tapi untuk sampai ke sana, kita harus lewat Lembah Bayangan.”
Lyra mengerutkan alis. “Kedengarannya... ramah.”
“Yah, kalau kau anggap kabut hitam yang bisa membisikkan rasa takut terdalammu itu ramah, mungkin saja,” gumam Arven dingin.
“Oh great,” desah Lyra. “Udah gitu, pasti ada monster kan?”
Kaelen hanya tersenyum simpul. “Tergantung definisi ‘monster’-mu.”
“Kalau dia punya taring, lima mata, dan mulut di perut—itu monster, bro.”
Arven melangkah ke depan, menatap mereka berdua. “Kita berangkat besok pagi. Aku akan cari jalur teraman.”
“Jalur aman di Aedhira? Lucu juga,” gumam Lyra.
Namun dalam hati, ia tahu—ini bukan cuma soal perjalanan atau ramalan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bangkit. Dan itu... agak menakutkan.
Pagi datang terlalu cepat. Matahari belum muncul sempurna, tapi langit Aedhira sudah menyala merah muda seperti dilukis tangan raksasa. Suasana terlalu tenang untuk perjalanan berbahaya. Lyra mengenakan mantel kulit ringan yang Kaelen siapkan, dan mengeratkan ikatan sabuknya.
“Siap?” tanya Kaelen, sembari memeriksa kembali gulungan peta.
“Secara fisik? Lumayan. Secara mental? Masih loading,” jawab Lyra sambil menarik napas dalam-dalam.
Arven hanya mengangguk, lalu berjalan paling depan. Langkahnya mantap, tidak pernah ragu. Lyra memperhatikan pria itu dengan pandangan campur aduk. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi dinginnya, sesuatu yang belum dia tahu... dan mungkin belum siap untuk tahu.
“Gue penasaran,” gumam Lyra pelan saat mulai mengikuti langkah mereka. “Apa semua orang di Aedhira dilahirkan dengan bakat drama?”
Kaelen tertawa pelan. “Kau belum bertemu separuhnya, percaya deh.”
Perjalanan menuju Lembah Bayangan membutuhkan waktu dua hari berjalan kaki. Di hari pertama, mereka melewati hutan berkabut, tempat pepohonan bersenandung pelan saat ditiup angin. Bukan metafora—mereka literally bersenandung.
“Kalau pohon ini mulai beatbox, gue mundur,” keluh Lyra sambil melirik daun-daun yang bergetar seperti senar harpa.
“Ada alasan kenapa orang-orang menjauhi tempat ini,” kata Arven sambil tetap melangkah. “Terlalu banyak sihir lama yang belum tidur sepenuhnya.”
Dan dia benar.
Malam pertama, mereka tidur di dekat sungai kecil dengan air yang bercahaya samar. Kaelen memasang pelindung sihir di sekeliling tenda mereka, sementara Arven berjaga. Lyra mencoba tidur, tapi pikirannya menolak tenang.
Dia kembali memikirkan kata-kata ramalan. “Darah pertama harus memilih sisi.” Itu jelas tentang dia. Tapi sisi apa yang dimaksud? Kenapa semua terasa seperti ujian yang terlalu besar buatnya?
Dan di sanalah mimpi buruk itu datang lagi.
Ia berdiri sendirian di tengah kegelapan. Tak ada suara, tak ada angin. Hanya tatapan ratusan mata merah dari kegelapan, menatapnya. Tiba-tiba, satu suara berbisik pelan dari balik bayangan.
“Putri dari darah terkutuk... kau tidak bisa lari dari takdirmu.”
Lyra terbangun dengan nafas tersengal. Tubuhnya basah keringat dingin. Di luar, Kaelen duduk tenang, menatap bintang.
“Kaelen,” bisik Lyra sambil duduk di dekatnya, “apa maksudnya... darah terkutuk?”
Kaelen menoleh pelan. Ada beban di wajahnya, sesuatu yang ia tahan terlalu lama.
“Ayahmu... bukan orang biasa. Dia bagian dari masa lalu Aedhira yang bahkan para penulis sejarah takut menuliskannya.”
Lyra merasa seperti ditinju pelan di perut. “Jadi semua ini—”
“Bukan salahmu. Tapi masa lalunya... akan mengejarmu. Cepat atau lambat.”
Dan malam itu, Lyra tidur tanpa mimpi. Tapi juga tanpa damai.
Keesokan harinya, suasana berubah drastis.
Begitu mereka meninggalkan hutan bersenandung, tanah mulai berubah warna—dari hijau lumut menjadi cokelat abu-abu, dan udara terasa lebih berat. Langit mendung seperti enggan tersenyum. Bahkan burung pun memilih untuk diam.
“Selamat datang di zona tidak ramah,” celetuk Lyra sambil menyesuaikan tudung mantelnya.
“Ini belum apa-apa,” jawab Arven dengan nada super tidak menghibur.
Mereka mulai menuruni lembah curam yang dipenuhi bebatuan licin. Setiap langkah terasa seperti satu episode sinetron: dramatis dan berbahaya. Di bawah, kabut tebal menggantung seperti tirai, menutupi dasar lembah yang katanya penuh ilusi.
“Kalau aku lihat unicorn di bawah sana, aku bakar tempat ini,” gerutu Lyra.
Kaelen nyengir. “Unicorn di Aedhira giginya runcing dan doyan daging manusia, jadi jangan berharap ketemu versi peliharaan.”
Mereka tiba di bibir lembah menjelang sore. Arven berhenti dan mengangkat tangannya, memberi sinyal diam. Semua membeku.
Dari balik kabut, suara langkah berat terdengar. Bukan manusia. Bukan hewan. Tapi... sesuatu di antaranya.
“Stay calm,” bisik Arven. “Kita nggak bisa pakai sihir di sini. Bisa memicu ilusi yang nggak bisa kita bedakan dari kenyataan.”
Mereka semua merunduk, bersembunyi di balik batu besar. Dari kabut, muncul sosok mengerikan—tinggi, kurus, matanya kosong, dengan tangan panjang menjuntai hampir menyentuh tanah. Makhluk itu berjalan seperti bayangan, tak mengeluarkan suara lain kecuali napas berat yang terputus-putus.
“Dia bisa nyium ketakutan,” bisik Kaelen.
“Great,” bisik Lyra. “Berarti aku snack favorit dia.”
Tapi mereka berhasil. Setelah makhluk itu menghilang dalam kabut, Arven memberi tanda dan mereka melanjutkan perjalanan, lebih pelan, lebih hati-hati. Langkah demi langkah, mereka menapaki Lembah Bayangan—tanah yang katanya menyimpan sisa-sisa jiwa dari para penjaga lama Aedhira yang dikhianati.
Dan semakin mereka masuk ke dalam, Lyra mulai mendengar suara-suara.
Awalnya pelan. Seperti bisikan angin. Tapi kemudian...
“Lyra...”
Dia berhenti. Jantungnya mencelos.
“Lyra Caellum... kau seharusnya tidak datang.”
Suara itu bukan datang dari luar. Tapi dari dalam pikirannya.
“Kaelen,” bisiknya panik, “aku dengar suara. Dalam... kepalaku.”
Kaelen menoleh cepat. “Jangan jawab suara itu. Itu bukan kamu.”
“Apa maksudmu bukan aku?! Itu jelas manggil nama gue!”
“Itu bagian dari ilusi. Kalau kamu percaya, kamu akan tersesat.”
Lyra menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir ketakutan. Tapi suara itu terus datang.
“Kau anak dari pengkhianat.”
“Ibumu mati karena kau.”
“Kau akan mengkhianati mereka juga.”
Air mata menggenang tanpa permisi. Dia bahkan tidak tahu apakah itu kenyataan atau hanya sihir. Tapi luka dari kata-kata itu terasa nyata.
Arven tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Lihat aku, Lyra.”
Dia menatap matanya. Mata itu dingin, tapi ada sesuatu yang menahan Lyra agar tidak runtuh.
“Fokus sama satu hal nyata: kami ada di sini bersamamu. Pegang itu, dan jalan terus.”
Dan Lyra memilih untuk percaya.
Mereka terus berjalan sampai langit mulai gelap. Di kejauhan, bayangan sebuah gerbang kuno muncul di balik kabut—tertutup tumbuhan liar dan ukiran aneh. Gerbang itu seolah bernafas. Menunggu.
“Itu dia,” bisik Kaelen. “Pintu menuju ruang kenangan.”
Lyra menggenggam medali kecil pemberian ibunya. Dia tidak tahu apa yang menunggunya di balik gerbang itu. Tapi satu hal yang pasti: dia tidak akan lari.
Karena sudah cukup lari selama ini.
Gerbang itu berdiri kokoh, tinggi menjulang hingga hampir menyentuh langit kelabu. Batu-batunya seolah terbuat dari sesuatu yang lebih tua dari dunia ini, dihiasi ukiran kuno yang berdenyut pelan seolah hidup. Semakin dekat mereka, udara di sekitar menjadi lebih dingin, seperti disedot oleh kekosongan dari dalam gerbang.
"Ini bukan gerbang biasa," gumam Kaelen. "Ini... nyimpen kenangan."
Lyra menelan ludah. "Kenangan siapa?"
Arven menjawab, suaranya berat. "Setiap orang yang masuk... akan melihat kenangan yang paling ingin mereka lupakan."
Lyra spontan mundur setengah langkah. “Oke... jadi tempat ini literally kayak lemari trauma ya?”
Kaelen tertawa kecil, tapi tanpa tawa di matanya. “Kurang lebih. Tapi kita harus lewat sini kalau mau lanjut ke ruang jiwa.”
Arven mendekat dan menyentuhkan telapak tangannya ke ukiran di tengah gerbang. Batu itu menyala lembut, dan pintu terbuka perlahan—bukan ke ruangan, tapi ke lorong panjang yang seperti tak berujung, berisi kabut tebal dan suara-suara samar.
Mereka masuk satu per satu.
Begitu Lyra melangkah masuk, dia langsung merasa tubuhnya ringan, tapi pikirannya jadi berat. Langkahnya goyah.
Kabut menggulung, dan tiba-tiba—BRUK!
Dia terjatuh.
Tapi bukan di lorong.
Di sekelilingnya, dinding rumah tua berwarna hangus. Dan di tengah ruangan, terlihat dirinya sendiri—usia tujuh tahun, memeluk ibunya yang duduk bersandar dengan darah menetes dari pelipis.
“Ibu!” Lyra muda menangis. “Jangan tinggalin Lyra, please!”
Lyra yang sekarang berdiri terpaku. Dia tidak bisa menghindari pandangan itu. Tidak bisa memalingkan mata dari luka yang belum pernah sembuh.
“Ibu... kenapa aku harus lihat ini lagi?” gumamnya, suaranya bergetar.
Tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya tersentak.
“Karena ini bagian darimu, Lyra.”
Arven.
Tapi bukan Arven yang berdiri di sana. Sosoknya buram, matanya merah, senyumnya sinis.
“Kamu pikir kamu bisa lari dari kenyataan? Bahkan ibumu tahu kamu akan menyebabkan kehancuran.”
“Diam!” teriak Lyra, tapi suaranya nyangkut di tenggorokan.
Ilusi itu tertawa. “Kamu bawa kematian ke mana pun kamu pergi. Ke Kaelen. Ke Arven. Bahkan ke Aedhira. Dan mereka nggak akan pernah benar-benar percaya padamu.”
Tiba-tiba, tangan itu menjulur dari bayangan—menyeret Lyra ke dalam lantai.
“Lyraaa!” suara Kaelen terdengar jauh, seperti dari ujung dunia lain.
Lyra menendang, meronta, mencoba berteriak. Tapi kegelapan menelannya.
Sampai...
"LYRA!"
Satu cahaya meledak di kepalanya. Satu nama. Satu suara. Real.
Kaelen.
Tiba-tiba dia terbangun, napas terengah-engah, dan melihat Kaelen memegang bahunya, wajahnya panik. Mereka masih di lorong.
“Lo pingsan. Tiba-tiba jatuh. Aku—aku pikir kamu...” Kaelen tak menyelesaikan kalimatnya.
Lyra memeluknya erat.
“Aku lihat semuanya. Rumah. Ibu. Aku kecil. Aku... aku takut banget.”
Kaelen menarik napas. “Kita semua punya bayangan, Lyra. Tapi kamu gak sendiri lagi.”
Dia menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, Lyra benar-benar percaya itu.
Sementara itu, Arven berdiri di ujung lorong, diam. Tapi matanya tajam. Seolah dia juga melihat sesuatu—sesuatu yang jauh lebih gelap.
Dan tidak seorang pun tahu... bahwa kenangan yang Arven lihat barusan bukan tentang masa lalu.
Tapi masa depan.
Sesuatu yang akan datang.
Dan mungkin... tidak akan bisa mereka hentikan.
Langkah mereka kini lebih pelan.
Setelah lorong itu—yang rasanya seperti jalan masuk ke dalam kepala sendiri—akhirnya mereka sampai di ruang yang lebih luas. Ruangan itu seperti kubah, dengan dinding kaca buram yang memantulkan cahaya aneh dari kristal di langit-langit. Tidak ada suara selain gema langkah mereka.
"Tempat ini kosong banget," Kaelen berbisik.
Lyra mengangguk. "Kayak... ruang tunggu takdir."
Arven tidak bicara. Matanya memandangi lantai, yang terbuat dari potongan kaca berbentuk bintang. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu—di atasnya, satu benda kecil bersinar lembut.
Sebuah veil—selendang tipis, nyaris transparan, dengan sulaman emas yang membentuk simbol bulan sabit dan matahari.
Lyra merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia tahu benda itu.
Itu The Veil of Aedhira.
"Beneran ada," gumamnya. "Aku pikir ini cuma legenda."
Arven melangkah pelan, namun dihentikan suara keras—seperti kaca retak. Seluruh ruangan mendadak bergetar.
Dari bayangan, muncul sesosok makhluk tinggi, dibalut jubah hitam, wajahnya diselimuti kabut pekat.
Kaelen spontan menghunus pedang. "Tebak, kita gak sendiri."
"Dia... Penjaga Kenangan," kata Arven pelan. "Setiap orang yang datang ke sini harus diuji."
Makhluk itu tidak bicara, tapi seisi ruangan bergema suara:
“Siapa yang layak membawa Tabir?”
Mereka saling pandang. Tapi Lyra, walau tangannya gemetar, melangkah maju.
"Aku."
Makhluk itu menengadah. “Apa kamu siap kehilangan hal terpenting dalam hidupmu untuk mendapatkan kebenaran?”
Lyra ragu. "Apa maksudnya?"
“Kebenaran... selalu menuntut bayaran.”
Hening.
Lalu Lyra bertanya, suara serak, “Bayarannya... Kaelen?”
Senyap yang menjawab terasa terlalu lama.
Sampai akhirnya makhluk itu menjawab: “Bisa jadi.”
Kaelen melangkah ke samping Lyra. “Kalau dia bayar, gue bayar juga.”
Arven menggeleng pelan. “Kalian nggak ngerti. Kalau kalian ambil Veil-nya, semua rahasia yang terkunci di Aedhira bakal terbuka. Rahasia yang mungkin... lebih baik tetap terkubur.”
“Tapi juga bisa jadi satu-satunya cara buat nyelametin dunia ini,” jawab Lyra.
Perlahan, dia mengulurkan tangannya ke arah Veil.
Tiba-tiba...
BUKK!!
Gelombang energi meledak dari altar. Kaelen terlempar ke belakang. Arven terdorong ke dinding. Lyra jatuh berlutut, matanya tertutup cahaya keemasan.
Dia bisa mendengar semuanya. Suara-suara dari masa lalu. Tangis ibunya. Suara tawa Rinna. Suara Auron—ayahnya—memanggil namanya. Dan kemudian...
Suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
“Kamu adalah kunci. Dan juga kehancuran.”
Seketika semua cahaya padam.
Ruangan gelap.
Hening.
Veil itu... sekarang ada di tangan Lyra.
Dia berdiri perlahan, mata menyala dengan cahaya samar emas, rambutnya berkibar oleh angin yang entah dari mana datangnya.
Kaelen menatapnya dengan khawatir. “Lo masih Lyra yang gue kenal?”
Lyra tersenyum tipis. “Masih. Tapi kayaknya... juga bukan sepenuhnya.”
Arven mendekat. “Kita harus pergi sebelum tempat ini runtuh.”
Dan seperti jawaban dari ucapannya, retakan mulai menjalar di langit-langit.
Ketiganya berlari, Veil di genggaman Lyra memancarkan sinar terang, membuka jalan di depan mereka.
Tapi tak satu pun dari mereka tahu—
Sejak Veil itu tersentuh... Aedhira sudah mulai berubah.
Dan sesuatu...
...sudah bangkit.
tapi kau di harapkan di dunia edheira