Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian
Langit sore mulai memudar di balik jendela kaca tinggi ballroom Hotel Valmont, sementara cahaya kristal lampu gantung menyinari ruangan penuh canda tawa dan suara gelas saling bersentuhan. Di antara para undangan berpakaian rapi dan berkelas, Elizabeth dan Halbert berjalan memasuki ruangan dengan langkah percaya diri.
Malam itu bukan perayaan mewah atau acara formal besar. Itu hanyalah pertemuan rutin bulanan para pengusaha lintas bidang—semacam tradisi agar jejaring tetap terjalin hangat dan hubungan bisnis tak kehilangan personalitasnya.
Elizabeth tampak anggun dalam gaun satin biru tua yang menonjolkan posturnya yang tegak dan anggun. Halbert di sisinya mengenakan setelan abu-abu klasik yang disesuaikan dengan dasi perak. Pasangan suami istri itu dikenal sebagai duo pengusaha kuat yang tak hanya disegani, tetapi juga dikagumi karena keharmonisan dan kerja sama mereka dalam bisnis maupun kehidupan pribadi.
“Elizabeth, Halbert!” sapa seorang pria berkacamata emas dengan hangat. Itu adalah Raymond, seorang pengusaha properti senior. “Seperti biasa, kalian selalu datang paling tepat waktu.”
Elizabeth tersenyum sambil menyalami. “Punctuality is still classy, Ray. Lagipula, Halbert tak bisa duduk tenang terlalu lama jika belum bersosialisasi.”
Mereka tertawa kecil. Beberapa kolega lain bergabung dalam percakapan mereka. Obrolan pun mengalir, membahas kondisi pasar, tren investasi baru, hingga proyek sosial yang sempat mereka kolaborasikan.
Sementara itu, tak jauh dari mereka, sekelompok ibu-ibu tampak berkumpul di sisi kanan ballroom, dekat meja hidangan pencuci mulut. Elizabeth mengenali sebagian wajah di antara mereka—nyonya-nyonya yang biasanya lebih sibuk membicarakan tas keluaran baru dibandingkan tren saham.
Ketika sedang mengambil minuman di meja terdekat, telinga Elizabeth tak sengaja menangkap sepenggal percakapan yang membuat langkahnya terhenti.
“...Maizah? Oh, itu menantu si Elizabeth, ya?” ujar salah satu dari mereka, wanita berambut pendek dengan kalung mutiara besar.
“Yang cuma ibu rumah tangga itu?” sahut yang lain dengan nada sinis.
“Betul. Aduh, kalau dibandingkan dengan putriku, jauh banget. Anindya kan sudah masuk Vogue Asia bulan lalu, belum lagi kontrak di Tokyo. Sementara Maizah? Di rumah aja, ngurus anak, masak—seperti pembantu saja.”
Tawa kecil terdengar, meski tidak terlalu keras, cukup untuk membuat telinga Elizabeth memanas.
Ia berdiri tegak, mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Tangannya tetap anggun menggenggam gelas, namun ada sorot tajam yang tak bisa disembunyikan dari matanya. Tak ada amarah yang meledak, namun ada api halus yang mulai menyala di dalam dirinya.
Elizabeth perlahan kembali ke sisi Halbert, berdiri di tengah percakapan para pria. Tapi pikirannya tak lepas dari komentar barusan.
Menantunya, Maizah. Seorang perempuan sederhana yang ia terima dengan tangan terbuka sejak hari pertama Arvid memperkenalkannya. Maizah bukan dari kalangan atas, bukan juga publik figur. Tapi perempuan itu memiliki kelembutan, kesabaran, dan ketegaran yang luar biasa. Ia mencintai Arvid sepenuhnya, dan lebih dari itu—telah memberinya dua cucu laki-laki: Matthew dan Aidan.
Itu bukan hal sepele bagi keluarga mereka. Sudah puluhan tahun keluarga Halbert dan Elizabeth tidak memiliki penerus laki-laki. Bahkan beberapa saudara jauh sudah pasrah tak lagi mengharapkan anak lelaki. Tapi Maizah datang membawa keberuntungan—dua cucu lelaki dalam jarak waktu yang nyaris sempurna. Itu bukan hanya berkah, melainkan keajaiban yang tak ternilai bagi Elizabeth.
Tak ingin hanya diam, Elizabeth mendekati sekelompok ibu-ibu yang masih tertawa kecil.
“Selamat malam,” sapanya hangat, dengan senyum yang biasa ia gunakan saat akan menyampaikan sesuatu dengan penuh makna.
Para ibu itu langsung berdiri tegak. “Oh, Elizabeth… kami baru saja bicara tentang betapa... beruntungnya Anda.”
“Benarkah?” Elizabeth tersenyum lebih lebar. “Memang saya sangat beruntung memiliki Maizah sebagai menantu. Dia tidak hanya cerdas dan penyayang, tapi juga mampu menjaga keluarga kami dengan utuh. Anak saya bahagia bersamanya. Dan, tentu saja…” Elizabeth berhenti sejenak, memastikan semua mata menatapnya, “...saya memiliki dua cucu laki-laki yang luar biasa darinya. Padahal, Anda tahu sendiri, kami sudah lama tidak memiliki keturunan lelaki dalam keluarga besar Halbert.”
Keheningan mendadak menyelimuti kelompok itu. Beberapa tersenyum kikuk. Yang lain tampak tak nyaman, terutama si ibu yang membandingkan Maizah dengan putrinya, Anindya.
Elizabeth melanjutkan, masih dengan suara tenang namun tegas. “Saya percaya ukuran kesuksesan perempuan bukan hanya dari gelar atau tampil di majalah. Tapi dari bagaimana ia mencintai dan menjaga keluarganya, dan bagaimana ia membawa kebahagiaan ke rumahnya. Maizah melakukan itu dengan sangat luar biasa.”
Setelah memberi senyum sopan terakhir, Elizabeth meninggalkan kelompok itu, kembali ke sisi Halbert. Di matanya, ada kelegaan. Ia tidak membentak, tidak mempermalukan, tapi ia menyampaikan apa yang seharusnya didengar.
Halbert menoleh padanya dengan senyum kecil, ia merangkul pinggang Elizabeth untuk lebih dekat dengannya. "Sudah puas membalasnya? Atau mau aku tambahkan?"
Elizabeth terkekeh pelan. “Aku hanya mengingatkan mereka bahwa tidak semua kemilau berasal dari lampu sorot dan panggung.”
Halbert mengangkat gelasnya. “Untuk Maizah.”
Elizabeth menepuk lengan suaminya lembut. “Untuk menantu yang membuatku percaya bahwa perempuan hebat tidak selalu harus terlihat dari luar. Kadang, kekuatannya justru tersembunyi di balik apron dan pelukan anak-anaknya.”
Hatsyii
Maizah mengusap hidupnganya setelah bersin. Ia mengusap hidungnya pelan dengan tisu, masih setengah mengantuk karena baru saja menidurkan kedua putranya, Matthew dan Aidan, untuk tidur siang ia jadi ngantuk juga pengen ikut tidur.
“Ada apa, honey? Apakah kamu sakit?” tanyanya lembut sambil melepaskan kacamata kerjanya.
Maizah menggeleng pelan. “Enggak, tiba-tiba aja hidungku gatal banget,” jawabnya sambil turun dari kasur. Ia melangkah perlahan, lalu duduk di sebelah Arvid. Aroma tubuh suaminya yang khas—maskulin dan lembut—seketika menenangkan pikirannya. Ia bersandar, menyandarkan kepala ke bahu lebar pria itu.
“Mungkin... ada yang lagi ngomongin aku ya, By?” gumamnya pelan dengan senyum setengah bercanda.
Arvid menoleh sedikit, tersenyum kecil. “Sepertinya itu aku,” jawabnya sambil melingkarkan lengan ke pundak istrinya.
“Kamu?” Maizah menatapnya bingung.
“Iya, karena aku selalu menyebut namamu di dalam hatiku,” ucap Arvid, wajahnya tetap tenang seolah tak sadar barusan ia menjatuhkan gombalan kelas berat.
Plak!
Sebuah tamparan ringan mendarat di pahanya.
“Aw, honey...” Arvid pura-pura meringis sambil menahan tawa. Padahal tidak terasa sama sekali. Kalau Aidan dan Matthew sampai bangun dan melihat itu, bisa-bisa Daddy mereka jadi bahan ledekan seharian penuh.
Maizah memelototinya sambil tertawa pelan. “Maaf-maaf, By. Tapi kamu sih, gombal banget. Ngeri!”
Ia mengelus paha suaminya pelan, sekadar membalas aksi jahilnya barusan. Arvid hanya menyengir, wajahnya sumringah.
“Eh, tapi beneran deh,” ujar Arvid setelah tawa mereka mereda. “Aku tuh suka ngomong sendiri di kepala kalau lihat kamu lagi sibuk ngurus anak-anak. Kadang mikir, kok bisa ya aku seberuntung ini. Nikah sama kamu.”
Maizah tidak membalas, ia hanya menenggelamkan wajahnya di dada bidang Arvid seraya memejamkan matanya. Ia, baper dengan ucapan suaminya itu tapi rasa kantuk nya sekarang lebih besar.
Tbc.
semangatttt