NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Mereka tiba di hotel sekitar pukul delapan malam. Setelah proses check-in yang singkat dan percakapan ringan yang lebih banyak diisi diam, Hanif dan Sekar pun menuju kamar masing-masing. Dua kamar yang berdampingan, tapi terasa sejauh dua dunia.

Sekar berdiri di depan pintu kamarnya, menatap kartu akses di tangannya. Jari-jarinya sedikit gemetar. Napasnya mulai tidak beraturan saat ia menyentuhkan kartu itu dan mendengar bunyi klik yang menandakan pintu telah terbuka.

Langkah pertamanya terasa berat. Saat kakinya melangkah ke dalam, aroma kamar hotel yang lembut dan pendingin ruangan yang dingin justru membuatnya terpaku. Cahaya kuning temaram dari lampu sudut menyorot ranjang, tirai, dan meja rias—semuanya terlalu familiar. Terlalu mirip dengan satu kamar di masa lalu yang ingin ia kubur selamanya.

Dan saat itu juga, ingatan itu kembali menghantam tanpa ampun.

Ia masih remaja. Terperangkap di kamar sejenis. Aroma karpet yang lembab, suara TV dari kamar sebelah, dan tangan kasar seorang lelaki yang seharusnya menjadi pelindung, tapi justru menjadi ancaman. Ayah tirinya. Malam itu, tangan laki-laki itu menjalar ke tubuhnya. Tapi Tuhan masih melindunginya—teriakannya didengar oleh tamu kamar sebelah. Ada yang menggedor pintu. Ada yang membuat monster itu terhenti.

Kamar ini… tirainya sama. Letak ranjangnya sama. Bahkan warna lampunya pun mirip. Semua terasa seperti jebakan. Napas Sekar tercekat. Dadanya sesak, seolah udara mendadak habis. Ia ingin mundur, tapi tubuhnya tak sanggup bergerak.

“Tidak… tidak di sini….” gumamnya panik. Ia melangkah mundur, tapi tubuhnya membeku. Begitu dua kakinya benar-benar masuk, dunia runtuh dalam satu tarikan napas.

“Hanif!” teriaknya. Suaranya pecah, bukan hanya oleh ketakutan, tapi juga luka yang tak pernah sembuh.

Pintu kamar Hanif terbuka dengan cepat. Lelaki itu berlari ke arahnya, tanpa banyak tanya. Ia menemukan Sekar berdiri kaku di ambang pintu, wajahnya pucat, matanya kosong dan penuh air mata yang belum jatuh.

“Sekar?” Hanif memanggil dengan suara rendah, khawatir, tapi tetap tenang. Ia tidak melangkah terlalu dekat, memberinya ruang.

Sekar hanya berdiri diam, seperti patung. Tubuhnya sedikit gemetar. Matanya menatap lurus ke dalam kamar, seolah-olah tempat itu sedang berubah menjadi mimpi buruk yang nyata. Napasnya pendek-pendek, tangannya mencengkeram gagang koper sekuat tenaga, seolah itu satu-satunya pegangan hidupnya.

Hanif tidak memaksa. Perlahan, ia melangkah mendekat, mengulurkan satu tangan, tapi tidak langsung menyentuh. “Ini aku, Sekar. Hanya aku.”

Satu kalimat itu, sesederhana apapun, terdengar seperti jangkar yang menahan Sekar agar tidak tenggelam lebih dalam. Namun, tubuhnya tetap menegang saat Hanif menyentuh lengannya dengan sangat pelan, seolah menyentuh kertas tipis yang bisa robek kapan saja.

Sekar tersentak pelan, tapi tidak menarik diri. Matanya berkedip cepat, menahan air mata yang mulai menggenang. Tangannya perlahan terlepas dari koper, yang kemudian jatuh dengan bunyi gedebuk pelan di lantai berkarpet.

Lidahnya kelu. Tapi tubuhnya mulai bereaksi sebelum pikirannya bisa memproses apa pun. Dengan gerakan kaku, ia memalingkan wajah dari kamar itu, menatap Hanif seolah mencari pegangan. Dan dalam sekejap, ia melangkah maju dan memeluk Hanif.

Pelukan itu bukan tentang cinta. Bukan tentang romantisme. Tapi tentang kepercayaan yang perlahan tumbuh dari tanah luka. Tentang keberanian untuk percaya bahwa tidak semua laki-laki menyakiti. Bahwa ada yang bisa menjadi pelindung, bukan pemangsa.

Hanif tidak bergerak. Ia membiarkan tubuh Sekar bersandar di dadanya. Ia tahu, ini bukan tentang dirinya. Ini tentang luka yang tidak terlihat. Luka yang membekas begitu dalam hingga bisa terbuka hanya karena bentuk tirai dan cahaya lampu.

Lengan Sekar melingkar lemah di punggung Hanif. Isaknya mulai terdengar, kecil tapi memilukan. Hanif hanya berdiri diam, menjadi sandaran, menjadi dinding kokoh yang tidak menghakimi, tidak mendesak, tidak bertanya.

“Aku takut, Hanif…” bisik Sekar di dada pria itu, suaranya seperti helaan napas patah.

“Aku tahu,” jawab Hanif pelan. “Aku di sini.”

Sekar memejamkan mata. Tubuhnya sedikit menggigil. Ia tidak tahu berapa lama mereka berdiri seperti itu—di lorong sempit hotel, di depan dua kamar yang tampaknya biasa bagi orang lain, tapi menjadi tempat ujian baginya.

Hanif akhirnya bicara lagi. “Mau kita tukar kamar? Atau kamu ikut aku saja malam ini, kalau kamu tidak mau sendiri.”

Sekar tidak langsung menjawab. Tapi ia menggeleng pelan. “Bukan kamarnya, Hanif. Ini… aku. Aku yang rusak.”

Hanif merespon cepat, namun lembut. “Jangan bilang begitu. Kamu tidak rusak, Sekar. Kamu selamat. Kamu kuat. Dan kamu di sini, berdiri, masih bernapas. Itu bukan kerusakan. Itu keberanian.”

Air mata akhirnya jatuh dari mata Sekar. Satu tetes, lalu dua, kemudian mengalir deras. Isaknya makin jelas. Pelukannya mengencang, seolah tidak ingin kehilangan kehangatan yang ia rasakan dari tubuh Hanif.

“Kamu tahu…” suara Sekar gemetar, “selama ini aku pikir aku sudah selesai dengan masa lalu. Tapi ternyata tidak. Satu kamar… satu bau… semua kembali seperti baru terjadi kemarin.”

Hanif mengangguk, walau Sekar tak bisa melihatnya. “Itu wajar. Luka seperti ini tidak punya tenggat waktu. Tapi kamu tidak sendiri lagi sekarang. Kamu punya tempat untuk berlindung.”

Pelan-pelan, Hanif memutar tubuh Sekar, menjauhkannya dari pintu kamarnya. “Ayo. Untuk malam ini, kita cari tempat yang aman. Aman untuk kamu. Kita bisa duduk, bicara, atau diam saja. Tapi jangan sendirian di tempat yang membuatmu takut.”

Sekar tidak melawan. Kakinya mengikuti langkah Hanif. Mereka masuk ke kamar Hanif, dan suara pintu menutup terasa seperti dinding yang melindungi.

Hanif mengajaknya duduk di sofa kecil dekat jendela. Sekar masih menangis, tapi sudah lebih pelan. Tangannya kini memegang segelas air yang disodorkan Hanif.

“Kamu enggak harus cerita kalau belum siap,” kata Hanif, duduk di seberangnya. “Tapi kamu juga enggak harus menyimpan semua ini sendirian.”

Sekar menatap air di gelasnya. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi kini ia merasa napasnya sudah mulai stabil. “Terima kasih… sudah datang saat aku panggil.”

Hanif tersenyum kecil. “Aku akan datang kapan pun kamu panggil.”

Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan ketenangan menyusup perlahan. Dan meski luka itu belum sembuh, malam itu, di ruang yang asing, untuk pertama kalinya Sekar merasa ada tempat yang bisa disebut rumah—bukan karena dindingnya, tapi karena seseorang yang menunggunya di sana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!