Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, royal, arogan, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om?
"Excuse me Sir. We have arrivad," ujar seorang pramugari pada seorang pemuda yang masih duduk tenang di dalam kabin pesawat. Padahal semua penumpang lain sudah turun semua.
Panahan mata pemuda itu yang tajam mengarah tepat ke arah pramugari, sebelum berdiri dari duduk. Untung saja ia menggunakan kaca mata hitam, jika tidak mungkin sudah ketar-ketir pramugari itu melihat tatapan matanya.
Pemuda Itu berjalan ke arah pintu pesawat tanpa melepas kaca mata hitam yang bertengger di batang hidungnya.
Setelah mengambil koper miliknya, ia menarik koper itu keluar.
"Abang!"
"Ajam!"
Langkahnya terhenti mendengar paduan suara yang meneriaki namanya. Tentu dia ingat sekali siapa yang biasa memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Kepalanya berputar mengarah ke suara yang baru saja meneriakinya. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman saat melihat wanita-wanita cantik melambaikan tangan padanya, lalu melangkah ke arah sana.
Ayang berlari dan lansung memeluk tubuh pemuda itu.
"Abang. Abang baik-baik aja kan? Bunda kangen banget sama Abang." Suara wanita itu bergetar, meluapkan rasa rindu yang selama lima tahun ini terpendam di hatinya.
Perlahan pemuda itu mengangkat sebelah tangan, membalas pelukan wanita itu mengusap pelan punggungnya.
***
Para pelayan berbaris rapi di luar menyambut kepulangan putra satu-satunya keluarga Van Houten.
Sejak berada di bandara hingga berada di dalam mobil, sampai mereka tiba di rumah, Ayang terus saja memeluk lengan putranya. Hanya di lepaskan saat akan naik dan turun mobil saja.
Tentu saja perlakuan bundanya itu membuat Azam sedikit risih. Walaupun ia juga merindukan bundanya, tapi ia bukan Azam yang dulu, yang senang-senang saja mendapat perhatian lebih dari bundanya.
"Ya Allah, anak Papi." Udin yang memang sejak siang tadi menunggu kepulangan anak angkatnya itu, berlari kecil mendekatinya dan lansung memberikan pelukan. "Makin ganteng aja anak Papi ini," ucapnya setelah melerai pelukan. Kedua belah pipi pemuda itu di cubitnya dengan gemas.
Memerah wajah pemuda itu menahan malu atas perlakuan pria gemulai barusan.
Walau nada suara Udin masih mendayu seperti dulu, tapi pria gemulai itu sekarang sudah menikah. Zuleha nama istrinya, wanita muda yang masih gadis saat ia nikahi.
Tidak hanya Udin saja, yang menunggu kepulangan Azam di rumah mewah itu. Di sana juga ada Dani, Rili dan putra mereka bernama Arsha.
"Turn off the camera!"
Suara pemuda itu yang lantang membuat suasana yang tadinya penuh suka cita, berubah mencekam seketika. Semua yang ada di sana bukan main kaget mendengar bentakan pemuda itu. Dari dulu sampai sekarang pemuda itu memang pantang sekali dengan kamera.
Zahra yang juga sedang melakukan livestreaming saat itu, cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Untung saja Abang Azam gak lihat. Kalau gak, bisa habis kamu," bisik Azizah.
Lain hal dengan Dani yang malah mengalihkan bidikan kamera ponselnya ke arah lain tanpa menghentikan rekaman. "Ponsel-ponsel gue, kenapa lu yang sewot? Lagian apa salahnya gue merekam? Lu gak akan sakit atau pun mati!" balasnya sengit. Dari dulu ia dan ponakannya itu memang selalu adu mulut. Tapi hanya sebatas adu mulut. Sama-sama ngeyel dan keras kepala.
"Abang!" Ayang membulatkan mata pada Dani agar saudaranya itu mengalah.
Rili yang berada di sana juga menyuruh suaminya agar mematikan kamera ponsel.
"Sudah sudah, nggak usah di layani Om kamu itu. Sekarang lebih baik kita masuk." Ayang mengapit tangan putranya, lalu membawa masuk ke dalam rumah.
"Huh! Dasar aneh lu!" desis Dani pelan.
"Gagal deh gue dapat video bocah itu. Padahal channel gue ramenya kalau ada dia aja."
"Bik, tolong siapkan makan siang ya?" perintah Ayang. Semua pelayan yang berbaris seketika membubarkan diri untuk melakukan perintah nyonya majikan.
"Abang pasti lapar kan? Ayo kita makan siang dulu," ajak Ayang sambil berjalan menuju ruang makan.
Pemuda itu menghentikan langkah, otomatis langkah Ayang juga terhenti.
"Nanti aja Bunda. Abang mau keluar sebentar. Lagian Abang belum lapar." Sebelah tangannya yang masih diapit Ayang ditarik pelan hingga terlepas.
"Loh, memangnya Abang mau kemana? Baru datang kok sudah mau keluar? Bunda masih kangen sama Abang," rengek Ayang, belum puas hatinya jika berpisah lagi dengan putra kesayangannya itu.
"Bentar aja kok, Bun." Lalu, kaki di ayunkan menuju pintu utama.
"Abang!" teriak Ayang sambil berlari mengejar langkah putranya. Sebelah tangan pemuda itu di pegangnya kuat. "Abang mau kemana?"
"Abang mau ketemu teman. Bentar aja."
"Tapi..."
"Abang janji hanya sebentar," mohonnya.
"Ya sudah, Bunda izinkan. Tapi Abang gak boleh pergi sendiri. Mulai sekarang harus ada sopir yang mengantar kemana pun Abang pergi."
Beberapa saat pemuda itu diam, kemudian tersenyum kecil dan mengangguk tanda setuju.
***
"Stop! Berhenti di sini!" perintah Azam tegas dan jelas pada supir yang tengah mengemudi.
Mobil seketika terhenti. "Ada apa tuan muda? Bukan kah kita mau ke OKY.caffee?" tanya sopir melirik majikannya dari kaca spion.
"Berapa nomor ponsel lu?" Bukannya menjawab tanya sopir tadi, Azam malah meminta nomor ponselnya.
"Buat apa tuan?"
Tanya di balas tanya, membuat Azam semakin geram melihat supir itu.
Kaca mata di lepasnya, menatap tajam pada sopir yang juga tengah memandangnya dari kaca spion.
"Maaf tuan muda," sesal sopir itu. Tak sanggup matanya beradu pandang dengan majikan barunya.
"Cepat! Berikan nomor ponsel lu!"
Tidak ingin membantah lagi, sopir itu pun lansung menyebutkan nomor ponselnya.
Azam mengetikkan nomor yang di sebutkan sopir itu dan menyimpan kontak namanya. Setelahnya ponsel di simpan lagi di dalam saku celana. "Sekarang keluar! Dan jangan pulang dulu! Tunggu sampai gue menghubungi lu. You undarstand!" perintahnya tegas dan jelas.
Sopir itu mengangguk cepat dan lansung keluar dari dalam mobil.
Teringat sesuatu, Azam menurunkan kaca mobil sebelah kiri memanggil kembali sopir tadi. "Tunggu!" teriaknya menghentikan langkah supir yang telah berdiri di tepi jalan.
"Ya, ada apa tuan muda?"
Dompet dalam kantong celana di ambilnya. "Ah, gue kan belum menarik rupiah," gumamnya pelan, melihat di dalam dompet hanya ada lembaran dolar saja.
"Lu ada uang kan? Belikan gue SIM card, nanti uang lu gue ganti," perintahnya.
"Tapi tuan...."
"Lu gak percaya sama gue?" Beberapa lembar dolar dalam dompet di keluarkan dan di berikan pada sopir tadi. "Nanti lu tukar aja uang itu.
"Ma-maksud saya bukan itu tuan. Tapi saya mau nanya tuan mau SIM card merk apa?"
"Bilang kek dari tadi. Yang biasa lu pakai aja."
"Oh, baiklah. Kalau begitu tunggu sebentar." Bergegas sopir itu berlari membelikan yang di suruh majikannya.
***
"Kalian dimana sekarang?" tanyanya pada seseorang di sambungan telepon. Sepasang matanya sibuk memperhatikan kaca spions, sedang kedua tangannya sibuk memutar stir agar berjalan sesuai arahan dari juru parkir di belakang.
"Terus, terus, mundur! Lagi-lagi! Kiri sedikit! Eh, kanan-kanan!"
Berkerut kening Azam mendengar arahan dari tukang parkir di belakang mobilnya. "Ini bocil sepertinya mau cari ribut sama gue!" dengusnya.
"Kenapa, bos?" Suara itu terdengar dari earphone tanpa kabel yang terhubung pada panggilan suara di ponselnya.
"Gue bukan ngomong sama lu! Sudah, cepat kalian datang kesini!"
Braaak!
"Priiit! Stop!"
Terdengar peluit panjang di belakangnya.
"Bangsat! Sudah nabrak baru lu suruh gue berhenti! Awas lu, setan!" dengusnya berapi-api. Pintu mobil di buka, lalu kaki di hentakkan keluar.
"Bos! Bos kenapa?" Suara earphone yang masih terpasang ditelinga tidak lagi di pedulikannya. Fokusnya kini hanya pada juru parkir yang telah membuat mobilnya menabrak sesuatu.
Naik turun dadanya melihat mobil bagian belakangnya yang penyok karna menabrak tiang listrik.
"Mobil Abang gak ada rem ya?"
Seketika itu kepala Azam berputar kebalakang. menatap seorang bocah laki-laki menggunakan rompi juru parkir dan juga peluit tergantung di lehernya.
"Lu yang bilang mundur kiri-kanan tadi, kan?"
"Ya iya lah, kan aku tukang parkir disini. Nih, Abang lihat sendiri. PARKIR," jawab bocah laki-laki itu sambil menunjuk tulisan di rompinya pada pemuda itu.
Semakin geram saja Azam mendengar anak kecil itu seperti mendikte dirinya. Segera ia mendekati bocah laki-laki itu. Kacamata hitam yang menutup sepasang mata elangnya di buka, ingin menunjukkan pada bocah itu jika saat ini ia sedang marah.
Cukup lama mata elangnya menatap bocah berusia 10 tahun itu. Namun, bocah itu sedikitpun tidak tampak merasa takut.
"Gue gak mau tahu, sekarang juga lu harus ganti kerusakan mobil gue!" Azam mulai membuka suara, mengancam bocah itu.
Tapi bocah itu malah terkikik. "Abang ini aneh. Tadi aku sudah teriak dan meniup peluit keras-keras, menyuruh Abang berhenti. Tapi Abang tetap saja mundur. Sekarang malah menyalahkan aku. Kan aneh?"
"What! Lu bilang apa? Lu nyalahin gue? Eh, yang menyuruh gue mundur-mundur, kan lu. Terus sekarang lu mau nyalahin gue? Pokoknya gue gak mau tahu, lu harus ganti kerusakan mobil gue!"
"Aku gak mau!" Tanpa pikir panjang bocah itu lansung mengambil langkah seribu.
"Eh, bocah! Jangan kabur lu!" Azam pun mulai berlari mengejar bocah itu yang lebih dulu berlari.
"Sampai ke lubang semut akan gue kejar lu!" Kakinya terus berlari mengejar bocah itu masuk ke dalam gang perumahan sempit.
Perlahan kakinya melambat ketika tidak melhat lagi punggung anak kecil tadi.
"Kemana perginya bocah itu?" Pandangannya mengedar mencari sosok bocah yang telah memancing emosinya. Tunjuknya bergerak-gerak ragu memilih antara gang kiri atau kanan, memperkirakan kemana perginya bocahh tadi.
Bruuuk!
Tiba-tiba tubuhnya di tabrak seseorang dari belakang.
"Lu buta ya!" bentaknya pada gadis yang kini telah tersungkur di tanah. Bukannya menolong malah umpatan yang keluar dari mulutnya.
Gadis itu meraba-raba barang-barangnya yang berserak di tanah, memasukkan kembali ke dalam keranjangnya.
"Oiii! Lu dengar gue ngomong nggak!"
"Maaf Abang, saya memang buta."
Azam mendengus. "Apa? Lu bilang apa tadi? Abang? Eh, lu dengar baik-baik ya! Lu itu bukan adik gue, jadi jangan panggil gue Abang!" dengusnya berapi-api, tidak suka dengan panggilan yang di sematkan gadis itu pada dirinya.
"Kalau begitu, sekali lagi saya minta maaf, Om."
"Eh, lu kira gue om om!"
"Arumi!" Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari mendekati gadis itu dan membantunya berdiri. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya wanita itu cemas.
Gadis itu mengulas senyum. "Arumi baik-baik saja, tante. Tadi Arumi gak sengaja menabrak Om ini."
Semakin geram saja Azam mendengar gadis itu kembali memanggilnya om.
Wanita yang membantu gadis itu sedikit kaget melihat pemuda yang berdiri dengan kedua tangan berada di pinggang.
'Dia ini kan putra Pak Daniel? Sombong sekali. Sangar jauh berbeda dengan Ayahnya yang begitu baik dan dermawan.'
"Tuan muda, tolong maafkan ponakan saya. Dia tidak bisa melihat," ucap wanita itu, yang sedikit mengenal keluarga Van Houten.